Makan Malam Gratis


Selera makan Havis seakan hilang ketika melihat Afif datang ikut makan di warung Ijo. Untung tinggal sedikit. Dengan cepat Havis menghabiskan brongkos tanpa sisa. Ia ingin menghindari Afif. Tapi  kalah cepat karena sejurus kemudian, Afif telah berada di depannya.  Havis menjadi sadar bahwa tugasnya adalah melindungi Aza dari semua pendekatan lelaki. 

“Bolehkah saya bergabung di meja ini? Karena hanya meja ini yang sedikit kosong. Mau di luar, hujan masih deras.”
 Afif terus saja mengarahkan pandangan ke Havis untuk meminta persetujuan, tetapi Havis pura-pura sibuk memainkan hpnya. Lalu Afif mengalihkan pandangan ke Aza. Sebenarnya, Aza pun tak kuasa menahan untuk tetap diam selama dipandangi Afif.

“Begini, mbak. Saya juga ingin menyampaikan sesuatu. Tapi kalo sekira tidak berkenan saya akan pindah tempat.”

“Silakan”, ucap Aza datar sambil sekilas memandang Afif.

Lalu Havis mendekatkan dirinya ke Aza dan berbisik. 
“Adek sudah kerasukan jin mana hah ?Mau menerima lelaki asing mendekat?”
“Aku ingin meminta pertanggungjawaban lelaki itu?”
Apa? Jadi, Adek sudah berhubungan dengan lelaki itu?”
“Astagfirullah! Hp-ku rusak karena terjatuh, Mas. Paham?”  Aza menjawab pertanyaan Havis tak kalah tegas.
 
Afif seakan menjaga pandangan dari adegan  Havis dan Aza yang berbisik mesra layaknya pasangan suami istri. Dan selama ini drama mereka berhasil mengusir lelaki yang mencoba mendekati Aza.

Beberapa saat ketiganya sibuk dalam diam. Havis mengangguk-angguk mendengarkan musik gambus dari androidnya. Sesekali matanya mengamati gerak-gerik Afif. Lain halnya dengan Aza yang mengeluarkan proposal thesisnya. Aza membolak-balik dan sesekali mencoret tulisan yang dirasa salah. Afif makan dengan lahapnya seakan tidak terganggu dengan kehadiran dua orang di depannya.

Setelah Afif selesai makan, Aza memberikan isyarat dengan tangannya agar  Afif segera mengutarakan maksudnya. Havis segera mencabut earphone dari telinganya.

“Perkenalkan, nama saya Afif Khoirul Anam. Maafkan saya tentang kejadian tadi di bandara. Saya gak sengaja dan bertanggungjawab dengan akibatnya.”
“Maksudmu apa? Kami tidak menuntut apa-apa darimu ya? “
“Begini, tadi saya lihat hp mbak Aza terjatuh dan tergores oleh tas koper saya. Dan mungkin juga kakinya terkilir atau memar, barangkali ...”
“Cukup”, potong Havis,”kasihkan saja hp-mu Dek! Lalu kita segera pulang,  Abi baru saja  misscall.”

Havis bangkit dari tempat duduknya namun tidak diikuti oleh Aza.
“Terima kasih mas Afif atas kebaikan hatinya. Ini hpnya, kalo sudah diservis tolong diantarkan ke pesantren Darul Ulum Pabelan.”

Begitu Aza selesai bicara, Havis segera menarik tangan Aza untuk berdiri. Sebelum meninggalkan Afif, Havis sempat berbisik.
“Makasih ya traktirannya, moga harimu tambah berkah Fif.” 

Afif hanya tersenyum dengan kalimat yang diucapkan Havis. Pikirannya mulai bisa memahami. Modus benar nih anak. Nodongnya gak ketulungan. Tapi, yah.. namanya anak kuliahan, pasti butuh banyak biaya untuk kuliah, apalagi di Mesir. Afif tahu hal itu karena bisa membaca tulisan arab  di jaket almamater yang dikenakan Havis. 

“Semoga liburanmu juga menyenangkan, Ila Liqo’ ! “Balas Afif setengah berteriak.

Aza yang hendak membayar makanan tersentak kaget begitu tahu Afif bisa bertegur sapa dengan bahasa Arab. Spontan Aza menoleh ke arah Afif. Afif sigap menyambut dengan anggukan dan seulas senyum. Tak lupa kedua telapak tangannya mengatup seperti orang berlebaran di hari raya atau seperti petugas POM bensin menyapa pelanggannya.

Tak disangka, Aza balas mengatupkan kedua tangannya begitu tahu Afiflah yang membayar tagihan makan malamnya.
Ustadz Anam masih berdzikir di masjid ketika Aza datang mendekat. Dengan takdim Aza mencium punggung telapak tangan  abinya. Begitu pula Ustadz Anam, mencium ubun-ubun Aza dengan kasih sayang dan kerinduan yang mendalam. Ia menarik napas panjang. 

Kini ia lega. Anak perempuan kesayangannya telah kembali setelah lima tahun berpisah karena menuntut ilmu di negeri orang. Bila  melihat Aza, ia teringat Fatima, almarhumah istri keduanya. Perempuan cerdas dari  Limerick Irlandia itu, berhasil menawan hatinya. 

Waktu itu, Ustadz Anam masih menjadi mahasiswa tingkat akhir di Al Azhar Kairo. Ustadz Anam menikahi Fatima setahun setelah  istri pertamanya  Ummul Imamah meninggal karena kanker. Dengan Ummul Imamah, Ustadz Anam dikaruniai seorang anak laki-laki bernama Muhammad Havis. Anak laki-lakinya itu kemudian diasuh buliknya yang tidak memiliki keturunan.

