Part 3
Part 3
Melakukan aborsi saat penelitian di desa pelosok by Ayu rasya alkahfi 


Pastikan klik berlangganan dulu ya kak di kbm app dan beri rating pada kisah ini supaya makin semangat up bab selanjutnya.


****


"Loh, kenapa Pak kades kan jam 8 masih sangat sore?" Tanya Sakti dengan raut wajah cemas.


"Tidak apa-apa. Hanya saja dari jaman dahulu, di desa kami memang ada pantangan jangan bertamu atau membukakan pintu usai ba'da isya. Usahakan agar berdiam diri saja di rumah." Jawab Pak kades sambil tersenyum. 


"Oh, baik pak Kades kalau begitu. Terimakasih pak bu atas informasinya." Jawab Pandu.


Kami memutuskan untuk tak banyak bicara perihal tentang keanehan di desa ini. Sekaranf saja baru jam 4 sore tapi aku tak melihat warga yang berlalu lalang, desa ini benar-benar sangat sepi dan dingin. 


Kami berkeliling ke dalam perkampungan dengan melihat aktivitas warga sekitar tapi tak satupun warga yang ada di depan rumah hingga kami bingung, mereka semua kemana sore hari ini.


"Pak Bu, maaf ko warga gak ada yang di luar ya?" Tanyaku semakin penasaran.


"Oh, mereka biasanya sepulang dari sawah sekitar jam 2an dan langsung beristirahat di dalam rumah masing-masing." Jawab pak kades. 


Kami hanya mengangguk pasrah dan tak ingin banyak bertanya lagi. Saat semuanya sudah fix mengenai tempat tinggal kami yang tak jauh dari pemakaman itu, akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke rumah Pak kades untuk beristirahat sejenak karena matahari semakin terbenam. 


Namun saat kami hendak melewati pemakaman tiba-tiba dari kejauhan aku melihat sosok nenek tua yang bungkuk itu kembali berjalan dan berpapasan dengan kami. Entah dia darimana dan mau kemana? Karena penampilannya masih sama seperti awal kami bertemu yaitu membawa gembolan kain di bagian pinggangnya. Jalannya pun menunduk dan sangat pelan.


Lalu seketika Bu kades menghentikan langkahnya dan berbisik pelan ke pak kades hingga kami yang sedang berjalan di belakangnya tidak mendengar sama sekali apa yang Bu kades bisikan ke telinga suaminya. Aku, Pandu dan Sakti saling memandang satu sama lain dengan hati yang bertanya-tanya. 


"Sstt, nenek tua bungkuk itu lewat lagi. Coba liat." Bisik Sakti pelan.


"Kita diam saja, biarkan Pak kades saja yang menyapa nenek tua itu." Jawab Pandu pelan dengan raut wajah tegang. 


Tak lama kemudian, kami kembali berjalan lagi dan keberadaan nenek bungkuk itu semakin dekat dengan kami. Namun entah mengapa Pak kades dan Bu kades semakin mempercepat langkahnya tanpa menyapa sama sekali sosok nenek tua tersebut.


"Loh, loh...ko???" 


Ucapanku terhenti saat Pandu menutup mulutku dengan kedua tangannya agar aku tak lagi bertanya aneh. Akhirnya kami tetap berjalan cepat di belakang Pak kades dan Bu kades dengan perasaan yang tak karuan. Aku memilih untuk menundukan kepala saat sosok nenek tua bungkuk itu melewati kami dan berjalan pelan di samping kami. 


Entah mengapa tiba-tiba bulu kudukku merinding hebat saat nenek bungkuk itu berjalan tepat di sampingku. Dia melirik ke mataku dengan sorot mata yang sinis dan sebagian wajahnya terhalang oleh rambut putih yang acak-acakan. 


"Astagfirullah, astagfirullah..." 


Berkali-kali aku membaca doa yang ku bisa agar tak ada gangguan apapun di desa ini karena semakin lama disini, perasaanku semakin tidak tenang. Terlebih sahabatku Lala sedang tidak enak badan di rumah Pak Kades.


Setelah kami berhasil melewati pemakaman dan sosok nenek bungkuk itu, hatiku sungguh lega karena tak lagi merasakan ketakutan. Namun aku melihat raut wajah Pak kades dan Bu kades seperti sedang menyimpan rahasia yang sengaja di sembunyikan dari kami.


Saat sudah sampai di rumah Pak Kades tiba-tiba Lala menghampiri kami dengan raut wajah yang lebih fresh. 


