Tidak ada yang aneh, selama 7 tahun menikah di karuniai anak 2, suamiku yang baik dan begitu perhatian pada keluarga kecilnya, anak-anakku yang manis dan penurut selalu mewarnai hari-hari kami, hingga suatu hari aku mengandung lagi anak ketiga kebahagiaan keluarga kami semakin bertambah.
Memang, kami tidak berasal dari keluarga kaya, namun kerja sama dan kekompakan membuat kami mampu menjalani beratnya kehidupan dengan senyum dan tawa.
Suamiku seorang pekerja pabrik di desa kami dan aku hanya ibu rumah tangga biasa. Gajinya tidaklah besar bahkan cenderung sangat kecil jika dibanding dengan kebutuhan rumah tangga di jaman sekarang yang harga beras saja mencapai Rp.13.000 perkilogram.
Untuk membantunya sehari-hari aku kerap menawarkan jasa sebagai tukang cuci atau pembantu dadakan di rumah tetangga. Terkadang mencuci karpet yang beratnya 'subhanallah' dan upah 30 ribu terasa berkah ketika melihat putra putriku tertawa bahagia ketika melihatku pulang membawa sekantong camilan untuk mereka.
Di usia kehamilan yang menginjak bulan kelima aku tak sanggup lagi melakukan pekerjaan berat, sehingga aku memutuskan untuk diam di rumah beristirahat sembari mengurus kedua anakku.
**
Seperti biasa ketika adzan subuh berkumandang segera aku bangkit untuk melakukan rutinitas membereskan rumah dan menyiapkan sarapan, kandunganku yang besar dan kesehatanku yang lemah membuat ruang gerakku terbatas dan lamban.
"Bang ..." Kugoyang-goyangkan bahu suamiku.
"Apa sih, Ririn?"
"Udah pagi bang, Abang gak shalat subuh, nanti kesiangan."
"Hhm ... ngantuk, lesu, semalam aku begadang," jawabnya sambil membalikkan badan membelakangiku.
"Abang kebanyakan main game dan nonton tivi, coba kurangi Bang," kataku lembut.
"Halah, itu kan hiburan setelah sepanjang hari bekerja, Aku bosan." Ia melengos
"Lagian ya, Bang, kalo Abang online terus pulsa kita bisa habis, aku cicil hape itu buat menghubungi mertuaku yang berada jauh di seberang sana, bukan buat Abang otak atik dengan game online," ujarku.
"Gak usah cerewet deh, yang bayar juga aku," katanya sambil menutup wajahnya menggunakan selimut. Aku tahu ia tak suka aku bicara dengannya, dan gestur seperti itu memintaku untuk segera bangkit dan tidak menggganggunya lagi.
**
Suatu malam, setelah kelahiran bayiku, kutidurkan ia setelah puas kususui di pembaringan, kulirik dua orang anakku yang lain juga sudah tertidur, maka coba-coba aku membuka gawai yang kerap kami gunakan bergantian itu.
Aku lebih jarang menggunakan ponsel karena kesibukanku mengurus rumah dan anak-anak terlebih lagi aku tidak punya kegiatan khusus yang mengharuskanku untuk online sepanjang waktu, seperti jualan online atau menulis.
Sebuah pesan masuk di messenger facebooknya, karena penasaran kubuka dan sebuah pesan dari wanita berkerudung merah terpampang di sana.
[ Kamu marah sama aku? ] Begitu pesan itu.
Aku tidak pernah mengerti, tidak juga mengenal wanita ini, aku kenal semua teman dan sahabat suamiku karena aku pun pernah tinggal di kotanya selama beberapa tahun, kini setelah pindah ke daerahku satu satunya media yang membuat dia tetap terhubung kepada teman temannya adalah Facebook saja.
Namun aku heran karena sebelumnya wanita ini, aku tak pernah menjumpai atau mengenalnya.
Kucoba membuka akunnya dan men'stalkingnya. Rupanya wanita ini janda beranak dua yang kulihat kerap memposting photo dan kegiatannya setiap hari, bahkan saking seringnya, mungkin karena merasa cantik, ia bisa mengupload photo sampai lima kali sekali. Dengan gaya yang sama, berdiri lalu tersenyum, miring lalu senyum, pegang dagu lalu senyum, fingerheart lalu senyum, dan begitulah. Dari total 2000 photo tidak ada yag istimewa, gaya yang sama dengan pakaian berbeda.
