Singgih keluar dari rumah malam itu juga. Di matanya, Ayunda benar-benar istri yang tak tahu diuntung.
Singgih memasang bluethooth sebelum menyalakan mesin mobilnya. Dia segera menelfon Hanum, kemudian mengendarai mobil keluar kompleks perumahan.
"Mas," jawab Hanum dari jalur telefon.
"Kamu di mana, Dek?" tanya Singgih.
"Aku sudah di rumah, Mas. Mas, gimana?" tanya Hanum.
"Oiya, sekarang aku di jalan nih. Menuju Manhattan Hotel. Kamu ke sini ya, Dek. Aku kangen," pinta Singgih.
"Siap, Mas. Aku menuju ke sana sekarang. Paling lima belas menitan lagi aku sampai," ucap Hanum bersemangat.
Singgih menutup sambungan telefonnya dengan Hanum. Beginilah hubungan pernikahan yang mereka jalani berdua.
Mereka kerap menghabiskan waktu di hotel-hotel berbintang. Setelah perceraian dengan suami pertamanya, Hanum kembali ke rumah orang tuanya bersama sang anak.
Singgih menunggu di dalam kamar hotel. Ia memilih untuk mandi, ia selalu sedia baju salin di dalam mobilnya untuk memudahkan di saat-saat seperti ini.
Tak lama kemudian, Hanum tiba. Ia segera memeluk Singgih.
"Kamu nggak papa kan, Dek?" tanya Singgih sambil mengusap lembut rambut Hanum.
Hanum hanya mengangguk tanpa mengangkat kepalanya dari dada Singgih.
"Aku sedang kesal, Dek. Ternyata pelakunya benar-benar Ayunda. Memang istri tak tau diuntung dia," umpat Singgih.
"Kita harus sabar, Mas. Sebenarnya, aku juga takut. Aku nggak bisa jawab apa-apa saat atasanku tadi tanya hal itu. Tadi di rumah, aku juga takut ketauan sama Papa," ujar Hanum.
Ayah Hanum adalah salah seorang pejabat di departemen kementrian. Sangat ketat menjaga nama baik keluarga. Hanum tak akan pernah mendapat restu jika ia menjadi istri kedua.
"Kalau Papa tau, bisa gawat, Mas. Aku bisa dianggap mencoreng nama keluarga karena melakukan nikah siri dan juga istri kedua. Di keluargaku nggak ada yang seperti itu soalnya," tambah Hanum.
Singgih mengajak Hanum duduk di tepi ranjang. Sesekali ia membuang napas dengan kasar.
"Aku sudah menjatuhkan talak pada Ayunda," ucap Singgih secara tiba-tiba.
"Serius, Mas?" tanya Hanum antusias.
"Iya, serius. Tingkah dia benar-benar keterlaluan. Dia pantas mendapatkannya," jawab Singgih.
Hanum tersenyum semringah kemudian meraih leher Singgih.
"Makasih ya, Mas. Sekarang kamu cuma milikku," ucap Hanum merayu.
***
Singgih berangkat ke kantor dari hotel. Mereka menggunakan mobil masing-masing. Mereka tidak ingin gunjingan makin luas tersebar karena dapat mengancam karier mereka.
Jam pulang kantor tiba. Dengan enggan, Singgih pulang ke rumah. Ia berpikir untuk memberi kesempatan pada Ayunda. Istrinya yang satu itu pasti sedang menyesali perbuatannya.
Hari ini, Singgih yakin Ayunda akan meminta maaf padanya.
Setibanya di rumah, anak-anak menyambutnya di teras. Berisik memang, membuat Singgih ingin cepat masuk ke dalam rumah. Dua orang anaknya masih berada di sekolah dasar. Dua orang bungsu, kembar masih duduk di PAUD. Sedangkan sulung dan anak kedua berada di sekolah asrama.
"Mana Mama?" tanya Singgih pada Bagas, putranya yang duduk di kelas lima.
"Tadi di belakang. Lagi bersihin kamar," jawab Bagas.
Singgih segera masuk ke rumah. Keadaan rumah sedikit berbeda. Kemudian ia melihat ke kamar. Banyak barang yang tidak ada.
Singgih berjalan ke arah belakang rumah. Ayunda baru saja selesai merapikan kamar yang ada di dekat dapur.
Kamar itu sudah lama tidak terpakai. Ukurannya sangat kecil. Hanya muat tempat tidur berukuran satu orang dan satu lemari kecil. Singgih sangat tidak menyukai kamar itu. Berada di ruangan sempit membuatnya terasa sesak.
"Kamu ngapain? Kamu terima asisten rumah tangga baru?" tanya Singgih dari luar kamar.
Ayunda segera keluar dari kamar. Ia berjalan melewati Singgih dengan sikap tak peduli.
"Kenapa nggak bilang dulu sama aku? Memangnya kamu yang bayar kalau ada asisten di rumah ini?" tambah Singgih dengan nada bicara yang meninggi.
"Ayunda!" panggil Singgih semakin kesal.
"Uang belanjamu akan aku kurangi untuk bayar asisten baru itu!"
Ayunda menghentikan langkahnya kemudian berbalik ke arah Singgih.
"Nggak ada asisten baru di rumah ini. Barang-barangmu sudah aku pindahkan semua ke kamar itu. Kamu sudah menjatuhkan talak padaku. Jadi kita nggak bisa sekamar lagi," ujar Ayunda.
"Apa maksudmu?" tanya Singgih bingung.
"Oya, kewajibanku kini hanya kepada anak-anak. Urus urusanmu sendiri. Mulai dari makanan sampai ke cucian," ujar Ayunda dengan wajah serius.
"Satu lagi. Cepat urus surat perceraiannya ke pengadilan."
Ayunda segera pergi meninggalkan Singgih yang masih terlihat kesal.