Ikhtiar
Dengan  mengapit beberapa lembar brosur property dan perhitungan KPR, Bening tampak galau menyusuri trotoar jalan.

Kira-kira kemana mesti Gue pasarin?" 

Bening tertunduk menekuri trotoar yang dilewatinya lalu menggelengkan kepala pelan tanpa tahu jawabannya.

Ia tiba di halte bus, terngiang ucapan supervisor penjualan.

Saya yakin target itu bisa tercapai oleh Anda-Anda semua. Lewat pameran yang Kami adakan di mall-mall dan relasi Anda pribadi.“

“Untuk pameran, Anda-Anda semua bisa datang kapan saja sesuai jadwal buka mall. Disana sudah ada OB kantor yang mengurusi permintaan brosur dan pemakaian printer untuk keperluan fotocopy persyaratan KPR. “
Bening manggut-manggut, Ia seperti punya harapan untuk bisa menjual unit yang ada “Coba ah ke pameran.“


Bening mengambil salah satu lembaran kertas yang diapitnya. Lembaran yang berisi list mall-mall tempat pameran. Ia lalu mengulas senyum.

Masih ada  uang yang diberikan Ibu. Cukup untuk ongkos ke mall terdekat."

Bening memberhentikan bus yang lewat dihadapannya, kemudian naik dan duduk di bangku yang masih kosong.

Hampir dua jam Bening berdiri membagikan brosur pada pengunjung mall yang melintas. Berharap salah satunya akan menjadi Prospek.

“Mahal ya Mbak harga rumahnya,“ sepasang muda mudi yang sepertinya baru menikah sempat berhenti dan mengomentari brosur yang dibaginya.

“Bisa kredit kok Mbak,“ Bening memberi masukan.

“Nggak jadi deh Mbak. Lain kali saja,“ pasangan itu berlalu dari hadapannya sebelum Bening sempat menjelaskan bagaimana proses kreditnya dan berapa cicilan KPR-nya per bulan.

“Berapa luas bangunannya?" tak jauh dari Bening seorang prospek tampak tertarik dengan brosur yang dibagikan rekan seniornya.

“Bagaimana kalau Saya jelaskan di café depan, biar santai bicaranya. Saya yang akan traktir,“ rekannya yang usianya jauh di atasnya tampak pandai mengambil hati prospek.

“Boleh, boleh, boleh.“ 

Bening memperhatikan dari kejauhan bagaimana rekannya berusaha menjual. Menerangkan tentang produk property yang Mereka tawarkan sambil mentraktir calon customernya. Ia yakin dengan startegy marketing seperti itu prospek tak mungkin lari.

Seperti dugaannya, tak berselang lama rekannya kembali untuk memfotocopy KTP pembeli dan menghubungi Supervisor penjualan memberitahukan bahwa esok hari di kantor akan ada calon customer yang membayar uang muka rumah.

Ini sih berarti harus keluar modal dulu. Duit dari mana buat traktir-traktir? nggak mungkin minta Ibu. Dikasih ongkos ngelamar  saja sudah syukur,” Bening berpikir.

Ia membereskan brosur miliknya lalu meraih tasnya dan pamit pulang pada rekan lainnya. Ia sudah paham, Ia yang junior pasti kalah taktik dalam memasarkan property yang Mereka jual. 

Hampir jam sembilan malam ketika Bening tiba dirumah, Bapak yang membukakan pintu. Sementara Ibunya tengah menjahit kancing baju seragam adiknya yang lepas.

“Gimana Ning?” 

“Diterima Bu." Bening memaksa tersenyum di hadapan Ibunya.

“Kapan mulai kerja?” sambil menyulut rokoknya Bapak ganti bertanya.

“Besok Pak,“ Bening mencoba menahan nafas saat Bapak menghembuskan asap rokoknya, Ia takut terbatuk di hadapan mereka.

“Bapak doakan semoga pekerjaanmu besok dimudahkan,“

Bening mengangguki.

“Bening ke kamar dulu ya Pak Bu.“ 

Bening berlalu dengan setumpuk beban yang menghimpit dadanya. Berpikir bagaimana Ia besok bisa dapat prospek. 
Satu saja tak perlu banyak, yang penting bisa untuk menghasilkan insentif yang dua setengah persen untuk memeriksakan dirinya ke Dokter.


Pagi-pagi sekali Bening bangun, melakukan tugas-tugasnya di rumah. Dari mencuci piring, pakaian dan mengepel lantai. Setelah semua pekerjaan rumahnya beres Ia baru mandi, merapikan diri dan bersiap pergi keluar. Mencari Prospek yang entah dimana akan ditemuinya.

“Bu, Pak. Bening berangkat dulu,“ 

“Ning, biar Bapak anter.“ Bapak menawarkan.

“Nggak usah Pak. Nanti Bapak telat ke bengkelnya,“ Bening menolak dengan halus.

Bening bukannya tak mau diantar Bapaknya, tapi Ia tengah bingung. Tak tahu mau kemana mencari Prospeknya.

Saat meninggalkan rumah dan dalam kebingungan seperti ini Ia teringat Jingga, sobatnya semasa SMK. Dulu ketika Ia menjabat sebagai ketua Paskibraka di SMK dan banyak menemui kendala Jingga yang selalu jadi teman bicaranya. Jingga lah yang banyak memberi support dan masukan agar lebih sabar menghadapi junior-junior yang kadang tidak serius dalam latihan baris berbaris.

