Bab 4


"Serius, Mas?" Aku lirik-lirikan sama Mbak Susan. Terus kompak mengedikkan bahu gak yakin. 

"Cuma misalnya, Neng." 

"Ooh, kirain beneran." 

Huuuuft! Kan, kan. Keluarga mas Reza itu terkenal taat beragama dan jenggot adalah identitas diri kaum lelaki keluarga besar mereka, mengikuti sunnah nabi. Gak mungkin main pangkas gitu aja. Memang gak wajib sih, tapi sudah terlanjur melekat turun temurun. 

Terhitung sejak jadi salah satu produsen lapis Surabaya dan tahu Kediri, juga  seringnya dia main ke rumah. Sejak itu pula Bapak memberlakukan wajib pakai masker kalau kebetulan di toko ada aku. 

"Barangkali Neng Aya mau ikut terapi ruqyah. Di dekat rumah mas ada pusatnya. Alhamdulillah banyak yang berjodoh." 

"Aya phobia, Mas. Bukan kerasukan jin." Kalau kerasukan senyumnya mas Satya memang iya. 

"Yang bener ke psikiater, Za. Atau hipnoterapis." Mbak Susan cekikikan dengar aku disuruh ruqyah. Asem! 

"Ooh, gitu. Mau saya temani berobat, Neng?" 

"Gak usah, Mas. Makasih." 

Konsultasi atau terapi kali, Mas, gitu amat istilahnya. Kaya sakit apaan aja pakai bahasa berobat segala. Berasa sakit bisulan menahun jadinya. 

Ngomong-ngomong soal terapi hipnosis, aku pernah dibawa Bapak ke salah satu tempat praktik yang konon katanya mujarab menyembuhkan phobia-phobia tertentu. Bukannya rileks pas dikasih sugesti-sugesti, eh aku malah kebablasan tidur saking dibikin nyaman. 

"Bagaimana, Mbak, perasaannya sekarang?" tanya yang kasih motivasi-motivasi waktu itu. 

"Laper."

Aku mengelus perut kempes yang pagi tadi gak sempat diisi makanan apapun. Mulut Bapak monyong-monyong gak tahu kenapa. Butuh sekian menit baru bisa mencerna kode rumit ala Davinci Code. Rupanya bukan itu jawaban yang diinginkan, melainkan perasaanku setelah sempat terhipnotis. 

"Sebentar-sebentar." Wanita berjas putih itu keluar ruangan praktek. Gak lama datang lagi bawa security. Lah, mau mengamankan siapa? 

"Dibuka sekarang, Buk?" tanya lelaki kekar berseragam putih biru dongker pada Bu Psikiater cantik. 

"Boleh, Pak." 

Pak Satpam melangkah lebih dekat ke kursi empuk dan nyaman tempatku bersandar mesra, lantas membuka masker hijau yang dia kenakan. Astaghfirullah! 

"Bapaaak!" Aku melompat dan menghambur dalam gendongan Bapak. Kasihan, Bapak cungkringku nyaris terjengkang menahan keseimbangan tubuh kami. 

"Tenang, Ay, istighfar." 

"Tapi Pak Satpamnya berbulu, Pak. Ay takut." 

Terapisnya sampai geleng-geleng kok bisa gak mempan. Sebenarnya aku disuruh balik lagi karena terapinya gak cukup sekali dua kali kalau mau hilang permanen. Berhubung terlanjur ketakutan ingat terus bulu-bulu lebat Pak Security, aku gak mau kembali lagi. 

"Ya sudah, kalau Neng Aya baik-baik saja mah alhamdulilah. Saya bisa pulang dengan tenang. Sekali lagi maafkan mas ya, Neng. Beneran tadi kelupaan gak pakai masker. Kalau ada apa-apa jangan sungkan WA mas, ya!" ucap mas Reza. 

"Iya, Mas, iya." 

Duh Gusti Nu Agung, sebenarnya ieu jantan meuni bager pisan (laki-laki ini baik banget). Tapi kenapa gak bisa bikin jantungku joget tik-tokan. Adanya bikin merinding kalau bulu-bulunya terbayang. 

"Tadi sudah mas pesenin ayam geprek kesukaan kamu lewat gofut. Bagian paha atas, sambelnya level cabe 25 biji. Dua porsi sebagai permintaan maaf." 

Eh, gimana-gimana? 

"Mbak!" Aku menatap sengit wanita berbaju ungu yang lagi cengar-cengir. Pasti dia yang bocorin apa makanan favoritku. 

