Bab 6


"Gila lu, ya! Main iya-iyain aja ajakan si Satya.  Polos boleh tapi jangan be to the go, be-go. Jaman sekarang banyak penjahat wanita bertampang malaikat. Jangan terkecoh sama casing-nya yang oke, bisa jadi ada maksud terselubung yang bikin lu nyesel nantinya." Gak afdhol kali kalau sehari aja Nyonya Roy gak ngomel-ngomel. 

Mbak Susan berkacak pinggang, melotot geram-geram kaya kepingin telan aku bulat-bulat. 

"Kan urusan pekerjaan, bukan kencan. Bukannya kemarin Mbak Susan dengerin juga visi misi Mas Satya pas kasih sampel snack di sini." 

"Gue paham banget karakter buaya darat dengan segala modusnya. Lebih berpengalaman daripada elu. Makanya gue warning sejak awal mumpung elu belum terlalu jauh kena perangkap." 

Iya, deh, iya. Mentang-mentang pernah jadi primadona di sekolah, yang pernah jadi rebutan cowok-cowok sekampus, yang laris banget dititipin salam dari berondong sampai aki-aki. 

Remahan kerupuk kaleng mah bisa apa. Mau bahagia sebentar saja sudah diceramahin ngalor ngidul.  

"Serius, Mbak. Mas Satya cuma mau ngajarin kiat-kiat bisnis modern, kreatif dan inovatif biar toko Bapak berkembang gak gini-gini aja. Makanya mau diajak langsung ke tempat produksi." 

Okelah, kalau cuma omong doang tanpa bukti kan sudah jelas menipu. Lah ini ada sampelnya, di sosmed Mas Satya pun ada foto-foto tempat produksinya, snack-snack andalan, promo-promo. Aku berani jamin itu bukan akun fake. Banyak gambar lelaki tampan itu terpampang di berbagai kesempatan. Lalu yang paling penting gak ada foto cewek di postingannya. Itu. 

"Emang paling susah ngomong sama orang yang udah dibutain sama cinta." 

"Itu tahu. Kenapa masih ngomong juga." 

"Ayaaa!" Fix, sendal teplek sudah diangkat tinggi-tinggi. 

"Eh, eh, ada apa ini?" Bak Suparman eh Superman, Bapak selametin aku dari timpukan sendal lalu bangkit dari tiarap. 

"Anak Bapak, tuh. Dikasih tahu susah banget, dibilangin jangan gampang percaya sama cowok." Anak sulung ngeri kalau dua tanduk sudah keluar semua. 

"Sebagai laki-laki yang merangkap jadi pemimpin keluarga. Tolong jawab sebijak-bijaknya, Pak. Apa menurut Bapak, Mas Satya itu gimana?" 

Bapak sudah lama menekuni usaha ini. Pasti lebih paham bagaimana karakteristik calon partner bisnisnya. 

"Baik." 

"Nah. Apa lagi?" 

"Sopan." 

"Terus?" 

"Ramah." 

Aku mencebik pada Mbak Susan yang belum menurunkan kadar emosinya. "Tuh, dengerin kata Bapak!" 

"Halah, itu cuma modus bermanis-manis di awal. Nanti juga ketahuan buriknya. Bapak juga jangan manut aja sama Aya. Ingat, gak! Dulu saking baiknya, Bapak sering ditipu teman sendiri." 

Angel wes angel pokoke kalau kubu Mbak Susan gak ada yang bela. Hati-hati dan curiga boleh, tapi jangan sampai su'udzon. 

"Menurut Bapak, Mas Satya punya ciri-ciri buaya, gak?" 

"Nanti bapak cek dulu, kulitnya bersisik apa enggak." 

"Bapaaak!" 

Bibir monyong Mbak Susan mendadak balik asal terus ketawa ngakak ngikutin Bapak. Cocok sudah. 

"Menurut bapak, Satya pemuda yang baik. Tapi kalau dibikin polling, Reza masih memimpin." 

Kenapa harus dibanding-bandingkan, sih?  Bukankah setiap orang punya plus minusnya sendiri. Iya, iyaaa ... mas Reza memang udah kenal lama sama Bapak. Sudah pahamlah tindak tanduknya. Namun bukan berarti mas Satya gak punya kesempatan, kan! Ini cuma masalah waktu saja biar Bapak kenal lebih dekat. 

"Berarti Aya boleh pergi ke Bekasi sama mas Satya?" 

"Boleh ..."  

"Alhamdulillah. Bapak memang pengertian, the best, daebak. Aya sayang Bapak!" 

"Tapi Bapak ikut." 

Yaaah! 

***

Yess! Kalender yang kucoret sudah sampai pada tanggal dan hari yang sengaja kulingkari biar gak lupa. Bersamaan dengan bunyi alarm pengingat bahwa hari ini aku bakalan capcus ke Bekasi, dijemput lelaki pujaan. 