"Gimana surveynya Kar? Tadinya aku mau menyusul kalian tapi saat aku hendak turun dari tangga itu tiba-tiba ada nenek bungkuk yang kepapasan dengan kita waktu di jalan setapak itu. Dia sedang berdiri di dekat bangku itu dan tidak beranjak sama sekali dari tempat duduk itu. Aku jadi takut dan masuk lagi ke kamar. Kata si ade bilang, kalau ada nenek bungkuk datang maka akan terjadi musibah atau penyakit atau bahkan ada yang meninggal dunia. Apa itu benar Pak kades?" Tanya Lala dengan mata berbinar-binar menahan rasa takut.



"Ah, gak benar itu. Si Ade tidak paham masalah seperti itu. Semua baik-baik saja ko dan nenek itu memang sudah biasa berkeliling di desa kami. Yang terpenting niat kalian kan baik datang ke sini untuk melaksanakan tugas kampus, tidak berbuat aneh-aneh kan?" Jawab Pak kades sambil tersenyum santai. 


"Betul itu Pak Kades, kami ke sini hanya ingin mendata warga dengan berbagai pekerjaannya di desa ini. Tidak ada niat mengganggu atau mengotori desa ini." Jawab Pandu.


"Ya sudah, kalian jangan banyak pikiran aneh-aneh ya, dibawa santai saja. Sudah mau adzan magribh, kalian bermalam kan?" Tanya Bu kades.


"Iya Bu kades, sepertinya kami menginap semalam dulu karena ngeri juga kalau pulang udah menjelang malam seperti ini apalagi kan Pak kades bilang bahwa jam 8 sudah dilarang untuk keluar dan membuka pintu jika ada tamu datang." Jawab Sakti. 


"Tapi, kalian malam ini tidur di rumah anak bapak saja ya yang nanti dijadikan untuk tempat singgah selama penelitian berlangsung?" Ucap Pak kades yang membuat kami saling menatap tajam.


"Hah? Kami mulai menempati rumah anak bapak yang dekat pemakaman tadi Pak?" Tanyaku histeris. 


"Iya, ga apa-apa ko Dik. Setiap ada wisatawan yang datang ke desa ini, mereka selalu menginap di rumah anak bapak ko jadi rumah itu jarang sekali kosong. Nanti biar kalian di antar oleh Kang Bejo ya menggunakan andong bapak." Ucap Pak kades. 


"Kalian jangan takut ya. Desa ini aman dan dijamin kalian pasti betah dengan suasana desa kami." Sahut Bu kades. 


Akhirnya tanpa berpikir panjang lebar, kami setuju jika malam ini bermalam di rumah panggung milik anaknya Pak kades. Aku sendiri juga belum tau mengapa anak pak kades mengkosongkan rumah itu dan entah kemana perginya anak Pak kades itu? 


Tanpa mandi lagi, dengan segera kami melaksanakan shalat magribh secara bergantian di ruang atas karena memang rumah Pak kades tidak begitu luas untuk menampung kami berempat. 


Usai shalat, datanglah Kang Bejo yang akan mengantarkan kami ke rumah tersebut. Ingin secepatnya aku beristirahat karena rasanya badan ini sudah sangat lelah menempuh perjalanan yang cukup jauh dan lama. 


Kami menaiki andong yang di antar oleh Kang Bejo yang terlihat sudah paruh baya itu. Dengan rasa penasaran yang luar biasa, aku memberanikan diri untuk ngobrol dengan Kang Bejo saat sedang memacu kudanya melewati jalanan kerikil yang gelap gulita. Belum ada penerang listrik sama sekali hingga suasana di desa ini benar-benar mencekam. 


"Kang, sudah lama kerja dengan Pak Kades." Tanyaku pelan. 


"Sudah lama sekali Non, sejak anak-anak Pak kades masih hidup, Akang sudah bekerja di rumah Pak kades." Jawab Kang bejo. 


"Apa? Maksud Kang Bejo itu anak-anak Pak Kades ada yang meninggal gitu Kang? Lalu rumah yang akan kami tumpangi itu rumah anaknya yang mana Kang?" Tanyaku semakin penasaran.


"Sayang.....mulai deh ! Jangan samakan dengan rapat di kampus ya, segala pertanyaan di ajukan." Ucap Sakti yang mendengar obrolan ku dengan Kang Bejo. 


"Sekar, tahan dulu ya rasa penasarannya." Sahut Pandu sambil mengedipkan mata kanannya dan tersenyum manis menyapa ku.


"Oh ya, maaf." Jawabku seketika terdiam. 


Ya, aku memang harus menjaga ucapanku dan menahan rasa penasaran ini walau sungguh sulit bagiku menahannya. Aku memang sangat berbeda dengan Lala yang bisa menyimpan sejuta bahasa di dalam hati. 


Kuda semakin berlari kencang saat melewati pemakaman yang menyeramkan itu. Lagi-lagi Lala menunjukan sikap aneh dengan menutup wajahnya dengan kedua tangan dan kakinya gemetaran hingga terasa saat menyentuh kakiku. 