Setahun membina rumah tangga dengan Fatima adalah masa yang membahagiakan dirinya. Apalagi setelah Fatima hamil. Namun, Allah menguji dengan meninggalnya Fatima saat melahirkan anak pertamanya yang diberi nama Alexandria Nur Fawaza. Nama Alexandria diambil dari nama kota pelabuhan besar di Mesir. Di sanalah awal pertemuan Ustadz Anam dengan Fatima.

Ustadz Anam tahu betul bagaimana perjuangan melahirkan seorang anak. Ia bahkan sempat melihat dengan matanya sendiri bagaimana proses Fatima melahirkan. Tiga hari tiga malam mereka berdua jalani bersama menanti kelahiran Aza. Mereka tidur hanya di sela-sela penat setelah berjalan-jalan agar bayinya turun ke panggul.

Waktu itu dokter menyarankan bedah cesar, namun Fatima menolak karena ingin proses alami. Padahal dalam rekaman rongent ada tali pusar yang melilit leher. Dengan taqdir Allah, Aza selamat. Namun Fatima kemudian mengalami kondisi drop hingga meninggal dunia. Fatima syahid di hari ketiga setelah melahirkan Aza. Kelopak mata Ustadz Anam basah oleh kenangan bersama Fatima, istri tercintanya.

Aza yang tahu Abinya melamun tak kuasa untuk menyadarkannya. Mungkin beliau marah atau teringat akan uminya. Aza merebahkan kepalanya di pangkuan Abinya. Ustadz Anam pun tersadar dari  lamunannya.

“Abi..maafkan Aza kalo Abi marah karena kemarin pulang terlambat.”
“Bukan itu Za, Abi teringat umi. Semua yang ada pada Umi juga ada padamu.”

“Maafkan Aza, Bi. Sebenarnya Aza itu bingung dengan sikap Abi.” 
“Maksudnya?”
“Kata Abi,  Aza itu pengobat rindu Umi. Tapi kok malah sering kali Aza lihat Abi sedih terus ketika dekat dengan Aza?”
“Memang begitu Za. Mungkin kalau kamu sudah menemukan pasangan sejatimu  baru akan merasakan. Bagaimana sulitnya hati memendam kenangan indah bersama orang tercinta. Dan kenangan itu kini tinggal menyisakan gadis cantik bermata biru. Itulah kamu, Aza anakku.”

Aza memeluk erat Abinya dengan sayang. Dalam hatinya kata terakhir Abinya semakin menguatkan kalau Abinya ingin dirinya segera menikah. Dan kini Aza telah memantapkan hatinya untuk menikah sebelum  kembali ke Mesir. 

Aza tidak mau nantinya menyesal. Aza tidak berharap namun banyak kejadian dan pengalaman dari teman-temannya. Aza takut kehilangan abinya. Aza takut kalau keinginan abinya agar Aza segera menikah adalah firasat... Astagfirullah.... Aza memohon ampun terlalu jauh berandai-andai.

“Loh..kok melamunnya jadi nular ya?”
“Ih, Abi seperti anak puber aja suka godain Aza.”

Ustadz Anam menjepit hidung Aza yang mancung. Ia senang, sifat kekanak-kanakan Aza sejak dulu tidak berubah. Terutama saat momen mereka berdua mengenang uminya.

“Yuk jalan-jalan. Ingin menghirup udara segar di tengah sawah ‘kan?”
“Maaf, Bi. Aza gak bisa. Kaki Aza masih sakit.”
“Mengapa kakimu, terkilir?”
“Tidak Bi, hanya lecet?”
“Lecet kena apa?”

Aza tak menjawab pertanyaan Abinya. Ia tak mau berbohong tapi juga tak mau jujur. Dua-duanya mengandung resiko. Abinya pasti akan menginterogasi terus, apalagi ini tentang lelaki itu. Ah...kenapa Aza jadi lupa namanya dan ingat wajahnya ya? 

Astagfirullah.... ya Allah yang Aza ingat sepertinya  namanya sama seperti abinya ya? Anam kalo gak salah. Aza tersenyum sendiri. Lalu tersadar dari halunya.

“Sudahlah Bi, Aza sudah besar, bukan anak kecil lagi. Masak luka memar sampai dipikirkan sesepuh pesantren? Masih banyak hal besar lain yang membutuhkan pemikiran Abi, kan?”

“Ya, sudah. Abi ngaku kalah. Kamu itu pinternya gak ilang-ilang ya?”
“Bi.. boleh Aza tanya? Mengapa abi meminta Aza pulang? Dan masalah yang penting itu apa Bi?”
“Kamu ndak usah tanya nanti juga tahu jawabannya, kan?”
“Lho, Abi kok aneh gitu, sih?”
“Sudah, habis ini kamu ke mbok Leginem biar kakimu yang memar atau terkilir cepat sembuh”
“Tapi, Bi.”
“Nanti kalo kakimu sudah baikan, Abi baru akan cerita masalah penting itu.”

Aza pun segera meninggalkan Abinya yang bersiap-siap untuk jalan pagi. Aza mengagumi ketabahan dan kesetiaan Abinya. Saat teman-teman Abinya menawarkan calon istri, Abinya menolak dengan halus. Bagi Abi cinta sejati itu hanya satu.

Barang kali hanya seribu satu lelaki yang bisa seperti Abinya. Bukankah di luar sana banyak lelaki yang bisa  mencintai meski tanpa cinta? Dan Abinya tak pernah mau melakukannya. Semoga panjang umur ya, Bi? Amin...





Komentar

Login untuk melihat komentar!