Wajahnya tidak cantik tapi tidak juga jelek, matanya lebar dan hidungnya lumayan mancung serta kulitnya bersih. Kulihat dari postingannya ia telah mapan dan bekerja di kantor namun entah di kantor apa.
Photo photonya banyak dikomentari akun pria yang memuji atau mampir untuk menggoda.
"Adek cantik ...."
"Aduh cantiknya ...."
Suamiku juga salah satu dari komentator tersebut namun komentarnya biasa biasa saja. Bahkan cenderung konyol. Kerap bercanda dengan nada menggoda. Kupikir wajar jika memang itu hanya teman biasa.
"Bang, siapa ini," tanyaku sambil menyodorkan ponsel.
"Oh ini, dia Nur, teman kuliahku dulu," jawabnya santai sambil memainkan remote tivi.
"Kok, kayak dekat banget sama kamu bang?" Lanjutku.
"Iya dia sahabatku, umurnya lebih tua dariku namun kami seangkatan di waktu kuliah," jawabnya.
"Oh begitu, baiklah."
Kuberikan ponsel padanya karena aku berniat melepas lelah.
*
Berhari-hari berikutnya,
Ia lebih sering begadang hingga jauh malam merangkak larut bahkan hingga pagi. Ia memainkan ponsel dan aku tak mengerti.
Ketika kutanya dia bilang dia sedang meyaksikan live streaming pertandingan bola, membaca berita, belum kunjung ngantuk dan lain sebagainya.
Dan sebagai ibu rumah tangga yang malas berdebat panjang, aku enggan bertanya terlalu banyak dan berdebat. Bagiku, selama masih wajar saja, Aku tak mau mempermasalahkannya.
**
Umur bayiku menginjak bulan ketiga dan ia tumbuh menjadi bayi molek yang montok dan menggemaskan.
Seperti biasa setiap pagi, selepas sarapan mereka anak dan suamiku berangkat untuk menjalani rutinitas mereka.
Kukunci pintu rumah dan membawa bayiku untuk kususui dan kutidurkan, kulirik meja makan dan kutemukan ponsel Bang Hardi tertinggal.
Kuraih dan kubawa serta ke pembaringan untuk membaca berita dan bermain sosial media.
Tak lama sebuah pesan berdenting, Dan masuk ke inbok FB Bang Hardi.
Kubuka dan dadaku bergemuruh seketika melihat pesan yang terpampang di sana.
[Sayang, udah berangkat kerja belum ]
Kupikir tadinya hanya pesan salah masuk, namun ketika******pengirimnya, wanita itu lagi si Nurjannah itu.
Kucoba untuk mencari pesan pesan mereka rupanya pesan mereka di arsipkan ke sebuah pesan pribadi. Ku-scrol ke atas dengan rasa penasaran yang membuncah.
4/07
[Sayang aku mencintaimu, dan ingin bersamamu selamanya.] Kirim wanita itu.
[Aku juga sayang, aku sedang berusaha agar impian kita menjadi kenyataan.]
18/07
[Jika kita bersatu, jangan pernah sakiti aku ] dengan emoji hati dan cium mesra.
[Aku janji Sayang, aku akan menjadi orang paling membahagiakanmu dunia akhirat ] balas suamiku.
02/07
[Aku gak bahagia Sayang]
Kirim suamiku.
[Kalo begitu aku akan mencoba memberimu apa yang tidak kau dapat darinya]
Jawab wanita itu.
Beberapa pesan terhapus namun aku bisa mengerti, ia menyembunyikannya.
Dadaku sesak, emosiku bergejolak, karena diam-diam suamiku, diantara kekaleman dan kelembutannya ia menjalin hubungan baru. Bahkan di saat kami baru saja punya bayi baru dan meniti kehidupan ini dengan susah. Di saat ekonomi masih tertatih-tatih ia malah menjanjikan kebahagiaan kepada wanita lain.
Aku tak tahu, apa yang akan kulakukan untuk membendung kemarahanku. Tapi yang pasti, kutunggu ia kembali segera siang nanti.
Tring ....
Pesan masuk lagi.
[Kau sudah sarapan, Sayang?]
Kuketik [sudah sayang, makasih]
Lalu dibalasnya, [ Terimakasih sudah ada untukku, mewarnai hariku, mengisi sepi dan kekosongan jiwaku setelah sekian lama menyendiri. I love you ]
[Love you to ] jawabku dengan tambahan babi di dalam hati untuknya.