Sebelum baca, bantu subscribe dulu ya kak🤗 Jangan lupa tinggalkan jejak love atau komen ya biar semangat up ceritanya. Makasih supportnya, Barakallah 💜
***
Umi menasehatiku banyak hal tentang pernikahan, tentang kodrat istri dan tentang ridho suami. Aku hanya diam, pura-pura mendengarkan. Saat ini, aku tak minat berdebat.
Pikiranku melayang entah kemana. Apalagi sejak******chat darinya.
[Menikahlah, Ra. Jika itu memang keinginan orangtuamu. Aku selalu mendoakan yang terbaik buatmu. Semoga kamu bahagia. InsyaAllah aku baik-baik saja.]
Chat dari Mas Zaky kemarin malam, membuat hatiku semakin perih. Tangis tak lagi tertahan. Ingin kucurahkan semua beban dan kekalutan ini, tapi pada siapa? Aku tak memiliki saudara. Teman dekatpun aku tak punya. Hanya memiliki Abah dan Umi, yang biasa menjadi pendengar setia.
Namun tidak untuk cerita kali ini!
Sudah berulangkali kukatakan pada mereka bagaimana perasaanku, tapi nyatanya sia-sia. Abah dan Umi seolah tak mau tahu. Tetap menganggap pilihanku keliru dan pilihan merekalah yang paling tepat.
Aku paling malas berdebat dengan mereka tentang arti pernikahan. Tiap kali aku bilang, pernikahan adalah hal yang sakral, tak seharusnya dijalankan dengan sembarangan. Harus ada cinta dan keikhlasan di dalamnya. Bukan kebencian dan kekesalan yang mendalam.
Abah dan Umi selalu kompak, memiliki begitu banyak jawaban, yang justru membuatku semakin benci dengan yang namanya perjodohan.
Mereka selalu bilang, 'lebih baik dicintai daripada mencintai, Ra. Karena dia yang mencintai tak akan pernah tega membuat kita tersakiti.'
'Tak akan pernah tega membuat kita tersakiti, katanya?' Bahkan detik inipun dia sudah terang-terangan menyakitiku. Menghancurkan semua mimpi yang sudah kubangun sedari dulu.
Apakah Umi dan Abah tak paham? Kalau pernikahan juga butuh cinta dan keikhlasan? Bagaimana mungkin menikah tapi diliputi kebencian yang mendalam? Mau sampai kapan?
Oh Tuhan, bagaimana lagi caraku menjelaskan pada mereka tentang makna pernikahan? Mereka selalu menganggapku anak kemarin sore, yang masih dibutakan cinta semu.
Aku tahu, mereka jauh lebih berpengalaman. Tapi sudikah mereka mendengar sedikit tentang yang aku rasakan? