Matahari yang menerobos tirai jendela kamar Jingga sama sekali tak mengusik tidur keduanya. Mereka tetap lelap setelah semalaman letih bekerja. Keduanya meringkuk dibalik selimut dengan tubuh saling memunggungi.
Hingga beberapa saat berlalu tiba-tiba keduanya tanpa sadar berbalik, tangan mereka saling menghantam wajah masing-masing. PLAK!
“Aduh!” keduanya serempak terbangun.
“Bening, ganggu tidur Gue aja,“ Jingga mengucak-ucak matanya.
“Sorry,” Bening beringsut duduk.
“Jam berapa sekarang?” Bening menyapu pandang ke dinding.
Jam yang menempel di dinding menunjukkan pukul sembilan siang.
“Duh Ngga, udah siang. Gue mesti balik,“ Bening bergegas turun dari ranjang.
“Mau ngapain balik cepat-cepat?" Jingga mengerutkan kening keheranan.
“Pekerjaan rumah nunggu,“
Jingga geleng-geleng mendengarnya, Ia membiarkan Bening berlalu ke kamar mandi.
Sementara Ia sendiri masih berleha-leha dikamar, beringsut bangun, menguncir rambut, meraih ponsel di atas meja lalu kembali ke tempat tidur untuk membuka Instagram.
“Akhirnya." tak berselang lama suara Bening terdengar.
Jingga mengangkat kepalanya, Bening sudah ada di pintu.
“Gila Lu! mandi apaan tuh belum lima menit udah keluar."
“Mandi bebek“ Bening menjawab santai.
Ia buru-buru menyisir rambutnya.
“Nanti malam gawe lagi kan?” Jingga mengingatkan.
Bening terdiam berpikir, tangannya berhenti menyisir. Sejujurnya Ia merasa tak cukup punya tenaga untuk itu. Semalam karena keletihan begadang, batuk darahnya kembali kambuh. Dan Ia harus menyembunyikannya dari Jingga agar sobatnya tak khawatir.
“Bingung Gue jawabnya. Sudah kerja capai-capai, prospek tetep nggak dapat,“ Bening dilema.
“Terus Lu mau berhenti?”
Bening ragu untuk mengiyakan.
“Lu tuh ya, bakal bikin malu Gue aja depan Supervisor.”
Bening tersenyum kecut.
“Tapi nggak pa-pa deh. Lu nggak kerja lagi ada untungnya juga sih buat Gue. Tip dari customer jadi nggak perlu dibagi dua lagi,” Jingga manggut-manggut sendiri.
Bening seperti tersentak mendengarnya, Ia teringat masih butuh uang tip di tempat karaoke.
“Eits, Gue nggak bilang berhenti,“ Bening cepat menukas.
Jingga menaikkan alis belagak ingin tahu.
“Gue butuh tip dari customer buat operational mondar mandir cari prospek.“
Jingga terkekeh mendengarnya.
“Sekarang Gue pulang ya. See you nanti malam jeung,“ Bening meraih tasnya meninggalkan kamar Jingga. Ia mengabaikan kesehatannya untuk sementara demi mendapat penghasilan.
Nasi dan lauk pauk untuk makan orang serumah sudah Ibu siapkan ketika Bening tiba di rumah. Begitupun cucian piringnya sudah dibereskan adiknya. Tinggal cucian baju yang masih menumpuk di kamar mandi.
“Jadi ceritanya semalam reunian Kak?” sambil mengelap piring yang basah Cinta adik Bening yang nomer satu nyeletuk.
“Ng, iya,“ kikuk Bening menjawab, Ia tak berani melihat ke arah adiknya karena takut kebohongannya terbaca.
“Gimana kabar Jingga sekarang Ning?”
Pertanyaan Ibu membuat Bening yang tengah makan hampir tersedak.
“Baik Bu,“ Bening yang tak pernah berbohong sebelumnya belepotan menjawab pertanyaan Ibu.
Ibu Bening yang menangkap ketidakberesan putrinya melirik sekilas, Ia lalu beranjak dari depan kompor dan mendekati Cinta.
“Cin, ke warung sana. Beliin cabe sama bawang buat nyambel." Ibu Bening menyodorkan uang pada Cinta.
Cinta yang telah selesai meletakkan piring di atas raknya segera beranjak melaksanakan perintah Ibu.
“Pekerjaanmu kemarin bagaimana Ning?” Ibu duduk bergabung di meja makan.
Bening menggeleng pelan “Belum dapat customer Bu."
Ibu manggut-manggut mendengar penjelasan Bening “Siang ini berangkat kerja?"
Bening tertunduk menekuri piringnya, bingung mengatakan kebenarannya. Kalau Ia memutuskan kerja malam sebagai companion girl untuk mendapatkan prospek pembeli property.
“Ning,“ Ibu membuyarkan lamunannya.
“Eh, ibu. Tadi Ibu tanya apa?” Bening pura-pura tidak dengar.
“Kalau Kamu mau berangkat kerja siang ini, Ibu siapkan ongkosnya"
“Nggak usah Bu,“ Bening menggeleng cepat.
“Kamu nggak kerja?” Ibu Bening tampak keheranan, tatapannya menyelidik.
“Ng…” Bening kehabisan akal. Ia tak mampu lagi mengarang cerita bohong.
“Maafkan Bening Bu. Bening mau jujur sama Ibu. Tapi Ibu janji ya jangan marah dan melarang Bening,“ Bening meraih kedua tangan Ibunya dan memegangnya erat.
Lalu cerita pun mengalir dari bibirnya, alasan ingin mandiri. Tak menggantungkan ongkos mondar mandir mencari prospek property dari uang Ibunya dan kalau bisa sambil menyelam minum air. Bekerja sebagai pemandu lagu sekaligus memasarkan real estate yang dijualnya.
“Ning, Ning. Badanmu bisa sakit kalau siang malam berusaha sekeras itu. Kamu itu gampang sakit, gampang kena flu“ Ibu Bening tak memarahi putrinya karena kebohongannya, tapi sebaliknya malah menggeleng prihatin.
“Bu, pagi atau sore hari kan Bening bisa bayar tidur. Paling siang di pameran sama malam pas di tempat karaoke saja Bening cari prospek properti-nya,“ Bening terus berusaha memberi pengertian pada Ibunya.
Ibu Bening menatap lurus pada putri sulungnya, ada tekad yang kuat terpancar dibola mata putrinya.
“Bu..” Bening memohon pada Ibunya.
“Baiklah, Ibu ijinkan. Tapi asal Kamu janji, kalau sudah nggak kuat bekerja di dua tempat Kamu keluar di salah satunya. Ibu nggak mau Kamu memaksakan diri.“
Bening mengangguk patuh.
“Terus Bapak bagaimana Bu?” Bening teringat Bapaknya yang mungkin akan heran kalau anaknya tiap malam tidak ada di rumah.
“Biar nanti Ibu yang memberi tahu.“
“Makasih Bu,“ Bening memeluk Ibunya bahagia. Tak menyangka Ibunya akan mengijinkan Ia bekerja di tempat karaoke.