Aku melangkah lunglai masuk ke dalam kamar. Aroma wangi langsung menyerbu penciuman begitu aku berada di dalam ruangan. Bukannya menenangkan hati, tapi malah membuatku semakin nelangsa. Aku mengedarkan pandangan ke sekitar, memindai sisi-sisi ruangan yang sudah dihias sedemikian rupa. Mataku kemudian beralih pada taburan kelopak mawar yang berserakan di atas ranjang.
Aku lalu duduk di depan kaca meja rias. Sejenak menatap bayangan sendiri di cermin. Sembab di mata ini masih kentara. Satu per satu kulepas aneka aksesori yang masih melekat di tubuh. Menanggalkan mahkota bunga yang menempel di kepala. Setelah itu mulai membersihkan wajah dari sisa-sisa make up yang masih menempel.
Setelah semuanya selesai, aku lantas menuju pembaringan. Beberapa kali mengibas taburan mawar yang ada di atas ranjang. Lalu berbaring meluruskan badan. Membuang rasa pegal karena seharian melayani para tamu undangan.
Aku menoleh ke arah pintu yang tertutup. Ingin rasanya aku mengunci pintu kamar. Biar laki-laki yang sudah sah menjadi suamiku tidak bisa masuk ke dalam ruangan ini. Baru saja hendak menjalankan aksiku, tiba-tiba terdengar ketukan pelan dari arah luar. Menyusul bunyi handel yang ditekan ke bawah lalu daun pintu perlahan bergerak membuka. Laki-laki itu berdiri sejenak di sana, sebelum akhirnya mengucap salam.
"Assalamu alaikum ...."
Aku menutup mata, pura-pura tidur. Pria yang sudah sah menjadi suamiku itu berjalan mendekat, lalu duduk di tepi ranjang. Beberapa kali terdengar dia menarik napas panjang. Berkata lirih seakan bicara pada diri sendiri.
"Maafkan Mas, sudah membuatmu menangis."
"Tidak ada gunanya minta maaf. Semua sudah terjadi. Harusnya sejak awal Mas itu mundur. Tidak memaksakan diri seperti ini. Kalau bukan karena Bapak dan Ibu, pernikahan ini tidak akan pernah terjadi," ucapku ketus, tapi hanya dalam hati.
Laki-laki itu kemudian bangkit, lalu berjalan ke arah sudut ruangan. Tangannya meraih karpet berukuran mini yang masih tergulung, lalu mulai membentangkan benda persegi itu di atas lantai yang dingin. Dia lalu merebahkan diri di atas lantai berkarpet. Kedua tangannya dia gunakan untuk menyangga kepala. Matanya menatap langit-langit kamar, seolah sedang merenungi nasib pernikahan kami yang baru hitungan jam.
Dari atas ranjang tempatku berbaring, aku terus mengawasi setiap gerakannya. Tentu saja dengan mata setengah terpejam. Memastikan tidak ada hal aneh yang dia lakukan. Aku menatapnya sinis saat matanya perlahan mulai menutup.
Tidurlah yang nyenyak, Suamiku. Jangan pernah berharap ada malam pertama, kedua, dan seterusnya. Buang mimpimu itu jauh-jauh.
***
Seminggu sudah berlalu sejak hari pernikahan kami. Selama seminggu itu pula Mas Arya tidur di atas lantai. Hanya beralaskan selembar karpet mini bermotif kotak-kotak yang memang sengaja kusediakan untuknya. Biar dia tahu kalau aku tidak ikhlas dengan pernikahan ini.
Kadang kulihat dia memijat punggung sendiri. Barangkali merasa pegal karena sudah beberapa hari harus tidur di atas lantai. Aku sama sekali tak peduli. Biar dia merasakan sendiri akibat dari perbuatannya yang nekat memaksakan kehendak, dengan mempersunting diriku sebagai istri.
