Bab 6. Penampilan Baru

Aku akhirnya mengalah, karena bagaimanapun aku perlu sesuatu untuk meredakan sakit kepala ini. Kembali aku merebahkan diri di atas ranjang, lalu berbaring membelakanginya dengan selimut yang menutupi seluruh tubuh. Sedang dia kemudian duduk di sisi ranjang, tepat di sampingku. Ini adalah kali pertama aku sedekat ini dengan Mas Arya. 

Tak lama kemudian kurasakan jemari lelaki itu mulai menyentuh kening dan pelipis. Menekannya ke arah belakang telinga beberapa kali. Lalu perlahan berpindah ke area kepala. Dia melakukannya dengan penuh kelembutan. Tangannya bergerak pelan melakukan pijatan lembut pada titik-titik saraf di kepala. Membuat aku merasa lebih rileks.

Ada perasaan nyaman saat tangannya menyentuh kepala ini. Kadang aku merasa dia seperti membelai kepalaku dengan sayang. Seolah dia sedang menumpahkan semua perasaannya yang telah lama terpendam. Perasaan yang sampai detik ini belum bisa kubalas dengan rasa yang sama.

Aku memejamkan mata. Kurasakan kelopak mata ini makin lama semakin berat, sampai akhirnya aku pun tertidur.

Aku terjaga tengah malam karena merasa sangat haus. Mengerjapkan mata beberapa kali untuk menyesuaikan penglihatan dengan cahaya lampu yang membuat mata ini silau. Perlahan membalikkan badan lantas mengubah posisi dari berbaring kemudian duduk. Aku meraih gelas berisi air putih yang sengaja disediakan oleh Mas Arya untukku. Setelah menenggak habis air dalam gelas, aku kembali merebahkan tubuh. Sengaja menghadap ke arah Mas Arya yang tengah duduk membelakangi, tak jauh dariku.

Laki-laki itu sedang melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Suaranya terdengar sangat merdu di telinga. Begitu menyentuh hingga menembus ruang hatiku yang beku. Aku benar-benar terkesima. Satu lagi kelebihannya yang baru kusadari.  

Benar apa yang pernah dikatakan Ibu, bahwa rasa benci hanya akan menutupi mata hati. Hingga sulit melihat kebaikan dan kelebihan dari orang yang dibenci. Seperti aku yang selama ini tak menyadari segala kelebihan yang dimiliki oleh Mas Arya. Hanya karena perasaan tidak ikhlas yang masih bersarang dalam hati. Rasa tak rela yang perlahan mulai memudar. Terkikis oleh waktu yang kami habiskan di bawah atap yang sama. Kini aku merasa mulai mengenalnya, meski rasa cinta belum juga tumbuh di dalam sini.

Kembali teringat pertemuanku siang tadi dengan seorang wanita bernama Risma. Sungguh, semua informasi yang dia sampaikan itu membuatku merasa bersalah. Teringat semua sikapku selama ini pada Mas Arya. Laki-laki yang selalu sabar menghadapi perempuan egois sepertiku. Sungguh tak kusangka, dia ternyata sudah lama menyimpan perasaan cintanya padaku.

Mungkin karena merasa ada yang memperhatikan dirinya, Mas Arya tiba-tiba menoleh. Dia kemudian tersenyum lembut lalu membalikkan badan menghadap ke arahku.

"Maaf sudah membuatmu terbangun. Maaf juga karena Mas masih di sini."

"Nggak apa-apa, Mas."

"Apa Mas harus keluar sekarang?"

"Di sini saja kalau Mas nggak keberatan. Hani suka mendengar suaranya Mas Arya. Merdu seperti suaranya Muzamil Hasballah." 

"Ah, iyakah?" 

Mas Arya tersenyum, memamerkan deretan giginya yang rapi. Itu adalah pujian pertama yang keluar dari bibirku semenjak kami menikah. Pujian spontan yang terucap begitu saja. Wajahku tiba-tiba memanas saat menyadari Mas Arya tengah memandang dengan tatapan teduhnya. Aku memalingkan wajah ke arah lain. Jengah rasanya ditatap lekat seperti itu oleh Mas Arya.

Segera aku mengubah posisi berbaring, memiringkan tubuh menghadap ke arah dinding. Kembali membelakanginya untuk menghindari tatapan lelaki itu. Kemudian memejamkan mata, sampai akhirnya kembali tertidur.

