Bagian 2
MENANTU YANG TAK DIANGGAP MERTUANYA ITU TERNYATA BERPENGHASILAN JUTAAN

Tenangkan hatimu, Nuri. Hadapi mertuamu dengan elegan! Hatiku bergejolak saat mertuaku seolah sengaja mengajak Riana yang baru pulang dari kota itu untuk mampir ke rumah.

Perempuan cantik, wangi, bersih dan tinggi semampai itu pun menurut. Dia tampak begitu akrab dengan ibu mertuaku, cipika cipiki, saling tanya kabar lalu sama-sama melangkah ke ruang keluarga. 

"Maaf ya, Bik. Kemarin ada tugas kantor, jadi Riana nggak bisa menghadiri pernikahan Mas Romi," ucap perempuan itu dengan senyum manisnya. Lesung pipit terlukis di kedua pipinya yang bersih. 

"Nggak apa-apa, Ri. Lagipula pernikahan mereka juga nggak disetujui keluarga. Biasa saja, nggak ada spesialnya," balas ibu santai. 

Mimik wajahnya berubah seketika saat melihatku keluar dari area dapur. Melewati mereka yang tengah santai lalu gegas menuju teras. Aku ingin ke warung tetangga untuk membeli detergen yang tak bersisa. 

"Oh itu istrinya Mas Romi, Bik?" Suara perempuan itu kembali terdengar merdu. 

Aku tahu, dibandingkan Riana aku benar-benar tak ada apa-apanya. Dia nyaris sempurna, sementara aku bukanlah siapa-siapa. Mendadak insecure saat aku bertemu dengan perempuan yang konon begitu mencintai suamiku. Entahlah. 

"Eh, Ri! Mau kemana? Sini kenalan dulu sama Riana. Calon istrinya Romi yang dulu," ucap ibu cepat saat aku baru selangkah ke ruang tamu. 

Seolah sengaja tak peduli dengan perasaanku, ibu memperkenalkan perempuan itu sebagai calon istri suamiku yang dulu. Benar-benar ingin menjelaskan, sebenarnya aku tak pernah dianggap dan diakui dalam keluarga ini. 

Aku pun menghela napas panjang sembari memejamkan mata. Mengucap istighfar lalu Basmallah beberapa kali sebelum akhirnya siap membalikkan badan dan berkenalan dengan perempuan itu. 

Riana tersenyum tipis sembari mengulurkan tangan kanannya untuk menyambutku. Aku dan dia pun bersalaman, sama-sama mengucapkan nama masing-masing. 

"Aku Nurida. Perempuan pilihan Mas Romi," ucapku tegas dengan senyum semanis yang aku bisa. 

Ibu kembali mencelos lalu membuang muka. Biar saja. Aku berhak membela diri, yang penting aku tak durhaka padanya. 

"Aku Riana. Tetangga depan rumah, teman masa kecil Mas Romi," balas perempuan itu dengan senyum terbaiknya. Kami pun saling angguk lalu melepaskan tangan masing-masing. 

"Buatkan minuman buat Riana, Nur. Jangan pergi sebelum dia pulang. Barang kali nanti dia butuh bantuanmu." 

Ibu kembali bertitah. Aku menurutinya saja. Ingin tahu apa yang akan diceritakan ibu pada perempuan itu saat mereka mengobrol nanti. 

Gegas kubuatkan dua cangkir sirup untuk ibu dan calon menantunya lalu meletakkan cangkir itu di atas meja. Tak lupa kusajikan tiga toples kue kering juga sebagai pelengkapnya. 

"Diminum dulu, Ri. Kalau nggak manis, maklumin, ya. Dia masih belajar menghidangkan minuman, masak dan lainnya. Sepertinya memang nggak diajari ibunya ke dapur," ucap mertua ketus sembari menyeruput minuman yang kuhidangkan. 

"Nggak apa-apa, Bik. Riana juga nggak bisa masak. Sama ajalah," balas perempuan itu lagi. Senyun manis tak terlepas dari kedua pipinya yang merona. 

"Wajar kalau kamu nggak terbiasa, kamu 'kan sibuk. Ibumu bilang kamu melanjutkan kuliah segala. Bener?" 

"Bener, Bik. Makanya jarang pulang. Kalau libur aja pulangnya. Kebetulan kemarin masih tes semester dan ini baru libur. Jadi Riana pulangnya sekarang bukan kemarin saat Mas Romi menggelar pernikahan," balas perempuan berlesung pipi itu lagi. 

"Calon guru ya, Ri? Baguslah. Nanti jadi wanita karir, berseragam, punya gaji dan pangkat sendiri. Jadi nggak ngandelin gaji suami," ucap ibu kembali melirik ke arahku. 

"Andai kamu jadi menantu bibik. Betapa bahagianya hati bibikmu ini jika mendapatkan menantu idaman seperti kamu. Kasihan Romi, jangan sampai gajinya habis untuk foya-foya istrinya yang konon tak lagi bekerja karena diPHK," sahut ibu lagi. 

Aku beranjak dari kursi. Rasanya ingin menimpali, tapi lagi-lagi di sudut hati yang lain berusaha menenangkanku. Menahan segala gemuruh yang ada dan berusaha ikhlas menjalani segala qadarNya. 

Aku menunggu mereka dari kursi makan. Barang kali nanti ibu kembali memanggilku, tapi ternyata dia hanya menyindir dan membandingkanku dengan calon menantunya itu sepanjang mereka bercengkerama. 

Perempuan itu pamit pulang lalu memberikan paper bag untuk ibu. Entah apa isinya. 

"Nur, sini deh. Si Riana kasih gamis buat ibu loh. Baiknya dia. Memang benar-benar calon menantu idaman. Ini pasti mahal harganya. Iya, kan?" Ibu mengambil gamis berwarna coklat tua dari paper bag di atas meja. 

Gamis berbahan wolfis biasa yang kutaksir harganya tak lebih dari dua ratus ribu.  

"Kapan kamu kasih kado buat ibu dari duitmu sendiri? Kalau dari duit Romi sih sudah biasa," sindir ibu lagi. Aku kembali tersenyum tipis. 

"Mukena sama gamis yang ibu pakai hari ini juga Nuri yang belikan, Bu. Sengaja Nuri titipkan Mas Romi soalnya nggak enak kalau ngasih sendiri," balasku santai sembari beranjak dari sofa. 

Ibu sedikit tersentak mendengar ucapanku. Seolah tak percaya, padahal aku tahu Mas Romi juga sudah mengatakan padanya jika kado itu berasal dariku. 

"Tak percaya pun tak mengapa, tapi mukena dan gamis ibu senada dengan gamis yang Nuri belikan buat Emak untuk hadiah hari lahirnya dua bulan lalu," balasku lagi sembari memperlihatkan foto Emakku dua bulan lalu di galeri ponsel. Foto yang memakai gamis senada hanya dengan warna berbeda. 

💕💕💕 

Cerita ini berhubungan dengan cerita lain yang berjudul : BUKAN PEREMPUAN IDAMAN. Bisa baca dua-duanya jika ingin tahu bagaimana sosok RIANA sebenarnya ❤️

Komentar

Login untuk melihat komentar!