"Sudah puas kamu memaki-maki aku, Mas?" tanya Ayunda kepada Singgih yang baru saja pulang kantor.
"Kamu, suami pulang bukan membuat hati senang. Ada saja ulahmu setiap hari," balas Singgih dengan nada bicara yang tinggi.
"Lalu bagaimana denganmu? Sekian lama pengabdianku sebagai seorang istri, hingga aku rela berhenti bekerja demi mendidik anak-anak di rumah. Memberi sebuah kesetiaan padaku pun kamu nggak sanggup, Mas," ucap Ayunda dengan sedikit menjerit.
"Kembalikan semua uang tabungan pendidikan anak-anak yang telah kamu pakai. Ratusan juta telah kamu habiskan hanya untuk bersenang-senang dengan perempuan itu!" tambah Ayunda.
Ayunda membalikkan badannya ke arah Singgih yang sedari pulang kantor tadi memaki-maki dirinya karena meninggalkan anak-anak di hotel kemarin.
Emosi Ayunda sudah tidak terbendung. Rasa sesak di dadanya telah meminta untuk dikeluarkan. Baru satu kali Singgih ia paksa menghabiskan waktu semalam bersama anak-anak tanpa dirinya, amarah Singgih sudah sampai ke ubun-ubun.
Lantas bagaimana dengan dirinya? Apakah dia harus diam melihat kelakuan Singgih yang sudah kelewat batas?
Semalam Singgih tak punya pilihan. Ia benar-benar menginap di hotel bersama anak-anaknya. Ia tak berhasil mencegah Hanum untuk tetap bersamanya. Ia juga tidak berani mengantar anak-anak ke rumah mertuanya.
Singgih mengantar anak-anaknya pulang saat pagi menjelang, kemudian ia langsung berangkat ke kantor.
Sepulangnya dari kantor, Singgih sudah berencana memarahi Ayunda habis-habisan. Karena saat ia tiba di rumah, anak-anak pasti sudah berangkat mengaji. Hanya ada mereka berdua saja di rumah.
Namun, Singgih tidak menyangka kalau Ayunda berani membalas makiannya. Membuat dirinya tak sanggup berkata-kata.
Ayunda membuka salah satu laci bufet yang ada di ruang tamu. Ia mengambil buku tabungan yang dulu mereka sepakati menjadi tabungan masa depan anak-anak.
"Di tabungan itu bukan hanya ada uangmu. Di situ juga ada uang pesangon milikku yang kita rencanakan untuk membeli rumah. Apa harus aku ingatkan jumlahnya berapa?" tambah Ayunda sambil melemparkan buku tabungan yang ia temukan.
Singgih melihat ke dalam buku tabungan itu, rupanya Ayunda telah mencetak catatan tabungan yang mereka miliki.
"Dengan sisa nominal itu, bagaimana kamu akan membayar sewa rumah ini? Dua bulan lagi masa sewanya habis. Jangan bilang kamu mau menggadaikan surat kepegawaian kerjamu. Atau jangan-jangan surat itu pun, sudah kamu gadaikan untuk bersenang-senang dengan istri mudamu itu?" tambah Ayunda dengan berang, membuat Singgih refleks mengangkat tangan kanannya.
"Kenapa? Mau mukul aku? Pukul. Ayo pukul! Asal kamu ingat, satu langkah saja aku membuat laporan ke kantormu tentang pernikahan itu. Habis sudah karir kalian. Ditambah lagi jika kamu berani memukulku! Aku nggak akan segan membawa masalah pemukulan ini ke ranah hukum!"
Singgih menurunkan kembali tangan. Wajahnya sudah merah padam tapi ia masih dapat mencerna ucapan Ayunda.
Singgih tak bisa menyepelekan ucapan itu karena sebelumnya, Ayunda bekerja sebagai salah satu staf kepercayaan kantor pengacara terkenal. Ayunda baru berhenti saat melahirkan si kembar.
Jika ia salah langkah, bisa benar-benar membuat Ayunda membawanya ke ranah hukum.
"Sekarang aku mau tau, Bagaimana reaksi istri mudamu menghadapi anak-anak? Aku nggak yakin dia bisa menerimanya. Jangan coba-coba bermimpi meninggalkan anak-anak padaku tanpa tanggung jawab. Karena aku bisa bertindak lebih nekat dari semalam," ucap Ayunda penuh ancaman.
Singgih menahan amarah dengan menggeretakkan gigi gerahamnya.
"Berhenti menyakitiku, Mas. Urus segera perceraian ini. Jual mobil itu. Aku minta setengah dari hasil penjualan! Cicil uang pesangonku yang kamu pakai untuk perempuan itu. Karena itu uangku. Kamu nggak berhak memakainya untuk perempuan lain," ucap Ayunda dengan nada suara mulai rendah.
Ayunda sudah letih berteriak-teriak. Kemudian ia duduk di sofa sambil memijat kening dengan jari-jari tangannya.
Keadaan Singgih pun tak jauh berbeda. Kepala Singgih terasa mau pecah. Ia baru saja melihat sisi lain Ayunda. Ayunda yang biasa tersenyum hangat penuh kasih sayang, kini berubah seperti boss besar yang sedang mengintimidasi seorang anak buah.
Singgih kembali keluar dari rumah. Ia menjalankan mobilnya. Kali ini ia pergi tanpa tujuan. Pikirannya jauh mengikuti jalanan ibu kota yang ia lihat di depannya.
Ia juga tak berpikir untuk menelfon Hanum. Sikap Hanum yang pergi meninggalkan dirinya begitu saja, masih membekas di hatinya.
Ucapan-ucapan Ayunda tadi juga masih terngiang di telinganya. Singgih sadar ucapan istrinya itu banyak benarnya.
Keuangannya kini berada dalam kritis. Uang tabungan masa depan telah ia habiskan untuk mas kawin dan pesta pernikahan. Surat kepegawaian sudah lama ia gadai untuk mendekati Hanum saat mereka belum menikah. Kartu kredit juga sudah banyak ia pakai untuk membayar hotel setiap ia menginap termasuk dengan anak-anak semalam.
Kini, Singgih berada dalam posisi terlilit utang.