“Mungkin kali ini Aku juga harus curhat ke Jingga,“ Bening menggumam sendiri.

Tiba di ujung gang rumahnya Bening naik ojol ke rumah Jingga. Ia ingin segera sampai disana dan curhat pada Jingga.


  “Jingga, jadi begini kerja Lu sehabis lulus." Bening memencet hidung Jingga yang tengah tertidur lelap di kamarnya.

Gadis itu melompat bangun dengan mulut gelagapan karena terkejut.

Bening memang sudah akrab dengan keluarga Jingga, makanya ketika pagi-pagi sekali Ia muncul dimuka rumah Jingga, Ibunya Jingga lagsung menyuruhnya masuk.

“Bening, ngapain Lu pagi-pagi?" Jingga yang sudah membuka matanya dan menyadari Bening yang datang memandang heran.

“Pakai baju rapi segala kaya orang kantoran,“ sembari beringsut duduk Jingga memperhatikan penampilan Bening.

Kemeja lengan pendek di padu rok selutut, lengkap dengan tas tangannya.

“Sekarang Gue gawe sebagai Property Consultan,"

“Ih gila Lu ya, jaman resesi begini malah sibuk nawarin rumah. Mana ada yang mau beli." Jingga berkomentar.

“Dibanding jadi pengangguran kaya Lu."
 
“Siapa bilang Gue pengangguran. Gue gawe tau.” Jingga ngasih tahu.

“Gawe apaan yang tengah hari bolong begini masih tidur?"
 
“Companion Girl,“

“Apaan tuh?" Bening menautkan alis.

“Pemandu lagu ditempat karaoke,”

Bening membelalak *Nyokap Lu ijinin? kan tempat karaoke bukanya malam. Emang nggak takut image anaknya jelek?"

“Selama halal ya di ijinin,“

“Lumayan gajinya?"

“Lumayan tipnya. Dan satu lagi nggak perlu mandi keringat cari customer kaya Lu.“

Bening terangguk lesu membenarkan.

“Jadi Lu kemari mau ngapain? mau curhat soal gawean?” Jingga seperti bisa menebak.

“Iya. Gue bingung nih mesti cari Customer dimana? mana harga rumahnya selangit. Paling murah empat ratus juta,“ Bening menceritakan.

“Itu mah kelasnya Customer Gue,“

Mata Bening berbinar mendengar ucapan Jingga.

“ Bener Ngga? kalo gitu bawa brosur Gue ya ke tempat karaoke Lu. Bujuk Customer Lu suruh beli property yang Gue jual, nanti kalo laku Gue traktir makan deh,“ Bening meletakkan brosur yang dibawanya ke pangkuan Jingga.

Jingga mendelik melihat brosur dipangkuannya.

“ Ogah! Gue nggak paham soal property. Salah-salah ngomong Gue juga yang ketimpaan. Mending Lu aja yang tawarin langsung,“ Jingga mengembalikan brosur ke pangkuan Bening.

“Gimana caranya?"
“Lu masuk jadi Companion Girl di tempat Gue, dah gitu sambil nemenin tamu karaoke Lu tawarin deh produk property Lu. Dijamin Lu bakal dapetin calon pembeli,“ Jingga memberi solusi.

“Tapi Ngga…. ?”

“Lu masih sering batuk ya?“

Bening menggeleng cepat mengingkari.

“Nggak, Gue udah nggak pernah sakit.” Bening berbohong.

“Cuma yang Gue bingung ngomong ke Nyokap Gue gimana?" Bening bimbang. Takut Nyokapnya khawatir Ia keletihan kalau bekerja di dua tempat.

“Bilang Lu nginep di rumah Gue biar dekat sama tempat kerja Lu dan nggak menghabiskan ongkos,“

Bening manggut-manggut sepertinya Ia setuju dengan usul Jingga.

“Kapan Gue bisa mulai kerja?"

“Malam ini bisa,"

“Tapi Gue nggak bawa berkas lamaran,“

“Nyusul aja. Manager operational Gue baik kok, Dia pasti mau ngerti,“

“Yakin Gue bakal di terima?” Bening ragu. Ia takut lamaran kerjanya ditolak dan nanti malam harus pulang sendiri dengan tangan kosong.

“Yakin banget. Yang tampangnya biasa kaya Gue aja diterima apalagi yang cantik mulus kaya Lu.“

Bening manyun mendengar ucapan Jingga, Ia memang paling sebal kalau ada yang memuji fisiknya. Ia lebih suka orang menyukainya karena wawasannya atau otaknya yang encer.

“Sekarang kabarin Nyokap Lu, bilang kalau mulai malam ini Lu nginep di rumah Gue,“ Jingga menyodorkan ponselnya.

Bening meraihnya, namun belum mulai menekan tombol ponsel. Ia masih bimbang, ragu untuk berbohong pada Ibunya.

“Kok belum Lu hubungin?" Jingga meliriknya.

“Nggak enak Gue. Gue nggak pernah bohong sama Nyokap,“ Bening mengatakan ganjalannya.

“Jadi ceritanya mau terus minta ongkos Nyokap buat kanvasing cari Prospek property?" Jingga meledek.

Bening menggeleng pelan.

“Gue mau mandiri.“ Bening berujar.

“Kalau gitu buktikan. Jangan cuma omong doang,” Jingga menyemangati.

Bening akhirnya dengan berat hati menelphone Ibunya dan mengatakan kebohongan yang sudah dikarang Jingga.