Part 4 Melakukan aborsi saat penelitian di desa pelosok by Ayu rasya alkahfi
****
"Kar, aku punya penyakit lambung. Biasanya setiap kambuh begini karena aku suka makan pedas dan jadwal makan ku juga tidak teratur. Aku lupa bawa obat, tertinggal di kostan."
Ya, Lala memang ku akui adalah cewek yang suka sekali makan pedas dan bahkan setiap harinya pola makan dia tidak teratur seperti ku apalagi kami memang tinggal di sebuah kost'an sama-sama. Kamar Lala ada di lantai dua sedangkan kamarku ada di lantai tiga. Rumah kami memang terbilang hanya 1.5 jam jarak tempuh menuju ke kampus. Karena padatnya aktivitas di kampus pada akhir-akhir semester ini, maka kami memutuskan untuk ngekost saja terhitung sejak 5 bulan yang lalu.
"Oh gitu, nanti aku kerik saja ya badannya. Siapa tau bisa mengurangi rasa mual mu. Enak loh kalau badan habis di kerik." Ucapku berbaik hati dan tidak ingin berfikir aneh-aneh apalagi posisi kami sedang ada di wilayah orang. Tidak mungkin aku membuat ulah yang macam-macam kepada sahabat karib ku sendiri.
"Ya boleh Kar. Makasih ya Kar, kamu udah baik banget sama aku. Aku minta maaf ya sering bikin kamu susah." Jawab Lala sambil menundukan kepala seperti merasa bersalah kepada ku.
"Bikin susah apaan sih La? Kita kan sahabat dari sekolah dasar, kamu sudah ku anggap seperti saudara ku sendiri La. Suka duka harus kita jalani sama-sama, seperti yang selalu orangtua kita bilang, persahabatan kita tuh harus sampai Nenek kakek seperti ibu kita saat muda dulu, hehehe...." Jawabku sambil berguyon.
Bunda ku dan Ibunya Lala pun bersahabat baik dari sejak kecil hingga sekarang karena memang rumah kami berdekatan dalam satu komplek. Jika Bunda sedang ada acara, Ibunya Lala sering ikut membantu di rumahku. Persahabatan merekapun akhirnya menurun ke kami hingga saat ini.
Usai makan malam, tak lama kemudian akupun bergegas ke kamar untuk mengerik badan Lala agar kondisinya membaik.
"Yank, kamu mau tidur?" Tanya Sakti saat melihat ku hendak masuk ke kamar.
"Enggak. Aku mau ngerik badan Lala supaya agak enakan soalnya tadi dia muntah-muntah lagi saat bikin mie rebus." Jawabku dengan raut wajah yang datar.
"Ooh....." Jawab Sakti dengan raut wajah seperti orang yang sedang menyimpan sesuatu hingga Pandupun menatap tajam ke wajah Sakti yang sedang duduk berhadapan dengan laptop.
Akupun tak menghiraukannya lagi, sikapku mulai agak berbeda dengan Sakti karena memang perasaan seorang perempuan itu sangatlah peka dan seharusnya para lelaki lebih sensitive, lebih mengerti dan ssngat paham dengan perubahan sikap dan perasaan wanitanya sendiri. Tapi, Sakti sepertinya bersikap seperti tak ada apa-apa. Entahlah?
Jam sudah menunjukan pukul 22.15, suara binatang-binatang hutan sudah mulai terdengar dari kejauhan. Aku mulai mengerik badan Lala pelan-pelan menggunakan minyak dan uang logaman. Karena aku sudah terbiasa mengerik badan Bunda jika sedang masuk angin. Jadi, sedikit banyaknya aku sudah paham trik mengerik badan seseorang.
Saat ku pegang badan punggung belakang Lala agak terasa dingin dan berkeringat. Ya mungkin memang dia sedang merasakan tak enak badan hingga suhu tubuhnya terasa panas dingin dan agak gemetaran.
Perlahan, ku kerik badannya mulai dari bagian tengkuk leher. Namun begitu kagetnya aku saat melihat ada tanda berwarna pink samar-samar di bagian samping lehernya yang agak tertutup oleh kedua tangannya yang dalam posisi telungkup.
"Astagfirullah, Lala?" Batinku semakin bergejolak.
