Part 7 Melakukan aborsi saat penelitian di desa pelosok by Ayu rasya alkahfi
Sudut pandang Sakti -----------------
****
"La, ayo kita keluar. Jangan aneh-aneh di wilayah orang."
Aku berusaha untuk menolak cumbuannya karena perasaan ku semakin tak karuan. Udara dingin seakan menusuk ke sekujur tubuhku dan entah mengapa tatapan mataku selalu tertuju ke foto yang ada di hadapan kami seperti sosok wanita itu sedang melihat perbuatan kami yang tak senonoh ini.
"Kamu memang gak pernah mencintai ku Sak. Kenapa sih selalu saja Sekar yang ada di otak mu? Aku ini sudah hamil anak mu. Jika kamu masih saja mencoba menghindar dari ku, aku akan menyebarkan berita ini kepada semua orang di kampus."
Sontak kedua mataku melotot mendengar ucapan Lala yang baru kali ini ku dengar. Yang aku tau bahwa Lala adalah cewek pendiam dan pintar, tapi mengapa seakan sikapnya berbanding terbalik seperti ini. Sedangkan aku saja tidak begitu mengenal kedua orangtuanya, mana mungkin aku bisa mencintainya seperti aku mencintai Sekar.
"La, aku mohon beri aku waktu hingga penelitian ini selesai. Aku ingin Sekar mendapatkan nilai yang bagus, aku tak ingin mengacaukan konsentrasi Sekar."
"Sekar, Sekar, Sekar, selalu saja nama Sekar yang keluar dari mulut mu."
Seketika Lala langsung pergi meninggalkan ku dengan raut wajahnya yang kesal. Ya, Lala memang wanita yang jarang tersenyum, beda seperti Sekar. Terlebih jika dia sedang marah, wajahnya benar-benar terlihat memerah.
Aku hanya bisa pasrah atas perbuatan ku ini. Semua memang salah ku hingga berakibat fatal seperti ini. Namun saat aku tersadar, ternyata aku masih duduk di tepi ranjang dengan suasana yang mulai berbeda.
"Astagfirullah,"
Mataku melotot kaget saat melihat ruangan ini tiba-tiba berkelap-kelip seperti listrik yang sedang rusak. Padahal jelas-jelas tadi gelap gulita dan hanya senter ponselku yang menjadi cahaya. Namun kini ponselku tiba-tiba mati total.
Dengan cepat-cepat, aku langsung beranjak dari kamar ini. Badanku gemetar hebat dan kakiku terasa begitu lemas saat berdiri. Untuk melangkah ke luar kamar inipun terasa begitu berat seperti ada yang menahan tubuhku dari belakang.
Aku tak mungkin teriak meminta tolong, karena pasti Sekar dan Pandu akan semakin curiga dengan ku. Segera ku membaca ayat kursi agar bisa keluar dari kamar ini.
Namun saat kaki ku hendak melangkah tiba-tiba aku mendengar ada suara bayi yang menangis kencang hingga membuat detak jantungku berhenti seketika.
"Ya Tuhan, suara bayi dimana itu?" Batinku semakin bertanya-tanya.
Sumber suara itu seperti terdengar dari kasur di ranjang ini. Suara tangisan bayi itu sangat dekay dengan ku hingga sekujur tubuhku merinding luar biasa. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhku. Namun kakiku tak juga bisa melangkah seperti terkunci rapat.
"Saya minta maaf jika sudah berbuat kotor di rumah ini. Maafkan saya, saya tidak akan mengulanginya lagi. Ampuni saya."
Dengan suara terbata-bata dan rasa sesak di dada ini semakin menjadi-jadi, aku memberanikan diri untuk meminta maaf karena sudah lancang masuk ke dalam kamar ini tanpa seizin.
Selang beberapa detik, suara tangisan bayi tersebut sekejap menghilang dan tak terdengar lagi. Namun kemudian di susul oleh suara wanita yang sedang menangis tersedu-sedu di bagian pojok ranjang ini yang terhalangi oleh kelambu.
Aku tak ingin menoleh ke arah pojok ranjang karena sekilas terlihat ada sosok wanita berambut panjang sedang berdiri menghadap tembok kayu dan membelakangi ku. Aku berkali-kali memohon maaf atas perbuatan ku yang dengan lancang masuk ke kamar ini.
Namun suara tersebut semakin menjadi-jadi dan terdengar seperti sedang berjalan mendekati ku hingga detak jantungku semakin tak karuan, aliran darahku seakan terasa semakin kencang hingga sekujur tubuhku kaku tak bisa digerakan sama sekali.
Lalu tiba-tiba aku melihat ada sosok yang sedang menggelantung di atas kelambu ini hingga membuat ku tak berani menoleh ke atas. Sosok itulah yang sedang menangis di atas kelambu ranjang itu. Sekilas aku melirik ke atas seperti kuntilanak merah yang rambutnya menutup wajah begitu panjang dan gaun merahnya menjuntai hingga ke bawah kelambu dan hampir menyentuh tepi ranjang.
Sekujur tubuhku sudah di kuasai oleh rasa takut hingga aku pasrah jika memang sosok itu hendak membunuh ku di kamar ini. Namun tiba-tiba Pandu berlari dan masuk ke kamar ini lalu seketika menarik tanganku dengan kencang sambil membaca doa yang tidak aku mengerti. Dengan kencang, Pandu menutup pintu tersebut dan menarik ku ke ruang tamu dengan raut wajah kesal.
Tubuhku di dorong oleh Pandu ke sofa hingga bagian belakang tubuhku terbentur keras. Namun, aku hanya bisa terdiam menyesali atas perbuatan ku ini. Semoga Pandu tidak tahu bahwa aku bersama Lala di kamar ini.
"Sakti, keterlalu ya kamu. Sedang apa kamu di dalam kamar itu? Jawab Sak."
Nada suara Sakti begitu tinggi hingga akhirnya Sekar dan Lala keluar dari kamarnya. Seketika detak jantungku serasa berhenti saat menatap kedua mata Sekar yang begitu serius memandang ku sambil berjalan pelan mendekati ku yang duduk lemah di sofa.
"Ada apa ini?" Tanya Sekar.
"Eee---gak ada apa-apa Yank." Jawabku mencoba untuk tenang.
"Pandu kenapa sampai bicara keras gitu? Apa yang kalian ributkan?" Tanya Sekar semakin penasaran.
"Coba kamu tanya pacar kamu saja. Ngapain dia masuk ke kamar itu? Hampir saja dia mati jika aku tidak segera datang." Jawab Pandu kesal.
"Apa? Serius kamu Yank masuk ke kamar itu?" Tanya Sekar dengan sorot mata yang tajam.
Lala hanya terdiam menunduk menahan ketakutan dan wajahnya pucat. Ku hela nafas dalam-dalam mencoba untuk tetap tenang saat kondisi genting seperti ini.
"Du, tadi saat aku ingin buang air kecil tiba-tiba aku mendengar ada suara wanita di dalam kamar itu. Suara tersebut sedang menangis meminta tolong. Karena aku penasaran, aku terpaksa membuka pintunya. Tapi ternyata saat aku masuk ke dalam, tak ada siapa-siapa. Ruangannya pun gelap gulita, namun kakiku seperti tertahan gak bisa keluar. Aku gak ngapa-ngapain di dalam kamar itu." Jawabku mencoba meyakinkan mereka.
"Ya Tuhan, Yank Yank, untung aja kamu gak kenapa-napa. Lain kali jangan aneh-aneh deh Yank, kan Pak Kades benar-benar melarang kita untuk membuka pintu itu." Jawab Sekar sambil duduk di sampingku dan memberikan segelas air minum untuk ku.
Namun, Pandu terlihat masih belum puas mendengar jawabanku. Raut wajahnya seperti menyembunyikan sesuatu dari ku. Ya, aku tau persis bagaimana Pandu. Pandu adalah sahabat karibku yang sudah tau kelemahan dan kebohongan yang aku perbuat. Namun untuk masalah kehamilan Lala, Pandu belum mengetahuinya dan bahkan dia tidak tau sejauh mana kedekatan ku dengan Lala.
"Ya sudah, lain kali kita harus lebih hati-hati dan ikuti larangan di sini agar tugas kita selsai dengan baik. Sekarang kita shalat subuh dulu karena sudah jam 05:00 dan kita harus mengejar jadwal kereta." Jawab Pandu sambil berlalu ke kamar mandi untuk wudhu.
