Mau tobat
"aku minta maaf, atas kesalahanku," desahnya pelan. Sambil menggenggam kuat piring nasi goreng yang kuberikan padanya.

"Kenapa minta maaf?"

"Aku menyesal," jawabnya.

"Seharusnya mikir dulu sebelum berbuat, kesalahan  semacam itu telah menjadi api yang membakar rumah tangga kita,"  balasku.

"Aku hanya iseng, dan lagi, aku hanya berhubungan lewat ponsel," imbuhnya.

"Tetap saja, meski lewat ponsel, main hati tetap main hati, jadi, kutegaskan padamu, makanlah dan sesegera mungkin akan kuantar kau ke tempat Pak RT.

"Jangan usir aku, kemana aku pergi," ratapnya memelas.

"Itu bukan urusanku, Hardi! Aku sudah menuliskan urusan sebagai istrimu, tapi karena kau tidak menghargai keberadaanku, maka sekarang kau tak perlu berada dalam hidupku," kataku tegas.

"Tapi aku tidak punya tujuan, Ma." Nada bicaranya masih sendu mendayu.

"Itu masalahmu, kau sendiri yang ingin punya istri baru, kini kuturutkan kemauanku, jadi pergilah kamu ke wanita yang kamu mau," jawabku.

"Wanita itu tidak akan menerimaku," ujarnya sedih.


"Nah, itu kau tahu diri, lagipula kalo merasa diri kere dan tidak berguna, sebaiknya kamu jangan banyak tingkah, dasar tidak tahu diuntung."

"Maafkan aku," ia bangkit dan menghampiriku ingin merangkulku yang saat itu duduk di dinding bersebrangan darinya sedang memangku si bayi.

Sepanjang hari dari pagi sampai petang menjelang aku tak makan sesuap nasi atau  minum segelas air pun,  jiwaku mati rasa, aku kehilangan selera dan tenaga. Yang tersisa hanya rasa sakit hati dan kecewa.

"Dengar ya, tanpamu jangan pikir aku tak bisa hidup meski aku miskin dan anak yatim, aku sudah terbiasa hidup susah, kerja ke sawah sepanjang hari aku bisa makan, mencuci pakaian orang atau mengasuhkan anak orang, aku juga bisa makan, aku tidak akan mengemis cinta dan belas kasih dari pria sepertimu, jadi menjauhlah dariku."

"Aku mohon maafkan aku," ratapnya sambil menyeka air matanya dengan ujung jari.

"Tidak perlu menangis sedih, ini resiko yang harus kamu tanggung sebagai balasan menduakan istri."

"Aku tak mau pergi," balasnya lagi, "Aku masih mau bersama anak-anakku," balaasya lagi.

"Ah kampret!" Aku bangkit dan masuk kamar, mengunci pintu dan memilih melabuhkan diri, beristirahat setelah sepanjang hari marah marah dan bergulat.


*

Kesesokan harinya, aku bangun seperti biasa, melakukan aktivitas seperti biasa, masak, makan dan mencuci lalu memandikan anak anakku. Sedangkan bang Hardi aku mengacuhkannya seolah olah dia tidak ada di rumah ini.

"Ma, maafkan aku," katanya menghampiriku yang sedang membuat teh untuk anak-anakku, ia merangkul dari belakang dengan nada bergetar ia berkata,

"Kumohon maafkanlah aku, aku tak akan berani lagi berbuat seperti itu," bisiknya dengan sedih.

Kulepaskan rangkulannya dan melanjutkan pekerjaan tanpa banyak bicara. Aku benar benar mengabaikannya. Dan Begitulah diriku, ketika aku telah marah dan kecewa, jangankan mengajak bicara menatap wajahnya saja aku  tidak suka.

Berhari hari seperti itu, membuatnya frustrasi dan tidak tahan lagi, ia terus berusaha mengajakku bicara, menegur dan menyapa, namun aku mengabaikannya lagi dan lagi, membuatnya tersiksa.

"Sudahlah, sudah cukup diamnya, aku tersiksa, aku tak tahan seperti ini," katanya suatu malam.

"Aku nyaman seperti ini, tidak bicara dan buang waktu denganmu," balasku.

"Tapi aku tidak nyaman, akumau mati rasanya," desahnya lemah, "aku tidak selera makan, tidurpun tidak tenang, memikirkan kamu istriku yang masih merajuk," ujarnya lagi. 

Memang aku menyadari hal itu, masakanku Tidak pernah tersentuh banyak, ia tida berani banyak bicara apalagi membentak anak jika mereka nakal atau bertengkar, bahkan tivi pun tidak berani ia hidupkan tanpa izinku.

Ketika Bang hardi membuat kopi ia akan menjauh mundur ketika aku masuk dapur. Hubungan kami jadi datar di antara kebungkaman dan ego sendiri.


"Aku janji aku akan menjadi manusia lebih baik lagi, asal kamu mau memberiku kesempatan," ucapnya di lain waktu lagi.

"Aku tak peduli," balasku.

"Kalo aku benar-benar pergi pasti kamu akan sedih juga," katanya percaya diri.

"Dari sekarang pun aku sudah tidak membutuhkanmu, memang profesiku tukang cuci dan pembantu namun untuk harga diri kau tidak membelinya."

"Kalo begitu kumohon maafkan, aku, maafkan aku, maafkan aku," katanya sambil bersimpuh dan menyentuh lututku dan memandangku sedih.

"Lepaskan aku,," kataku menjauh.

"Sulit sekali minta maaf padamu," desisnya.

"Mudah sekali memang kalo untuk menyakiti orang," balasku sarkas.




Komentar

Login untuk melihat komentar!