Aku tetap melanjutkan mengerik badannya meski pikiranku melayang dan perasaan ku semakin tak karuan.
"Ya Tuhan, kenapa tanda merah samar-samar itu seperti bekas kecup*n. Apa memang Lala diam-diam sudah memiliki pacar? Aku sendiri saja yang sudah bertahun-tahun tak pernah berbuat seperti itu dengan Sakti." Batinku mulai bertanya-tanya.
Ku percepat mengerik badan Lala agar pikiranku tak kalut seperti ini. Aku ingin menenangkan diri di ruang tamu sambil mendengarkan musik melalui radio kecil yang selalu aku bawa kemana-mana karena kebetulan radio ini menggunakan batrei jadi aman untuk di bawa ke desa terpencil yang belum ada listrik ini. Ya lumayan untuk menenangkan pikiran agar tidak selalu berprasangka buruk.
"Kar, makasih banyak ya. Aku mau tidur duluan saja ya. Mudah-mudahan besok pagi badanku sudah fresh kembali." Ucap Lala.
Aku hanya tersenyum manis dan mengangguk sambil berlalu keluar kamar seperti tak ada apa-apa dalam pikiranku ini. Ku lihat Pandu dan Sakti masih bercengkrama dengan senjatanya masing-masing yaitu ponsel dan laptop, mereka sedang mengedit foto-foto hasil survey tadi sore bersama Pak kades dan Bu Kades.
Malam semakin larut dan udara semakin terasa dingin. Ku rebahkan badan ini di sebuah sofa yang berukuran panjang yang berada di ruang tamu. Ku tutupi semua badan ini dengan selimut berwarna putih yang sudah di sediakan oleh Pak Kades.
Ku hela nafas panjang untuk mengubur dalam-dalam pikiran buruk ini. Walau batinku masih terus mengganjal mengenai tanda merah samar di leher Lala. Ya, otakku memang selalu saja berputar-putar jika ada sesuatu yang mengganjal di benakku. Itulah jeleknya Sekar. Aku tak akan bisa tidur dengan nyenyak hingga mendapatkan jawaban dari semua tanda tanya yang ada di benakku ini.
Ku pejamkan kedua mata ini sambil merasakan dinginnya malam yang begitu menusuk, lalu tak lama kemudian aku mendengar seperti ada suara orang yang sedang ngobrol di bawah panggung kayu ini.
"Ah, mungkin Kang Bejo dan Pak kades yang sedang ngopi-ngopi di bawah sambil menjaga kami." Pikirku.
Selang beberapa menit, Sakti datang menghampiri ku dan duduk tepat di bawah kakiku.
"Yank, kamu kenapa sih? Marah sama aku?"
Deg....
Tiba-tiba Sakti bertanya seperti itu hingga membuat kedua mataku terbuka.
"Loh kenapa kamu bertanya seperti itu? Memang ada perubahan dengan sikap ku?" Tanyaku balik dengan suara lebih menekan.
"Ya, aku tau kalau ada sesuatu yang sedang kamu sembunyikan dari aku. Sekar, plis jangan berfikir aneh-aneh. Sebentar lagi kita wisuda loh dan kedua orangtua kita sudah menentukan tanggal pertunangan kita. Aku bela-belain sejak semester 6 sudah mencari pekerjaan. Aku kuliah sambil bekerja agar saat lulus nanti, aku tak lagi di pusingkan dengan mencari kerjaan ke sana dan ke sini. Karena aku ingin fokus ke hubungan kita, tahun ini adalah tahun ke empat hubungan kita dan semakin dekat dengan pernikahan itu semakin banyak godaannya. Aku tidak mau hanya karena hal sepeleh, bisa menghancurkan hubungan kita yang sudah lama terjalin."
Aku tak kuasa menahan kesedihan ini saat mendengar kata-kata itu keluar dari mulut Sakti. Kedua matanya berbinar-binar hingga akhirnya hatiku pun luluh tak berdaya. Ya, aku memang sangat mencintai Sakti. Berkat dia, aku selalu semangat kuliah dan selalu mendapatkan beasiswa di kampus. Tak pernah sedikitpun Sakti membuat ku menangis karena tersakiti. Dia selalu membuat ku bangga dan selalu mendukung apapun yang aku lakukan selagi itu bernilai positive. Hati wanita mana yang tidak luluh dengan sosok pemimpin seperti Sakti.