"Ke Bekasinya ditunda aja ya, Ay. Bapak masuk angin ini." Ucapan Bapak pagi ini kaya bom yang meluluhlantakkan perasaanku. 

Beliau memelas dengan menunjukkan punggung berlukiskan warna merah melintang kanan kiri dari atas sampai bawah. Itu bukan tanda cinta dari Ibuk, tapi jalan angin nakal yang mau dikeluarkan dari  sela pori-pori tubuh Bapak. 

"Gak enaklah sama mas Satya, Pak. Bentar lagi orangnya nyampek." 

Gimana perasaanmu ketika udah kebelet pup, dah sampai ujung, pas sampai toilet ternyata di dalam ada orangnya, mana toilet satu-satunya pula. Kurang lebih seperti itu yang kualami saat ini. Kesel, gondok, kepengin nangis, haus, kepengin ngemil. Bayangin sendiri lah, capek kalau disebutin semua. 

"Bapak yakin Satya pasti maklum." 

"Bapak mah gitu." Aku mengentakkan kaki, kesal parah. Duduk di sofa, pukul-pukul bantal, kupeluk, pukul-pukul lagi, dicium, terakhir kulempar ke segala arah dan gak tahunya mendarat di kepala Mbak Susan. Mati! 

"Woi! Ada masalah hidup apa sih lu sama gue?" Singa betina lagi keluar taring. 

"Gak sengaja kali, Mbak. Biasa aja napa. Gak bikin amnesia juga." Siapa suruh melintas di depanku. 

"Emang gak bikin amnesia, tapi coba lu rasain sendiri gimana rasanya kena timpuk bantal sofa." 

"Eh, jangan--" 

Bug! 

Telat. Mbak Susan balas timpuk aku, sakit. Hiks ... rambutku. Rambut yang sudah kucatok rapi, berantakan lagi kaya mie orak orik. Bapak terkekeh-kekeh lihat aksi dua anak perempuannya. Di mana letak lucunya? 

"Biar hidup Aya gak berguna di mata kalian, seenggaknya Aya gak pernah meminta sesuatu di luar kemampuan Bapak atau Mbak Susan. Gak pernah minta dibeliin HP merk Aipon yang harga belasan juta. Gak pernah minta dibeliin mobil, bus, kereta api." 

Yaiyalah, mana sanggup Bapak. Wkwkwwk. Eh, diem dulu! Aku mau akting. 

"Terus?" Dih, Mbak Susan kok biasa aja. 

"Bisa gak, sih, kalian biarin Aya bahagia sebentar aja. Sebentar aja pergi sama mas Satya. Kenapa cuma kalian yang boleh bahagia? Sedangkan Aya gak boleh. Hwaaa!" 

Tapi nangisnya natural ini, saking gondoknya sudah melewati ambang batas kesabaran. Semesta gak memihakku dengan dihadirkannya angin gak ada akhlak masuk tubuh Bapak. Seminggu lalu, bahkan aku sudah terbayang-bayang diajak jalan sama mas Satya. Makan di kafe bernuansa romantis. Dikenalin sama calon mertua. Setelah sampai hari H malah hancur semuanya. 

"Ay--" Tawa Bapak terhenti otomatis, Mbak Susan nunduk kaya merasa bersalah. 

"Dahlah!" Aku sok pasrah sambil terisak-isak. Aslinya ngakak lihat Bapak masuk perangkap. Pak Tua itu mana tegaan. 

"Ya sudah. Bapak izinkan kamu pergi sama Satya." Kan, kan! 

"Serius, Pak?" 

"Iyaaa." 

Kalem, Ay, kalem. Meskipun kepengin kayang saat itu juga gegara kesenengan. Tahan dulu sampai mas Jenggot Tipis datang. 

Mas Satya on time dari waktu yang dijanjikan. Tepat jam 10 pagi dia sampai sini, ngobrol basa basi sebentar sama Bapak, lantas pamit. Mood booster banget dirinya hari ini. Bergaya casual pakai kaos army dan celana cargo selutut. 

"Jaga Aya baik-baik ya, Sat. Jangan biarkan dia lepas, nanti gigit orang!" pesan Bapak, yaelah emangnya aku guk guk. 

"Pasti, Pak." Nahan senyum saja udah menawan, apalagi kalau gak ditahan. Uhuk! 

Aku salah, ternyata semesta dukung aku. Bapak masuk angin ada hikmahnya, seenggaknya agenda uwuw ini gak bakalan ada yang ngerecokin. Makin leluasa mengenal pribadi mas Satya lebih dalam. 

"Mbak Aya, tunggu!" 

Aku menunda masuk mobil saat suara dari belakang memanggil. Ngapain si Rini lari-larian gitu? 

"Kenapa, Rin?" 

"Itu, saya disuruh Bapak gantiin beliau buat jagain Mbak Aya ke Bekasi." 

Gimana, gimana? 

Bersambung













Komentar

Login untuk melihat komentar!