Prospek
Di ruang ganti karyawan Bening dan Jingga mengganti baju mereka dengan seragam pemandu lagu. 

“Nggak bakat bohong Lu“ ketika Bening menceritakan bahwa Ibunya sudah tahu pekerjaannya Jingga berkomentar.

“Namanya calon penghuni surga, mana bisa untuk nggak jujur.“ 

Jingga memonyongkan bibirnya “ Mana ada penghuni surga keluyuran malam-malam."

Bening cengar cengir mendengar ledekan Jingga. 

Room empat lantai tiga, empat orang tamu laki-laki paruh baya berpenampilan necis menyewa ruangan tersebut. Jingga dan Bening yang bertugas di ruangan tersebut saling lirik.

“Tuh calon Prospek Lu,“ sambil berjalan menyambangi meja tamu Jingga berbisik ke Bening.

“ Kayanya Bos-Bos yang habis meeting point nih,“ Bening menebak-nebak.

Jingga lalu menyilakan para tamu merequest lagu yang ingin di nyanyikan.

“Kami mau pesan lagu-lagu yang pernah di populerkan Beatles mulai dari Hey Jude, Yesterday, Julia, Imagine….” Salah seorang tamu mewakili rekannya.

Bening yang mendengar pesanan lagu mereka mulai memencet kode lagu di tombol remote.

Setelah instrument Imagine terdengar salah seorang diantara Mereka mulai memegang microphone dan bernyanyi mengikuti teks yang terpampang di layar LCD TV.

Imagine there’s no heaven
It’s easy if you try
No hell bellow us
Above us only sky
Imagine all the people
Living for today….”

Jingga lalu menghampiri ketiga rekan tamunya yang masih duduk menunggu giliran berkaraoke.

“Oh ya, Bapak-Bapak adakah yang ingin memesan minuman atau makanan?"

“Boleh-boleh. Empat teh botol dan empat pisang bakar ya,” 

Jingga mencatatkan pesanannya dalam lembaran kertas yang sudah Ia siapkan.

“Baiklah kalau begitu silakan menunggu. Segera Saya akan antar pesanannya,“ Jingga berjalan keluar sambil mengedipkan mata pada Bening.

Bening mengerti maksudnya, Jingga memberi kesempatan untuknya menawarkan property pada tamu disaat Mereka tengah kosong menunggu giliran menyanyi dan tanpa cemilan.

“Permisi Pak,“ Bening berjalan mendekati salah seorang tamu yang duduk paling pinggir.

“Iya,“ tamu itu menoleh dan mengamati wajah Bening yang tampak ragu-ragu bicara padanya.

“Saya mau menawarkan…” Bening belum sempat melanjutkan pembicaraan.

“Oh itu, Saya mengerti. Tapi tidak mungkin disini kan? Kamu nanti bisa di pecat.” Orang yang di ajak bicara memotong dan mengeluarkan kartu namanya. Sepertinya Ia salah persepsi dengan arah pembicaraan Bening.

“Besok pagi hubungi Saya. Kita buat janji di hotel,“ orang itu menyodorkan kartu nama ke tangan Bening.

Tiga tamu yang lain yang ternyata menguping perbincangan Mereka ikut mengeluarkan kartu nama dan memberikannya pada Bening.

“Kami akan sabar menunggu giliran.“ Mereka melihat dengan genit ke arah Bening.  

Bening melongo, membuka mulutnya kaget lalu secepat kilat berbalik.
Ia hampir pingsan mendengarnya, wajahnya yang tadinya ragu-ragu saat menawarkan berubah merah padam karena menahan geram.

Mereka pikir Gue cewek apaan!” Bening mengumpat dalam hati. 

Bersamaan Jingga nongol membawa nampan pesanan, Jingga melihat ke Bening dan mengira Bening berhasil menawarkan property yang di jualnya.

“Bantuin Gue, kan Lu dah dapat prospek,“ Jingga menyodorkan nampan ke tangan Bening.