"Reza yang maksa," bisiknya. 

"Oh, awas minta!" 

"Yeee. Gue sengaja bilang dua porsi biar satunya buat gue, Markonah!" 

Pinter banget modus Mbak Susan pakai jatuhin harga diri adiknya. Citranya terselamatkan dengan mengorbankan kekalemanku. Jaad! 

"Mas pulang, ya. Assalamualaikum!" 

Eh, iya. Asyik bisik-bisik gak jelas sampai kelupaan ada makhluk dermawan dan berbulu berdiri dekat pintu. 

"Wa'alaikum salam, Mas. Makasih, ya!" 

"Sering-sering ya, Za!" Celetuk Mbak Susan, padahal pemuda jangkung itu sudah keluar. 

"Ish, apaan sering-sering." 

Dari kacamataku, mas Reza ini tipe-tipe lelaki manutan. Mbak Susan demen banget memanfaatkan kebaikannya. Walaupun bilangnya becanda, kalau sudah dikasih kode sering-sering ya, Za. Pasti pria kelahiran Surabaya itu beneran datang sering-sering. 

Mas Reza gak cuma bawa tangan kosong, tapi selalu bawa tentengan. Martabak,  bakso granat, rawon setan, rujak cingur dan masih banyak lagi. Tiap datang, jenis  makanan yang dibawa beda-beda pokoknya. 

"Kasian laki segitu baiknya dianggurin." 

Begitulah semua penghuni rumah ini bernyanyi. Mereka santuy menikmati makanan yang dibeliin mas Reza. Sedangkan aku jadi tumbalnya. Jaad! 

"Kalau gak mau dianggurin ya jangan berbulu. Simpel, kan!" 

"Ay, Ay. Sampe kapan lu kaya gini? Ke mana-mana kudu ditemenin. Misal suatu saat Bapak dan Ibuk sibuk, mbak sama mas Roy pindah rumah, si Rini pulang kampung. Gimana cobak? Benar kata Bapak, jangan menilai seseorang hanya dari bulunya. Karena lu butuh pendamping sebaik Reza. Tadi aja dia nawarin metode alternatif buat sembuhin phobia lu. Artinya dia peduli dan tulus sama lu." 

"Setuju!" Elah, Bapak sama Ibuk kompak banget. Masuk kamar sambil cengengesan gak jelas. Pasti nguping dari tadi. 

"Udah ngomel-ngomelnya? Kalian pada kenapa, sih? Capek ya, ngurus Aya yang gak laku-laku. Emangnya kejombloan Aya membebani banget, ya. Sampai kalian gak kasih Aya kesempatan buat milih laki-laki yang sreg di hati. Sebaik apapun mas Reza, kalau dia berbulu tetap aja Aya gak suka mau dipaksain gimana juga. Paham gak, sih?" 

Aku balik badan, sembunyi di balik selimut,  peluk guling dan nangis kejer. Bapak dan pasukan kelimpungan sendiri merasa bersalah. 

"Aya bener, Pak. Jodoh mah kagak bisa dipaksain. Kalau nikahnya terpaksa, bisa berefek gak baik juga nantinya. Baik menurut orangtua, belum tentu baik buat anak." Itu Ibuk tahu. 

"Lu jangan marah, dong. Mbak cuma kasih saran tadi." Saran apaan? Orang kelihatan maksa. 

"Iya, iya. Bapak manut sama Ibuk. Udah, gak usah nangis." Kalau gak manut sama Ibuk, siap-siap ulekan batu melayang. 

"Uwes, Nduk. Uwes ojo nangis. Kami semua minta maaf." 

Semua elus-elus punggung, tangan, kepala dan kaki demi meredam tangisanku. Sesungguhnya mereka sesayang itu. Aku terharu. 

Mereka sibuk membujukku biar gak ngambek lagi. Sedang di balik selimut aku asyik scroll sosmed, sebelum satu notif WA bikin mulutku terdiam seketika. 

'Ay, besok mas Satya datang ke toko, ya!' 

Demi lima jerawat gede yang tumbuh di dahi Mbak Susan. Spontan aku bangkit dan jejingkrakan di kasur. Ada sekitar semenit berselebrasi ria sebelum menyadari ada tiga orang di bawah sana menyimak dengan ekspresi terbengong-bengong. 

Krik, krik. Lima detik berikutnya kompak mengepalkan tangan. 

"Ayaaa!" 

Bersambung


Komentar

Login untuk melihat komentar!