Murka

**
Pucuk dicinta ulam tiba, suamiku pulang tak lama setelah aku selesai membereskan gundik onlinenya, yang tidak lain dan tidak bukan mantan teman sekelasnya di masa kuliah.

"Assalamualaikum," sapanya memasuki rumah seperti biasa, jika pulang kerja ia akan mengecup kami semua.

"Gak usah kecap-kecup," kataku sambil menghindarinya.

"Kenapa?" tanyanya heran.

"Lihat ini," kataku sambil memperlihatkan padanya layar ponsel, "Siapa ini?" Sambungku.

Ia memperhatikan layar ponsel dan terlihat amat syok dan terpana.

"Bu-bukan, ini hanya main-main," katanya dengan tawa kecil untuk mengurangi kegugupannya.

"Jangan bohong kamu, aku sudah baca semuanya dan bahkan sudah ngobrol juga dengannya!" Aku mulai emosi.

"Halah wanita gila ini," katanya sambil mencari tombol blok.
"Akan kublokir dia sekarang," kata Bang Hardi.

"Percuma kamu blokir, dia udah blokir duluan."

"Tapi serius, Ma. Aku cuma main-main, kita cuma main-main," katanya. Maksudnya 'kita'nya itu, membuatku murka.

"Main-main apanya, kalian sampai berencana menikah," sanggahku sambil meraih bayiku yang menangis karena terbangun dari tidurnya.

"Sungguh, aku cuma main-main," elaknya.

"Apa tujuanmu?"

"Uhmm .. eng-enggak ... Cu-cuma ...."

"Apa salahku?! Apa salahku?!" Kataku sambil menarik pakaiannya.

"Enggak, kamu gak salah, aku cuma main-main."

"Berani kamu ya, kamu bilang aku jahat, kamu bilang aku jelek, kamu membeberkan sesuatu yang seharusnya di jaga oleh suami terhadap kehormatan istrinya, kamu bilang aku kucel dan bau, iya kan?" cecarku dengan napas yang memburu.

"Enggak, wanita itu bohong," bantahnya.

Plak!

Kutampar ia dengan tangan kiriku dengan sangat kuat.

"Aduh!" 
Ia meringis memegangi pipinya yang sakit. "Kamu kok tega sih, kamu tahu suami baru pulang kerja, Malah kamu marahin ga jelas." Ia kini berusaha menyalakanku.

"Aku marah gak jelas katamu?" Kuhampiri lagi dan satu hadiah lagi,

Plak!

Kali ini tangan kananku melayang menggampar pipi kirinya. 

"Adoowww ... Sudah!"

"Sudah apanya?" kataku sambil meletakkan bayi di kasur bayi di depan tivi, kembali kuhampiri dia dan kucekal kerah bajunya.

"Kau pikir aku akan akan merasa rugi untuk melepaskan suami kere seperti dirimu," kataku mendengus dengan mata membeliak ke arahnya, ia terlihat ngeri dan sedikit memundurkan diri.

Di hari biasa aku tak akan berani seperti itu, suamiku adalah suami yang 'angker' dan keras, ia dikenal  pendiam oleh sahabat dan orang di sekitarnya dan tak akan ada seorang pun yang berani mengusik apalagi berani memukulnya. Namun, aku tahu, ia menyadari bahwa kini dirinya salah sehingga ia tak berani meninggikan suara.

Bugh!

Kutinju pelipis kirinya hingga ia terjengkang dan menabrak bufet dapur.

"Maaf ya, serius nanya, aku ini sudah mendampingi dari kamu hanya modal sempak hingga kamu punya anak tiga dan kini balasanmu ingin kawin lagi?!"

Bugh! 
Bogem kedua mendarat di keningnya.

"Ya Allah, Ma. Tahan emosimu, aku ga bermaksud ...."

Bugh! 

Kini kepalan tanganku mendarat di bibirnya hingga ia meringis memegangi mulutnya dan tak sanggup lagi mengatakan apa apa.

"Kau tahu, hah, kau bandingkan aku dengan wanita monyong yang sering menggunakan kaca mata sebesar tampi beras, dandanannya lebih mirip kuda penarik andong daripada seorang dosen! Aku pun bisa cantik lebih dari itu kalo kau beri uang!!" Teriakku emosi.