Bening mendelik sambil menerima nampan itu dengan terpaksa. Jingga yang melihat jadi bertanya-tanya. Tapi Ia dan Bening tak sempat berbincang lagi karena para tamu mulai sibuk memesan lagu yang lain dan juga cemilan lainnya.


  Tengah malam saat Mereka meninggalkan tempat karaoke untuk pulang Jingga tak sabar bertanya pada Bening.

  “Jadi kenapa tadi Lu jutek?“ Jingga menjejeri langkah Bening yang berjalan ke arah halte bus.

“Asli Gue mau marah tadi sama Mereka berempat,“ Bening mengepalkan tangannya sambil menoleh ke kanan kiri menunggu kendaraan yang lewat.

Why? kayanya mereka berempat Bapak-Bapak yang baik hati. Buktinya tiap orang rela ngeluarin tip dua ratus ribu untuk Kita berdua,” Jingga bungah mengingat empat lembar seratus ribuan yang di dapatnya tadi.

“Itu karena Mereka ngira Gue bisa diinepin!“ Bening melambaikan tangan pada Mikrolet dengan trayek ke daerah rumah  Jingga.

       "WHAT?!" masih dalam keadaan terkaget-kaget Jingga mengikuti Bening naik ke angkutan.

“Tadi Gue mau menawarkan property, tapi belum sempat Gue ngomong panjang lebar Mereka nerimanya sudah beda. Dikira Gue nawarin servis lain-lain."  Bening jelasin dengan nada kesal.

Jingga yang melihat wajah sahabatnya yang geram mengusap bahunya. 

“Sabar-sabar. Orang sabar di sayang Tuhan.“

Bening yang mendengar ucapan sahabatnya memaksa tersenyum. 
  

Pagi di meja makan, Bapak menatapnya sekilas. Seperti ada sedikit kecewa yang tersirat di wajahnya, dan Bening bisa mengerti. Bapak pasti sudah dengar dari Ibu tentang pekerjaannya sebagai companion girl. Pekerjaan yang masih asing di telinga awam dan tampak bukan pekerjaan yang baik. Menemani tamu  berkaraoke, itu pasti gambaran Bapak.

“Bening bekerja di sana hanya untuk mencari Customer yang mau beli property,“ Bening mencoba menjelaskan maksud tujuan sebenarnya bekerja di tempat karaoke.

Bapak diam tanpa ekspresi, mengambil sebatang rokoknya dan menghembuskan asapnya.

Bening merasakan sesak di dadanya saat mencium asap rokok yang berpendar di ruang makan.

“ Berhenti merokok, anakmu sedang bicara“ Ibu menurunkan gelas kopi yang baru dibuatnya ke hadapan Bapak.

“ Aku tidak bisa kerja kalau tidak merokok.“ Bapak bersikeras untuk tetap merokok.

“Kau tahu, merokok itu seperti membakar uang.” Ibu Bening menasehati suaminya.

“Kau sudah mengatakannya berkali-kali. Kau bilang dua bungkus rokokku tiap hari bisa untuk membeli dua kilogram beras.” Bapak menjawab santai.

Bening tertunduk, wajahnya pucat pasi. Ia menahan nyeri di dadanya dan batuk yang hampir keluar.

Bapak yang melihat raut wajahnya mengira Bening keletihan menyimak perdebatan orang tuanya yang tak kunjung selesai. Bapak beranjak dari kursinya dan menepuk bahu Bening.

“Bekerja sungguh-sungguh, Bapak percaya padamu." Bapak meneguk kopi yang dibuatkan Ibu.

“Bapak berangkat dulu,” Bapak meninggalkan meja makan. Ibu mengantarnya hingga teras.

Bening yang sejak tadi menahan sesak buru-buru ke kamar mandi dan menyalakan kran air agar batuknya tak terdengar Ibu ataupun Cinta adiknya yang belum berangkat sekolah.