Bagian 3
MENANTU YANG TAK DIANGGAP MERTUANYA ITU TERNYATA BERPENGHASILAN JUTAAN

"Mimpimu terlalu ketinggian, Nur! Sudah beruntung aku mau menyekolahkanmu sampai tamat sekolah dasar. Jangan ngelunjak. Lulus sekolah kamu harus kerja!" 

Bentakan bapak tiriku beberapa tahun silam kembali lalu lalang di depan mata. Betapa menyakitkan. Laki-laki yang awalnya begitu merayuku agar mau menerimanya sebagai suami Emakku, ternyata semua rayuannya hanya sandiwara belaka. 

Makanan ringan dan hadiah-hadiah kecil yang dibawanya saat awal-awal mengenal Emak, hanya dia jadikan senjata untuk meluluhkan hatiku. 

Aku yang memang tak pernah mendapatkan kasih sayang seorang bapak, jelas terharu dan menerimanya dengan suka cita. Aku yang saat itu terlalu polos dan tak ada pikiran buruk tentangnya.

Aku yang pada akhirnya membujuk Emak untuk mau menerima lamarannya, sebab aku rindu sosok bapak dalam hidupku. Tak kusangka jika hadirnya justru memperpanjang luka yang memang telah tercipta sebelumnya. 

"Nuri ingin sekolah, Pak. Tak apalah kalau harus sambil kerja, tapi tolong jangan paksa Nuri untuk bekerja. Mau kerja apa kalau hanya lulus sekolah dasar," rintihku saat itu sembari mengusap bulir bening dari kedua sudut mata yang terus bercucuran. 

"Kerja apa? Kamu nggak lihat orang-orang sini juga bisa kerja sekalipun nggak punya ijazah?!" sentak bapak lagi. 

Aku terbiasa menghadapi amukan bapak sendiri, sebab Emak biasanya hanya diam sembari memeluk kedua adikku di kamar. 

Emak takut kedua adikku mendapatkan amukan bapak juga. Kedua adikku yang saat itu berusia tiga dan satu tahun.   

"Kalau malas kerja, lebih baik kamu kawin saja sama bos rongsok itu sebagai istri keempatnya. Hidup terjamin, nggak akan ada kata menderita karena nggak bisa makan!" 

Aku hanya diam. Memejamkan mata perlahan lalu menghela napas panjang. Tak tahu ujian seperti apa yang Allah berikan hingga aku harus mengalami semuanya sendirian. 

Sejak bersama bapak, Emak tak lagi seperti dulu yang selalu menjadi pahlawan dan pembelaku di setiap kesempatan. Kini, Emak lebih banyak diam. Apalagi jika bapak sudah menyebut surga neraka seorang istri, Emak seolah membiarkanku merasakan kesakitan sendiri. 

"Sok jual mahal menolak lamaran Bos Husni. Harusnya kamu bersyukur, diantara banyak gadis baik-baik, Bos Husni justru melirik kamu!" 

Bapak tiriku itu tersenyum sinis, memandangku begitu rendah dan hina seolah aku bukanlah gadis baik-baik.

"Nuri ingin sekolah, Pak. Nuri mau jadi orang sukses seperti pesan almarhum kakek dulu. Anak yang bisa membanggakan orang tuanya di dunia dan akhirat," sahutku terbata. Aku berusaha tenang meski ketakutan jelas begitu ketara. 

Usiaku 12 tahun saat itu. Aku yang lulus sekolah dasar dengan nilai cukup memuaskan seolah dihadang bapak agar tak melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi. 

Bapak memaksaku bekerja sebagai pembantu rumah tangga untuk menopang biaya hidup keluarga. Keluarga yang seharusnya menjadi tanggungjawabnya sebagai khalifah. 

Namun yang ada justru Emakkulah yang bekerja serabutan untuk mencukupi kebutuhan. Sementara dia, hidup sesukanya. 

"Dasar anak durhaka. Pembangkang! Sekolah tinggi juga buat apa? Perempuan itu ujung-ujungnya juga di dapur!" Bapak semakin geram. Emosinya seolah memuncak sebab aku tetap bersikukuh melanjutkan sekolah, apapun alasannya. 

"Kamu mau sekolah pakai daun, hah?!" Gebrakan meja kembali terdengar ke sekian kalinya. Bahkan kudengar para tetangga mulai keluar rumah. Seperti biasa, mereka hanya saling bisik tiap kali bapak memarahiku.

Tak ada seorang pun yang berani menengahi sebab mereka merasa segan ikut campur masalah rumah tangga orang lain.  

"Nuri dapat beasiswa, Pak. Cuma buku-buku saja bayarnya, tapi-- 

"Tapi apa?! Memangnya kamu dapat duit dari langit buat bayar buku-buku itu?!" 

