MENANTU YANG TAK DIANGGAP MERTUANYA ITU TERNYATA BERPENGHASILAN JUTAAN
"Memangnya kamu kuliah, Nur? Dapat duit darimana?" Ibu menatapku heran dan tak percaya.
Belum sempat menjawab, ibu sudah mengomentari pertanyaannya sendiri.
"Halah, paling kuliah berapa bulan terus kehabisan dana. Lagipula biaya kuliah itu mahal, Nuri dapat uang darimana? Hutang Emaknya aja di sana-sini. Apalagi bapaknya itu, bukan rahasia umum lagi kalau dia nggak ada tanggungjawabnya," sahut ibu sembari mencomot kacang bawang dari toples di atas meja.
"Iya itu, Jeng. Tiap hari nongkrong di warung. Nggak pernah peduli istri sama anak-anaknya. Mau makan atau nggak seolah bukan urusannya lagi," sahut tetanggaku yang lain.
"Makanya Jeng, saya nggak pernah setuju Romi nikah sama perempuan itu. Keluarganya aja nggak jelas begitu, yang ada duit anakku dihabiskan oleh mereka," sambung ibu cepat.
Aku kembali menghela napas. Sejujurnya aku pun kesal melihat bapak tiriku itu berbuat seenaknya, tapi apa mau dikata. Aku tak ingin menambah beban Emak hingga akhirnya aku yang mengalah.
Tiap bulan kukirimkan uang untuknya, sementara aku hanya menyisakan sedikit saja untuk makan dan kost tiap bulan. Bertahun-tahun selalu begitu. Tak ada tabungan seperak pun yang kupunya, hingga akhirnya aku memilih kuliah sembari bekerja.
Mendapatkan ilmu dan gelar, tapi masih tetap membantu Emak dan kedua adikku melanjutkan pendidikannya. Awalnya Emak menolak, takut jika aku tak mengiriminya uang lagi. Namun setelah kuyakinkan akan tetap mengiriminya uang, Emak pun setuju.
Gelar sarjana kudapat nyaris lima tahun lamanya sembari kerja di pabrik otomotif di kota sana. Bersyukur sekali bertemu dengan Mas Romi yang tak lain tetangga desa sekaligus teman saat SMA.
Dia yang memang terkenal pintar dan baik membuatku merasa nyaman ngobrol dengannya saat bertemu di sosial media. Begitulah, berawal dari aplikasi biru aku menemukan cinta itu.
Tak ingin pacaran seperti yang dilakukan banyak remaja, laki-laki itu lebih memilih untuk segera melamar dan mengikatku dalam janji sucinya.
Sekalipun kukatakan apa dan bagaimana kehidupanku sebelumnya, nyatanya Mas Romi tak berbalik arah. Justru semakin menggenggam kuat keputusannya. Tak berubah meski keluarga besarnya bahkan tak menyetujui pilihannya.
"Nuri! Malah melamun, bukannya buru-buru bantuin beberes!" sentak ibu membuatku sedikit terlonjak.
"Ma-- maaf, Bu," sahutku pelan. Tak tahu berapa menit aku melamun, yang jelas saat kuterjaga Riana dan ibunya sudah tak ada. Namun para tetangga yang lain semakin berdatangan.
Kudengar dari mereka, Riana harus kembali ke kota untuk bekerja sebab cutinya sudah habis.
"Riana itu kerja jadi sekretaris bos. Sering diajak ke luar kota. Katanya dia baru aja ada tugas ke Solo makanya mampir ke rumah sekalian."
Ibu kembali mempromosikan perempuan cantik itu di depan para tetangga dan saudara yang datang.
"Sayangnya dia nggak mau jadi menantuku, Mbak. Andai saja mau ...."
"Loh iya, Sum. Riana itu dari dulu memang suka sama Romi. Sayangnya Romi kena pelet, jadi nggak bisa bedakan mana beras rojo lele, mana tiwul kemarin sore!"
Semua mendadak diam lalu melirikku sekilas. Selalu begitu. Tiap kali ada kumpul-kumpul, akulah yang dijadikan bahan pergosipan.
Tak peduli aku di sini atau di luar, caci maki dan sindirian itu tetap terdengar. Mungkin mereka menganggapku tak punya hati atau mati rasa.
"Tiwul kemarin sore tapi dijadikan beras rojo lele ya, Bu. Bersyukur sekali memiliki suami seperti Mas Romi, tak pernah memandang seseorang dari segi ekonomi, wajah atau masa lalunya. Namun memandangnya dari hati. Mungkin Mas Romi yakin kalau perempuan yang dipilihnya itu setia dan baik budi, Bu. Makanya nggak peduli meski keluarganya melarang, tetap saja melamar."
Kuberanikan diri untuk bicara meski hati rasanya berdebar tak karuan. Ada rasa takut menyelinap dalam dada, tapi jika aku terus diam, pergosipan itu tak akan pernah ada habisnya. Aku bisa sakit jiwa jika mendengar lagi dan lagi hinaan mereka.
"Nuri! Ngomong apa kamu? Jangan besar kepala sudah jadi istri sahnya Romi. Sampai kapanpun ibu ini kunci surganya. Kalau ibu mau dia ceraikan kamu, dia juga bakal ceraikan!"
Ucapan ibu sontak membuat beberapa pasang mata terbelalak. Mereka cukup kaget mendengar bentakan ibu, termasuk aku. Tak menyangka jika ibu benar-benar sampai hati meminta anak lelakinya untuk menceraikanku.
"Kenapa? Kamu takut?"
"Nggak Bu, ngapain takut. Jodoh sudah diatur olehNya. Kalau memang Mas Romi dan Nuri tak berjodoh, ibu tak perlu capek-capek memisahkan, Allah juga tak akan menyatukan. Namun kalau memang sudah jodoh, sekalipun dijauhkan, Allah juga yang akan mendekatkan. Nuri nggak pernah takut soal itu, cuma heran saja," balasku sembari membersihkan air yang tumpah ke lantai.
"Halah! Sok ceramah kamu, Nur. Sok pinter! Lagipula heran kenapa? Ada yang aneh? Setiap ibu ingin yang terbaik buat anaknya, Nur. Kamu itu harus sadar diri, bukan perempuan baik-baik. Makanya ibu tak setuju. Kalau perempuan baik, ibu mana yang nggak suka anaknya bahagia. Jangan ngomong macam-macam kamu!" Ibu mencolek lenganku kasar.
Aku hanya menghela napas lalu menggelengkan kepala pelan. Malas menanggapi ibu yang begitu egosi dan tak mau mengalah sedikitpun.
"Lagipula kamu heran kenapa?" Aku menoleh.
"Heran saja. Laki-laki selembut Mas Romi ternyata memiliki ibu yang ajaib sekali," ucapku sembari tersenyum tipis ke arahnya.
Kedua mata ibu membulat. Gemas sekali sepertinya. Aku tak peduli. Setelah membersihkan lantai, aku pun buru-buru pergi. Malas mendengarkan omelannya lagi.
💕💕💕
Sekuel cerita ini : BUKAN PEREMPUAN IDAMAN. INTIP YUK