Sakti sering mengajak ku shalat berjamaah di kampus hingga tak sedikit teman-teman kampus ku yang iri melihat kebahagiaan kami yang tanpa cela sedikitpun. Bahkan dosen-dosen di kampus pun sangat mendukung hubungan kami dan berharap kami berjodoh hingga maut memisahkan.
Tak terasa air mataku mengalir membasahi pipi, entah mengapa dadaku terasa sesak mendengar ucapan Sakti. Diapun seketika memeluk ku dan mengusap rambutku yang terurai panjang.
"Ciye....yang lagi ehem-ehem, bikin iri aja."
Tiba-tiba Pandu meledek kami saat melihat kami sedang berpelukan. Sontak akupun melepas pelukan Sakti dengan cepat dan mengusap air mata ini agar Pandu tak lebih meledek ku dengan guyonannya yang kadang suka membuat aku jengkel.
Aku memang bukan tipe cewek romantis. Walau pacaran sudah bertahun-tahun, aku tak pernah menjalani hubungan yang mesra layaknya remaja jaman sekarang. Bunda selalu memberikan rambu-rambu agar aku dan Sakti tidak berbuat melampaui batas jika sedang berduaan. Walau terkadang, akupun tidak munafik jika Sakti sedang bermanja-manja dengan ku dan sering mencium pipiku namun selalu ku tepis agar dia tak berbuat khilaf melebihi itu. Ya, Sakti cukup mengerti.
Malam semakin larut, tak terasa kami bersenda gurau bersama Pandu di ruang tamu hingga jam menunjukan pukul 00:10 dan mataku sudah terasa berat.
"Sudah malam nih, kita tidur yuk biar besok pagi lebih fresh. Kita harus pulang pagi banget loh ngejar jadwal kereta." Ucapku sambil mengusap mata menahan kantuk.
"Ayo. Mataku juga 5 watt." Jawab Pandu sambil berlalu masuk ke kamar.
Namun Sakti masih duduk di samping dan tersenyum memandang wajahku. Lelaki tampan ini selalu saja membuat jantungku berdebar setiap kali memandang. Kedua matanya begitu tajam dengan bola mata yang membulat serta kumis tipis yang membuat aku tak sanggup berlama-lama beradu pandang untuk membalas tatapannya itu.
"Kamu kenapa si Sak? Ada yang aneh di wajahku ya?"
Aku mulai salah tingkah melihat Sakti memandang ku dengan begitu mempesona.
"Kamu cantik banget Yank, aku paling suka setiap melihat mu sedang menahan ngantuk seperti itu." Jawab Sakti sambil tersenyum lebar.
"Mulai deh. Ayo ah udah malam banget, kita tidur." Jawabku sambil berdiri hendak berlalu ke kamar untuk menyusul Lala yang sudah tertidur lelap sedari tadi.
"Yuk..." Jawab Sakti sambil berdiri pula di sampingku.
Namun, saat kami baru melangkahkan kaki menuju ke kamar masing-masing tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu sebanyak tiga kali tanpa ucapan salam.
Tok.... Tok.... Tok....
Sontak kami beradu mata dengan lebar sambil mengkerutkan alis.
"Loh, siapa Yank tengah malam bertamu ya?" Bisik Sakti pelan.
"Jangan di buka Yank, aku takut ah." Jawabku ketakutan.
Lalu selang beberapa detik, suara ketukan pintu terdengar lagi dengan lebih kencang sebanyak 4 kali ketukan.
Tok..... Tok..... Tok..... Tok.....
Ku tarik baju Sakti agar segera masuk ke kamar masing-masing menyusul Pandu dan Lala yang sudah tidur lebih dulu. Mereka jelas tidak mendengar suara ketukan misterius ini.
"Ayo Yank, kita masuk kamar aja. Gak usah di hiraukan sih. Ingat kata Pak kades dan Bu Kades." Ucapku sambil menarik tangan Sakti yang terlihat masih menatap ke arah pintu utama.
####
Tinggalkan jejak komen dan lovenya kak. Menunggu komen terbanyak ya baru di up bab 5