Kemarin Mas Arya memintaku untuk turut serta tinggal di rumahnya yang berada di dekat kampus. Awalnya aku keberatan, tapi Bapak dan Ibu sangat mendukung keputusan Mas Arya. Aku tak punya pilihan lain selain menuruti keinginan suami. Meski aku terpaksa menjalani pernikahan ini, tapi aku menyadari bahwa kini tanggung jawab Bapak telah beralih sepenuhnya pada Mas Arya. Laki-laki yang kini telah berstatus sebagai suamiku.
"Hari ini kau mungkin belum bisa melihat kebaikan suamimu, karena hatimu masih tertutup oleh rasa benci. Tapi saat hatimu telah ikhlas dengan takdir ini, saat itulah kau akan paham bahwa dia adalah laki-laki terbaik yang dipilihkan Tuhan untukmu. Ibu yakin, dia adalah jawaban dari doa yang selalu Ibu panjatkan. Kamu dipertemukan dengan jodoh yang baik dan bertanggung jawab." Itu adalah kata-kata Ibu beberapa waktu lalu. Saat beliau kembali mendapatiku menangis lagi.
Terkadang aku bertanya pada diri sendiri. Benarkah dia adalah laki-laki terbaik yang dipilihkan Tuhan untukku? Tapi kenapa tidak ada setitik pun rasa untuknya? Tak ada getar-getar aneh atau apa pun itu saat berada di dekatnya atau saat aku memandang wajahnya. Sama sekali tak ada tunas-tunas cinta di dalam hati ini. Rasaku terlalu hambar, bahkan mungkin cenderung pahit. Tertutupi oleh perasaan tidak ikhlas akan takdir jodoh ini.
Meski merasa sangat keberatan, aku terpaksa mengikuti keinginan Mas Arya untuk tinggal bersama di rumahnya. Setelah menyiapkan pakaian dan keperluan lain, kami akhirnya berangkat pagi ini menuju kediaman laki-laki yang kini telah sah menjadi suami.
Sepanjang perjalanan aku hanya diam saja. Sama sekali malas untuk bersuara apalagi berbasa-basi dengan lelaki yang duduk di belakang kemudi. Aku lebih sering mengarahkan pandangan ke luar jendela. Memperhatikan apa saja yang dilalui sepanjang perjalanan menuju rumah Mas Arya. Beberapa kali mendapati Mas Arya menoleh ke arahku, seolah dia ingin mengatakan sesuatu. Tapi aku selalu menghindar dengan memalingkan wajah ke arah lain.
Mobil terus melaju dengan kecepatan sedang. Membelah jalanan yang masih sepi. Setelah menempuh waktu satu setengah jam perjalanan, kami akhirnya tiba di kompleks perumahan tempat tinggal Mas Arya. Tampak sebuah rumah bergaya minimalis dengan halaman yang cukup luas dan asri. Beberapa pohon palem berjejer rapi di luar pagar. Halaman rumah tampak hijau dengan pohon pelindung dan beberapa tanaman yang tumbuh segar di dalam pot. Menandakan kalau taman ini selalu mendapat perawatan dari pemiliknya.
Aku segera turun dari mobil, sedang Mas Arya mulai mengeluarkan semua barang dari bagasi. Barang-barang itu lalu diangkutnya masuk ke dalam rumah. Sedang aku berjalan mengikutinya dari belakang.
"Ini kamarnya, Dek ... lebih luas dan nyaman," ucap Mas Arya memberitahu sambil meletakkan barang-barangku di dalam sebuah kamar yang ukurannya lebih luas dibanding kamarku yang ada di rumah Ibu.
"Terserah saja yang mana, asal kita nggak sekamar," jawabku dingin. Laki-laki itu hanya diam mendengar perkataanku. Dia kembali menghela napas panjang.
"Di lantai atas ada ruang baca. Kalau Adek bosan, main saja ke atas. Banyak buku-buku menarik di sana. Dek Hani suka menulis, ‘kan?"