Lalu dengan spontannya Sakti memandang Lala yang duduk di depan berhadapan dengan ku. Lagi-lagi tatapan mata Sakti sungguh memiliki makna yang tersembunyi. Tapi aku tak tau apa yang ada di pikiran pacarku itu hingga kedua matanya tak berkedip sama sekali memandang Lala yang sedang ketakutan melewati pemakaman umum tersebut. 


Ku buang jauh-jauh firasat buruk ini agar tidak mengacaukan rencana penelitian ini. Aku mencoba untuk menguatkan diriku sendiri dengan berkata dalam hati sambil menarik nafas dalam-dalam dan beristigfar. 


"Sabar Sekar, sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk cemburu. Pikirkan tugas akhir mu agar bisa wisuda dengan nilai yang memuaskan." Ucapku dalam hati.


Sepanjang jalan, hanya Pandu yang terlihat santai dan sambil bernyanyi menatap ke sekeliling yang gelap gulita. Sesampainya di rumah anaknya Pak kades itu, kami di antar oleh Kang Bejo masuk ke dalam kamar satu persatu.


Rumah panggung tersebut, hanya terdapat tiga kamar. Dibagian bawahnya terdapat bangku-bangku kayu dan hiasan patung, persis mirip dengan rumah Pak Kades yang tadi. Namun, saat kami hendak di tunjukan kamar ke tiga yang terletak di bagian belakang tiba-tiba Kang Bejo berkata :


"Kamar yang ini jangan di buka ya Dek? Kalian tidur saja di kamar 1 dan kamar 2 ini. Lalu kamar mandinya ada di pojokan, bersebelahan dengan kamar yang ke tiga itu." Ucap Kang Bejo dengan wajah yang sangat serius.


Lagi-lagi rasa penasaran dalam jiwaku semakin bergejolak. Ada apa dengan kamar ke tiga? Ko dilarang untuk dibuka? 


Namun, aku hanya terdiam dan tak berani bertanya lagi karena Sakti sudah melirikku dengan tatapan sinis agar aku tak banyak bertanya perihal tentang peraturan itu. 


"Baik Kang. Terimakasih atas bantuannya Kang." Jawab Pandu sambil berjabat tangan dengan Kang Bejo. 


"Nanti kalau ada apa-apa, ke bawah saja ya Dek. Akang tidur di bawah ko atas perintah Pak Kades agar menjaga kalian malam ini." Jawab Kang Bejo. 


"Alhamdulilah, terimakasih banyak Kang. Lega juga akhirnya kami di jagain." Jawabku spontan. 


****


Malam semakin larut dan aku terngiang-ngiang ucapan Pak Kades, jika ada tamu yang datang di atas jam 8 jangan dibukakan pintu. Kalau kami meminta tolong kepada Kang Bejo di malam hari, bagaimana caranya? 


"Ah, sudahlah Sekar. Tahan pikiran buruk mu. Fokuslah mengerjakan tugas selanjutnya." 



Jam sudah menunjukan pukul 20:10, semua pintu sudah kami tutup rapat-rapat dan kini saatnya membuat makanan di dapur. Aku bersama dengan Lala hanya bisa membuatkan mie rebus karena persediaan makanan kami hanya tinggal itu saja. 


"Kar, kebetulan aku bawa kopi sachet nih. Aku buatkan dulu ya untuk Sakti, eh sekalian untuk Pandu juga." 


Aku sempat tercengang mendengar ucapan Lala namun lagi-lagi ku buang jauh pikiran buruk itu. Sahabatku Lala adalah cewek yang sangat baik dan polos, jangankan pacaran, memiliki perasaan suka ke cowok saja belum pernah. Karena memang dia tidak pernah bercerita kepada ku tentang perasaannya ke cowok, bahkan setiap kali aku meledeknya tentang pacar, dia selalu marah dengan ku.


Usai membuatkan kopi untuk Sakti dan Pandu yang sedang mengetik hasil survey di laptop, Lala kembali lagi ke dapur dan membantu ku menyiapkan mie rebus yang sudah matang. Namun tiba-tiba dia berlari ke kamar mandi dan memuntahkan semua isi perutnya. 


Sontak aku langsung berlari menghampiri Lala yang sedang muntah-muntah. Ku pijet-pijet bagian punuknya, lalu bertanya :


"La, kamu kenapa sih? Gak biasanya muntah terus. Kita kan terakhir nanjak gunung itu 3 bulan lalu dan udara dinginnya tuh melebihi udara di desa ini loh tapi kamu kuat, gak pernah kaya gini La. Kenapa sekarang jadi lemah banget muntah terus?" 



####


Banyakin komen dan lovenya yuk kak biar makin semangat ngetik bab selanjutnya.