***

Waktu telah menunjukkan pukul lima pagi saat aku membuka mata. Udara dingin berembus masuk melalui kisi-kisi jendela kamar. Aku merasa lebih segar sekarang. Kepala terasa ringan dan tak nyeri lagi. Aku bangkit dari pembaringan, lalu melangkah menuju kamar mandi untuk membasuh wajah dan berwudu. Setelah itu mengenakan mukena untuk menunaikan ibadah salat subuh.

Setelah selesai melaksanakan kewajiban, aku melangkah keluar kamar menuju dapur. Dari arah pintu depan, terdengar suara salam Mas Arya yang baru saja pulang dari masjid. Barangkali mengetahui aku sudah bangun dan hendak beraktifitas seperti biasa, laki-laki itu kemudian menyusul masuk ke dapur.

"Sudah baikan, Dek?" tanyanya kemudian. Aku membalikkan badan lalu menatapnya sekilas.

"Iya ... kepala sudah nggak nyeri lagi."

"Istirahat aja dulu, nanti Mas yang siapkan sarapannya."

"Memangnya Mas bisa masak?" tanyaku tak yakin.

"Oh, bisa dong. Tunggu bentar, ya." Aku mengangguk mengiyakan. 

Mas Arya lalu masuk ke dalam kamarnya, mengganti baju koko yang tadi dipakainya dengan baju kaos rumahan. Dia kemudian kembali lagi dan mulai menyiapkan beberapa bumbu yang diperlukan. Mengambil wajan dan menaruhnya di atas kompor. Laki-laki itu tampak begitu bersemangat menyiapkan sarapan untuk kami.

Aku hanya duduk diam sembari mengawasinya. Laki-laki itu tidak membiarkan aku ikut membantu menyiapkan bahan untuk memasak. Setelah beberapa menit berlalu, tercium aroma lezat nasi goreng. Tiba-tiba aku merasa sangat lapar.

Mas Arya kemudian mengambil dua buah piring lalu menuangkan nasi goreng yang masih mengepulkan uap panas. Menambahkan telur mata sapi dan irisan timun. Aku tersenyum melihat caranya menata nasi goreng di atas piring. Dia kemudian menaruh nasi goreng tersebut di hadapan dan mempersilakan aku untuk makan.

Aku mengangguk, tak lupa mengucapkan terima kasih pada lelaki di hadapan. Perlahan tangan ini mengaduk nasi goreng yang masih panas. Menit berikutnya mulai melahap makanan beraroma lezat di depanku.

"Gimana, Dek? Enak 'kan?" tanya Mas Arya saat melihatku begitu menikmati nasi goreng buatannya. Aku mengangkat wajah lalu mengangguk mengiyakan. Dia tersenyum lebar memandangku yang kembali sibuk mengunyah nasi goreng hasil olahannya.

Setelah hampir dua bulan pernikahan, baru kali ini kami makan bersama. Biasanya Mas Arya makan sendiri di meja makan. Sedang aku kadang membawa makanan ke dalam kamar. Atau menunggunya selesai, barulah aku masuk kembali ke ruang makan.

"Emm ... Mas, itu kumisnya bisa dicukur nggak?" tanyaku saat dia akan menghabiskan sendok terakhir nasi gorengnya.

Pertanyaanku yang tiba-tiba membuat laki-laki di hadapan tersedak lalu terbatuk-batuk. Buru-buru dia meraih gelas air minum yang ada di depannya. Menenggaknya sampai habis tak bersisa. Aku membekap mulut sendiri menyadari ucapanku telah membuatnya tersedak seperti itu.

"Eh, maaf ... salah ngomong." Aku segera mengangkat piring makan yang telah kosong, buru-buru berlalu dari hadapan Mas Arya. 

Sebenarnya sudah lama aku ingin sekali mengatakan itu pada Mas Arya. Meminta mencukur kumisnya yang lebat. Dan pagi ini, keinginan untuk mengatakan itu tak bisa kutahan lagi. Aku memang tak suka melihat kumis tebalnya. Kumis dan cambang yang membuatnya terlihat jauh lebih tua dari umur yang sebenarnya. Aku juga tak suka dengan aksesori yang melekat di tubuhnya. Kacamata besar, kalung tengkorak, gelang akar bahar dan cincin batu hitam itu benar-benar sangat mengganggu penglihatan ini.

Sebelum aku keluar meninggalkan dapur, sempat kulihat tangan Mas Arya mengelus kumisnya yang tebal. Ah, biarkan saja dia kalau sampai merasa tersinggung karena perkataanku barusan.