****
Ya, kali ini aku selamat dan mereka benar-benar tidak tau bahwa semalam aku dan Lala telah masuk ke kamar itu. Hingga akhirnya kami pamit dengan Pak kades dan Bu kades untuk kembali pulang.
Dengan di antar Kang Bejo menggunakan andong menuju ke rumah Pak Kades usai shalat subuh, cuaca pagi ini terlihat masih sangat gelap padahal jam sudah menunjukan pukul 06:00 namun kabut tebal masih menyelimuti desa ini disertai rintik hujan.
Pandu masih saja diam tak sama sekali mengajak ku ngobrol. Aku tau bahwa Pandu masih marah dengan sikap ku dan pasti sesampainya di kampus, Pandu akan bertanya lebih serius lagi kepada ku. Aku sangat mengenal siapa Pandu, dia adalah sosok sahabat yang tak bisa di bohongi jika aku sedang dalam masalah.
"Yank, aku takut. Coba kamu lihat ke sana deh."
Tiba-tiba Sekar berbisik pelan di sampingku sambil menggenggam tanganku dengan erat dan tangannya terasa amat dingin. Pandangan Sekar tertuju ke arah makam dan benar saja akupun melihat sosok nenek tua bungkuk ini sedang berdiri di samping makam yang terdapat bunga segar di sekitar pusaran seperti makam yang masih baru.
Sosok nenek bungkuk itu menatap tajam dengan sorot mata yang sinis. Aku tak tau nenek tua itu siapa? Apa mungkin dia adalah sesepuh desa sini? Entahlah?
Saat aku menatap nenek tua itu tiba-tiba Lala terdengar seperti kedinginan, dia menggigil memeluk tubuhnya sendiri. Posisi Lala duduk di depan Sekar hingga lutut Sekar ikut terasa bergetar. Sontak akupun panik dan takut terjadi sesuatu dengan Lala karena bagaimanapun juga dia sedang mengandung janin hasil darah dagingku sendiri.
"Loh, kamu kenapa La?" Tanya Sekar panik.
"La, kenapa?" Tanya Pandu mulai cemas.
Aku masih terdiam dan bingung harus berbuat apa agar jangan sampai Sekarpun mencurigai tingkah laku ku lagi.
"Badanku dingin sekali, tak biasanya begini." Jawab Lala terbata-bata.
Kang Bejopun mempercepat kudanya agar cepat sampai ke rumah Pak Kades.
"Belum sarapan ya Neng?" Tanya Kang Bejo.
"Oh iya, mungkin karena itu La. Sabar ya, bentar lagi sampai di rumah Pak Kades. Kita numpang istirahat sebentar, siapa tau Pak kades punya roti dan obat untuk kamu." Jawab Sekar dengan lembut sambil mengusap tangan Sekar.
Betapa hancurnya hatiku melihat perilaku Sekar terhadap Lala. Andai Sekar tau yang sebenarnya, aku tak bisa membayangkan betapa sakitnya hati Sekar.
"Ya Tuhan, berikan yang terbaik agar Sekar tak membenci ku." Batinku menangis.
Setibanya di rumah Pak Kades tiba-tiba Lala semakin menggigil hingga wajahnya pucat. Dengan terpaksa, kami menunda pulang hingga kondisi Lala membaik.
"Neng, sarapan dulu ya, lalu minum obat." Ucap Pak Kades.
"Iya Neng, lambung mu masih sering kambuh jadi jangan telat makan ya?" Sahut Bu kades.
Namun tiba-tiba kedua mata Lala melotot dan jarinya menunjuk-nunjuk ke wajahku hingga seketika jantungku serasa putus.
"Astagfirullah....Lala kenapa?" Teriak Sekar.
"Pak kades tolong Pak...." Sahut ku panik.
"Ya Tuhan, benar kan dugaan gua."
Tiba-tiba Pandu bergumam sendiri dan menarik nafas panjang. Lala mencoba berjalan mendekati ku dengan kedua mata yang melotot lebar dan tangannya seperti ingin mencekikku hingga akhirnya aku di tarik oleh Pandu agar menjauh dan bersembunyi.