"Itu dia si Ayunda. Biar Ibu tegur dia. Apa-apaan anak itu?" ucap Endah saat melihat menantunya baru saja tiba di depan lobi paviliun kamar inap Singgih.
"Ayunda!" panggil Endah, membentak Ayunda.
Ayunda sedikit terkejut melihat Endah dan juga Ajeng sudah berada di sana.
"Kamu itu istri macam apa? Suami masuk rumah sakit, nggak ditungguin?" tanya Endah. Suaranya kencang hingga menarik perhatian.
"Bu. Tenang, Bu. Ini di rumah sakit. Nggak boleh teriak-teriak," ujar Ajeng, berharap Endah dapat menahan emosinya.
Ayunda hanya terdiam melihat sikap Endah yang tiba-tiba kasar padanya.
"Kamu nggak terima ngurus anak-anak dan suami? Mau minta izin supaya dibolehin kerja lagi sama Singgih?" tanya Endah lagi.
"Kalau kamu maunya begitu, mintanya pakai cara yang benar dong. Jangan Singgih pulang kerja, kamu marah-marahin. Kamu omel-omelin," ujar Endah semakin emosi.
Ajeng menepuk-nepuk bahu Endah, berharap ibunya berhenti teriak-teriak.
"Dari dulu juga Singgih sering keluar kota. Bukan cuma baru-baru ini kan? Terus kalau kamu capek sama kerjaan rumah, jangan suami yang kamu jadikan tempat pelampiasan amarah kamu," tambah Endah lagi tanpa mengecilkan suaranya.
Ayunda tetap terdiam. Ia berusaha meredam emosi pada dirinya sendiri. Ayunda tahu bahwa Singgih telah menceritakan yang jauh dari fakta sebenarnya pada Endah.
Selain itu, usia Endah bisa menjadi salah satu faktor emosinya saat ini. Ayunda juga tahu kalau Endah memiliki darah tinggi.
"Bu. Jangan ribut di sini ya, Bu. Banyak pasien terganggu," pinta salah seorang suster yang datang menghampiri mereka bertiga.
"Tuh kan, Bu. Sudah Ajeng kasih tau juga. Ini rumah sakit, Bu. Nggak boleh berisik. Lagian nggak inget darah tinggi, apa?" ujar Ajeng kembali mengingatkan Endah.
"Ini lho, Sus. Menantu saya. Suaminya sakit, dia nggak mau nungguin lho, Sus. Apa bener itu, sikap istri seperti itu?" omel Endah lagi meminta suster itu mendengarkannya.
"Iya, Bu. Iya. Sudah ya, Bu," jawab Suster.
"Kamu harusnya introspeksi diri, Ayunda. Kenapa Singgih terus nggak pulang? Suami mana yang betah di rumah kalau istrinya marah-marah terus," lanjut Endah lagi tak peduli dengan keberadaan suster yang ada di sampingnya.
Ayunda paham akan situasi yang sedang ia hadapi. Endah tidak akan bisa dibuat berhenti berbicara saat itu juga. Ayunda bersyukur, tak ada anak-anak yang ia ajak. Sehingga mereka tidak melihat ibunya sedang dipermalukan seperti ini.
Ayunda tetap diam dengan sikap Endah. Kemudian ia berbalik, pergi dari hadapan Endah adalah hal terbaik.
"E ... eh. Mau ke mana kamu, Ayunda? Ibu lagi ngomong, ditinggal pergi begitu saja. Sekarang kamu nggak punya sopan santun ya?" seru Endah. Tangannya meraih bahu Ayunda, mencegah agar Ayunda tidak pergi.
"Coba sekarang jawab. Apa yang membuat kamu bersikap seperti itu kepada Singgih?" tanya Endah, tetap membentak Ayunda.
"Jawab Ibu, Ayunda!" teriak Endah lagi. Kali ini ia mengguncang-guncang tubuh Ayunda.
"Bu. Jangan begitu, Bu," pinta Ajeng.
Suster yang berada di sana pun seakan tidak bisa berbuat apa-apa. Ia memilih kembali ke meja jaga dan menekan nomor telefon keamanan rumah sakit.
"Diam kamu, Ajeng! Biar dia jawab semua pertanyaan Ibu. Jangan diam saja lalu pergi."
Endah memelotot ke arah Ajeng sebentar kemudian kembali ke arah Ayunda.
Ayunda mengepal kedua tangannya sendiri. Rahangnya mengatup kuat. Ia sedang menahan emosi agar tidak melawan Endah. Bagaimana pun Endah adalah orang tua.
"Jawab Ibu, Ayunda!" bentak Endah lagi dan kembali mengguncang tubuh Ayunda semakin keras.
"Bu ..." ucap Ayunda lirih.
"Apa? Ayo ngomong! Jawab semua pertanyaan Ibu!"
"Semua karena Mas Singgih sudah menikah lagi dengan teman sekantornya secara diam-diam," ujar Ayunda dengan tangan masih mengepal dan kepala tertunduk.
"Apa? Apa kamu bilang, Ayunda?" tanya Endah dengan nada tidak percaya.
"Mas Singgih selingkuh di belakang Ayunda, Bu," lanjut Ayunda.
"A - apa? Jangan mengada-ada kamu, Ayunda," tanya Endah kali ini dengan suara mengecil.
"Mas Singgih mengkhianati pernikahan kami, Bu! Kami bukan suami istri lagi. Mas Singgih sudah menjatuhkan talak padaku, Bu!" Kali ini ganti Ayunda yang berteriak.
Ayunda sudah tak peduli lagi dengan tatapan semua orang. Tak peduli lagi dengan tata krama dan juga kesopanan. Ayunda tak peduli dengan mertua atau apalah namanya.
Tubuh Endah lemas setelah mendengar jawaban dari Ayunda.
"Nggak. Nggak mungkin Singgih begitu, Ayunda," ujar Endah lirih.
Ajeng segera memeluk Endah dengan kuat. Ajeng tahu, Endah memiliki trauma di masa mudanya. Suami Endah juga pernah menyakiti Endah dengan hal yang sama.
Kenyataan itulah yang membuat kondisi Endah berubah.
"Bu. Ibu! Sadar, Bu," panggil Ajeng berkali-kali.
"Bu ... Suster tolong Ibu saya, Suster," pinta Ajeng.
Beberapa suster jaga segera mengambil brankar dan membawanya ke arah Endah.
Setelah Endah direbahkan, mereka memeriksa denyut nadi dan juga napas Endah.
"Cepat bawa ke UGD saja," ucap salah satu suster.
Ayunda tetap berdiri dalam posisi yang sama. Ia hanya sanggup melihat Ajeng berlari mengiringi Endah.