Kening sedikit berkerut mendengar ucapannya barusan. Dari mana Mas Arya tahu kalau aku suka menulis?
"Iya," jawabku singkat.
Aku berlalu, melangkah masuk ke dalam kamar. Meninggalkan Mas Arya yang masih sibuk beres-beres. Aku lalu merebahkan tubuh di atas ranjang berukuran king size. Setelah sebelumnya mengunci pintu kamar dari dalam. Mataku menerawang menatap langit-langit di atas sama. Merenungi nasib diri, entah seperti apa hidupku nanti. Tinggal bersama dengan laki-laki yang berstatus suami tanpa ada rasa cinta sama sekali.
Sungguh, hati ini masih berat menerima kehadirannya sebagai pendamping hidup. Sama sekali tidak ada benih cinta di dalam hati, yang ada malah perasaan kesal setiap kali melihatnya ada di depan mata. Padahal aku tahu kalau dia sudah berusaha membatasi interaksi denganku. Terpaksa menjaga jarak. Seperti apa yang pernah kukatakan padanya.
Selama resmi menjadi sepasang suami istri, Mas Arya selalu memperlakukanku dengan sangat baik. Sedang aku sendiri bersikap sebaliknya. Ketus dan acuh tak acuh. Kadang aku bertanya pada diri sendiri. Terbuat dari apa hati lelaki itu? Kenapa dia sama sekali tak pernah membalas perkataan pedas yang keluar dari lisan ini.
Kadang, aku sengaja berkata tajam dan menusuk. Berharap dia tersinggung dan marah. Dengan begitu aku punya alasan untuk kembali ke rumah orang tuaku. Tapi sampai detik ini, dia tetap sabar menghadapi semua ulahku. Tak sekali pun dia bermuka masam apalagi sampai membalas perkataanku.
***
Aku terbangun saat terdengar suara berisik alarm ponsel. Benda tersebut terus mengeluarkan bunyi yang semakin lama semakin nyaring. Segera aku meraih benda persegi itu, lalu mengusap layar yang berpendar. Waktu menunjukkan pukul lima lewat sepuluh menit. Aku bangkit dari pembaringan, bergegas ke kamar mandi untuk membasuh muka dan berwudu. Kembali ke kamar untuk menunaikan ibadah salat subuh yang sedikit terlambat. Meski aku bukanlah wanita salihah, tapi kewajiban sebagai seorang muslim tidak boleh ditinggalkan.
Setelah selesai menunaikan salat, aku melangkah ke luar kamar. Kulihat Mas Arya sedang sibuk mencuci piring di wastafel. Dia menoleh saat menyadari kehadiranku.
"Pagi Dek ...," sapanya dengan senyuman.
"Pagi," jawabku datar.
Aku lalu menyiapkan bahan-bahan untuk membuat sarapan pagi. Setelah sebelumnya meminta Mas Arya untuk keluar dari dapur. Rasanya risih bila kami berada di dalam satu ruangan, tanpa saling bicara.
Meskipun tidak sepenuhnya menjalankan kewajiban sebagai seorang istri, tapi aktifitas seperti memasak dan beres-beres rumah tetap kulakukan. Toh, aku juga butuh makan dan tempat tinggal yang bersih dan nyaman. Tak mungkinlah hanya duduk diam seharian di dalam rumah.
Setelah menyiapkan sarapan untuk Mas Arya, aku kembali masuk ke dalam kamar. Sedang Mas Arya tengah siap-siap untuk berangkat kerja. Menyiapkan semua keperluannya sendiri. Kami melakukan aktifitas masing-masing dalam diam. Aku hanya bicara jika ada hal penting saja.
Terkadang laki-laki itu sengaja menanyakan sesuatu hanya untuk mendengarku bicara. Sekadar untuk menghilangkan kecanggungan di antara kami berdua. Aneh memang, tapi begitulah adanya.