Kutarik kerah bajunya dan kuseret ia ke ruang  tamu dan kutunjukkan jejeran pigura photo-photo koleksi semasa aku masih gadis.

"Lihat dengan matamu, dulu apakah aku sejelek ini hingga kau mau menikahiku?!" Kataku berteriak di telinganya.

"Eng-enggak!"

"Lalu kenapa kau berani sekali?!"

"Aku ...ak-aku ..."

Gubrak!

Kutendang pinggangnya hingga ia tersungkur.

"Susah payah aku mengurus ketiga anakmu, aku tak membeli apa yang menjadi keinginanku demi mencukupi uang belanja yang kau berikan sangat minim itu!"

"Istighfar Ma, kamu kesurupan Ma," katanya memelas.

"Memang aku kesurupan," kataku sambil meraih uang lima puluh yang ia bawa dari hasilnya hari ini di pabrik.

"Uang cuma segini tapi lagakmu mau poligami?" Ejekku dan sekali lagi, 

Plak!  

Kuhantam kepalanya dengan bengis.

"Ya Allah," ratapnya.

"Ya allah katamu? kau tak tahu betapa sakitnya tiap malam kau kuingatkan agar beristirahat lebih pagi agar kau tidak masuk angin, namun rupanya kau chattingan dengan janda kesepian."

"Ak-aku gak bermaksud ...."

Dumprang! 

Kulempar wajan yang kuraih tak jauh tergantung  kearahnya hingga ia terkesiap bukan main.

"Kau sungguh ingin pulang ke kotamu  dan menikahi gundikmu! Baik, ayo ambil semua pakaianmu!" Kataku sambil meraih kopernya dari atas lemari.

Anak anak mulai panik dan menangis melihat aku membawa koper. Mereka takut ayahnya akan pergi.

"Mama jangan, kasihan Bapak. Mama ...." Anak-anak merengek dan menangis.

"Bapak kalian mau punya istri baru!" Sentakku hingga mereka terdiam. 
"Menjauhkan kalian dan pergilah bermain," lanjutku sambil memberikan pada mereka uang 50 tadi.

Anak anak beringsut turun dan membawa mainannya tinggal  aku dan Bang Hardi serta Si bayi yang saat itu hanya terlentang di depan tivi.

"Jadi katakan, apa maumu?!" sambungku mengulang kemarahan.

"Sungguh aku minta ampun, aku tak bermaksud menyakiti, tadinya aku cuma mau main-main menggoda dan ...."

"Dan apa?!" selaku garang, "Kamu mau menikahi, membahagiakan dan merawat anak-anaknya sedangkan anak-anakmu tidak terurus.

"Lihat ini, lihat!" kataku sambil meraih sisa ikan kemarin yang masih kusimpan untuk cadangan makan sore.
"Istri dan anak masih makan pindang kemarin sedangkan kau mau gaya-gayaan poligami!" jeritku.

"Enggak, sungguh."

Gumprang! 

Kubanting mangkuk pindang tersebut hingga pecah berkeping-keping. Suamiku meringkuk di sudut buffet kehilangan kata-kata.

Saat ini aku sangat geram dan kalap, dadaku sesak, amarahku berpacu dan membuat jantungku seolah berdegup ribuan kali lebih cepat dari biasanya.

Aku sungguh geram hingga ubun-ubunku terasa sangat panas. Bahkan saking marahnya aku lupa untuk menelan sesuap nasi dari sejak chat wanita itu masuk ke gawainya.
Aku kecewa dia mengkhianatiku di saat aku sungguh bertaruh hidup dan pengabdian padanya. Aku tak pernah menuntutnya, bahkan membeli pakaian pun tidak pernah selama aku menjadi istrinya.

Uang yang dia hasilkan hanya cukup untuk kami makan, dan itupun kerap kekurangan, kadang aku  hanya makan sekali sehari demi mencukupi nasi yang tinggal sedikit agar anak dan suamiku kenyang, aku sungguh-sungguh geram memikirkannya. Bahkan saking geramnya air mataku meleleh sendiri tapi aku tak bisa lagi tergugu pilu. Maka, kulampiaskan amarahku dengan mengamuk dan membanting segalanya.



Komentar

Login untuk melihat komentar!