***

 

Sudah beberapa hari ini aku tinggal sendirian di rumah. Mas Arya sedang berangkat ke Bogor selama beberapa hari ke depan. Ada undangan seminar nasional yang harus dihadirinya di sana. Pria itu memang sering mendapat undangan sebagai pembicara pada acara seminar maupun pelatihan di dalam dan di luar kota.

Mas Arya juga mengajakku untuk ikut dengannya. Karena rencananya dia sekalian akan mengunjungi rumah orang tuanya yang berada di Bekasi. Namun, aku menolak ajakannya dengan alasan yang sengaja dibuat-buat. Tentu saja itu karena aku tak ingin melakukan perjalanan jauh dengannya, karena mau tak mau kami pasti akan selalu berinteraksi. Dan seperti biasa, dia menerima saja alasanku, meski ada rasa kecewa terpancar dari sorot matanya.

Sebenarnya sudah beberapa kali Mas Arya mengajakku untuk bertemu keluarganya. Orang tua Mas Arya memang tinggal di sana, hanya Mas Arya sendiri yang tinggal menetap dan bekerja di Sulawesi. Aku baru sekali bertemu dengan orang tua Mas Arya, saat acara akad nikah dulu. Belum pernah berjumpa dengan saudara Mas Arya yang lain. Aku hanya tahu mereka ada empat bersaudara, laki-laki semua. Ibu Mas Arya yang juga saudara sepupu Om Harun, sempat memelukku erat waktu kami bertemu saat akad nikah dulu. Beliau sangat bahagia karena anak laki-lakinya yang sudah lama melajang, akhirnya menikah juga.

Setelah hari itu, kami tak pernah bertemu lagi. Hanya sesekali beliau menelpon untuk menanyakan kabarku dan Mas Arya di sini. Keluarga Mas Arya sama sekali tidak tahu kondisi pernikahan kami. Mereka mengira kalau aku dan Mas Arya sudah lama saling mengenal dan menjalin hubungan.

Sudah beberapa hari ini aku tidak keluar rumah. Rencananya siang nanti akan ke kampus, tapi entah kenapa tiba-tiba merasa malas dan akhirnya mengurungkan niat untuk keluar rumah. Sepertinya lebih baik menghabiskan waktu di perpustakaan ruang kerja Mas Arya. Barangkali aku bisa mendapatkan sedikit bahan pustaka yang berhubungan dengan tugas akhir.

Buku di dalam ruang perpustakaan Mas Arya didominasi oleh buku-buku sains. Sesuai dengan latar belakang pendidikan dan pekerjaan Mas Arya. Aku yakin pasti ada salah satu buku yang bisa dijadikan bahan rujukan. Lama aku mencari, tapi belum juga menemukan buku yang sesuai. Ada beberapa buku yang membahas materi yang sama, tapi masih kurang spesifik. 

Saat sedang sibuk membaca satu per satu judul buku yang ada di atas rak, tiba-tiba dari lantai bawah terdengar suara bel berbunyi. Aku bergegas keluar dari ruang kerja Mas Arya. Menuruni anak tangga menuju lantai bawah. Tak lupa menyambar jilbab yang tersampir di belakang pintu kamar lalu segera mengenakannya. Suara bel kembali terdengar nyaring, membuatku mempercepat langkah menuju ruang depan. Tanganku bergerak memutar kunci lalu menarik gagang pintu perlahan.

Sosok yang sebelumnya berdiri membelakangi langsung membalikkan badan begitu pintu terbuka sempurna. Seketika pandangan kami saling beradu. Aku menahan napas saat netra kelam yang dipayungi alis hitam tebal itu menatapku lekat. Tanpa sadar tanganku bergerak membekap mulut sendiri, menyembunyikan rasa terkejut karena menyaksikan pemandangan tak biasa di depan mata.

Di hadapanku berdiri sosok laki-laki yang tak asing, tapi sangat berbeda. Dia mengenakan baju kaos berwarna putih yang dilapisi kemeja garis-garis dengan kancing yang dibiarkan terbuka. Lengan baju digulung sampai ke siku. Atasan tersebut ia padukan dengan celana jins biru pudar. Rambutnya lebih pendek dari sebelumnya, sama sekali tanpa sentuhan pomade. Wajahnya bersih tanpa kumis dan cambang. Tak ada kacamata besar yang selalu membingkai wajah. Juga tak ada cincin batu akik, kalung tengkorak dan gelang akar bahar yang sering dipakainya. Dia benar-benar jauh berbeda dari yang sebelumnya. Dan senyumnya itu ... ehm, senyumnya ternyata manis juga.

Ah, kenapa aku jadi terpana melihat penampilan baru Mas Arya?



Komentar

Login untuk melihat komentar!