Lagi-lagi aku diam. Bingung harus menjawab apa sebab kutahu aku memang tak memiliki uang itu. Aku ingin sekolah sembari kerja, hanya saja Emak selalu melarang. Tak tega sebab aku masih terlalu belia, katanya. 

Kulihat Emak keluar kamar sembari menggendong adik laki-lakiku. Sementara adik perempuanku langsung berlarian memelukku. 

"Biar Nuri sekolah, Pak. Soal biaya, aku yang akan mengusahakannya," ucap Emak lirih sembari menatapku lekat. 

Kedua matanya berkaca-kaca. Aku tahu, ada luka yang menganga di sana. Ada rasa bersalah dan kecewa yang tak bisa dia ungkapkan lewat kata-kata.

Mungkin Emak merasa kasihan melihatku selalu dipaksa untuk berhenti sekolah bahkan menikah dengan laki-laki yang usianya bahkan lebih tua dibandingkan Emakku sendiri. Setelah sekian lama, baru kali ini Emak membela.

Tak peduli dengan permintaan bapak yang terus memaksaku berhenti untuk bermimpi. Emak tetap bersikukuh dengan keputusannya untuk membantuku melanjutkan pendidikan. Sekalipun dengan keringat bercucuran. 

"Nuri ...!" Panggilan ibu mertuaku membuyarkan segala lamunan. Masa-masa itu sungguh menyakitkan. Tak kusangka jika ujian hidupku kali ini belum jua berkurang. Namun justru bertambah. 

Namun aku tahu bagaimana cara menghadapinya, seperti aku yang berhasil mematahkan caci maki dan sumpah serapah bapak. 

"Nuri, ngapain kamu di kamar terus? Bukannya bantuin masak, malah enak-enakan di kamar. Memangnya kamu ratu?" sentak ibu mertua dari ambang pintu. 

Aku yang baru saja masuk untuk salat dzuhur dua puluh menit lalu, sudah dituduh macam-macam oleh ibu. Aku memang selalu salah di matanya, tak pernah ada benarnya. 

Tak mau menjawab omelan ibu, aku pun mengikutinya dari belakang. Sampai ruang tamu, sudah ada beberapa tetangga, Raina dan ibunya di sana. Mereka tampak begitu akrab satu sama lain. 

"Punya menantu pemalas, Jeng. Iparnya yang lain sibuk di dapur eh menantu satu itu malah enak-enakan melamun di kamar. Heran, perempuan begitu kok dipilih Romi sebagai istri." 

Aku tersedak ludahku sendiri saat mendengar ucapan ibu yang sepertinya memang sengaja dengan volume maksimal. Aku tahu maksud ibu itu, agar aku mendengar sindirannya. 

"Ajari bebereslah, Jeng. Mungkin saat sama ibunya nggak pernah diajarin beberes. Lagipula apa yang mau diberesin, rumahnya aja cuma sepetak. Barang-barang juga bisa dihitung jari. Habis dijualin bapak tirinya," sahut ibu Suryani. Wanita seusia ibuku yang tak lain adalah ibunya Riana. 

"Makanya, Jeng. Keluarganya nggak jelas begitu, kok bisa-bisanya Romi cinta mati sama perempuan itu. Aneh, kan?" Kulihat ibu melirik ke arahku yang masih membereskan meja makan. Entah siapa yang barusan makan siang, piring dan gelas berantakan di meja. 

"Jangan-jangan Romi kena pelet, Jeng!" ucapan ibu Suryani membuat kedua mataku membola. 

"Kalau nggak pakai pelet, mana mungkin Romi bisa tunduk sama perempuan macam dia, Jeng. Memangnya apa kelebihannya coba? Soal body, wajah, karir, pendidikan juga masih kalah sama Riana. Iya, kan?" Lagi-lagi ibu Suryani semakin membuat panas suasana. 

"Makanya, Jeng. Romi aja S2, bahkan sekarang jadi manager di kantornya. Lah istrinya cuma lulusan SMA, wajah pas-pas an, nggak kerja dan keluarga berantakan. Pusing kalau mikirin itu, Jeng," sambung ibu sembari menepuk keningnya pelan. 

"Lulus SMA gimana, Jeng? Bukannya Nuri juga sarjana? Romi pernah cerita soal itu sama suami saya sebelum urus berkas-berkas pernikahannya." 

Sanggahan Mbak Santi membuat beberapa mata menatapnya tajam. Mereka tampak begitu kaget mendengar jawaban Mbak Santi yang spontan itu. Seolah tak percaya atas apa yang baru didengarnya. 

💕💕💕

Cerita ini berhubungan dengan cerita lain yang berjudul : BUKAN PEREMPUAN IDAMAN. Bisa baca dua-duanya jika ingin tahu bagaimana sosok RIANA sebenarnya ❤️

Komentar

Login untuk melihat komentar!