Aku kemudian keluar kamar setelah Mas Arya berangkat kerja. Kembali melanjutkan rutinitas seperti biasa. Awalnya Mas Arya ingin mempekerjakan seorang asisten rumah tangga untuk membantuku, tapi tentu saja aku menolaknya. Aku tak mau ada orang lain yang mengetahui kondisi rumah tangga kami. Sepasang pengantin baru yang sangat jauh dari kesan harmonis apalagi romantis. Pasangan yang hanya berinteraksi dalam diam dan saling menjaga jarak.
Rasa bosan karena sendirian di dalam rumah, membuatku berpikir untuk mencari kesibukan lain. Seperti mencari suasana baru untuk mengembalikan mood menulis yang belakangan tak kunjung datang. Setelah menyelesaikan pekerjaan rumah, aku segera mandi dan berganti pakaian. Tak perlu jauh-jauh untuk mencari susana baru. Sebab di dalam rumah ini ada tempat yang kuinginkan. Perpustakaan.
Bergegas aku melangkah menaiki anak tangga menuju ruang kerja Mas Arya. Kamar khusus sekaligus perpustakaan mini yang letaknya di lantai atas. Sejak berada di rumah ini, aku memang begitu penasaran dengan buku-buku yang ada di tempat itu. Maklum, salah satu hobiku adalah menulis. Jadi, aku harus banyak-banyak membaca untuk memperluas wawasan dan menambah tabungan kosakata.
Tanganku menyentuh handel pintu yang tidak terkunci. Mendorongnya perlahan hingga pintu terbuka lebar. Netra ini berusaha menyesuaikan penglihatan dengan keadaan ruangan yang sedikit gelap. Berusaha mencari posisi saklar untuk menyalakan lampu. Setelah menemukan apa yang dicari, segera kutekan tombol yang berada di dinding dekat pintu. Ruang kerja sekaligus perpustakaan ini berubah menjadi terang benderang. Aku merasakan udara dalam ruangan yang sedikit pengap. Mungkin karena ruangan ini lebih sering tertutup. Segera mengayunkan langkah menuju jendela lalu membukanya lebar-lebar. Seketika udara segar menyerbu masuk ke dalam kamar yang dipenuhi oleh buku-buku. Ruangan yang tadinya pengap berubah menjadi segar kembali.
Sejenak aku mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Menatap buku-buku yang berjejer rapi. Di antara banyaknya buku yang tersusun di atas rak, ada sebuah yang cukup menarik perhatianku. Tampaknya sengaja diletakkan di atas susunan buku lain. Sepertinya benda itu sering dibuka oleh pemiliknya. Aku lalu meraih buku bersampul hijau tua tersebut. Sebuah buku dengan judul berbahasa inggris. Perlahan membuka lembaran-lembaran kertas yang warnanya mulai menguning. Saat membuka lembaran kesekian, dua lembar foto tiba-tiba terjatuh.
Aku membungkuk, meraih foto yang jatuh di atas lantai. Lembar foto pertama adalah foto mahasiswa yang sedang orientasi, dengan rambut yang dikepang banyak sekali. Memakai kemeja putih dan celana jins biru gelap. Mengenakan dasi motif dan sepatu berwarna putih. Ada kacamata hitam yang bertengger di wajah. Aku mengerutkan kening memperhatikan foto itu baik-baik. Baru menyadari kalau perempuan dalam gambar adalah aku sendiri. Kuambil lembar foto yang kedua. Yah, itu memang diriku. Wajahku yang di-zoom tampak terlihat tegang. Wajah khas mahasiswa baru yang sedang menjalani masa orientasi.
Dari mana Mas Arya mendapatkan foto-foto ini? Kalau Mas Arya sudah lama menyimpan foto jadul ini, berarti dia sudah mengenalku sejak aku masih berstatus sebagai mahasiswa baru. Apakah itu artinya dia juga sudah lama memendam rasa?
Login untuk melihat komentar!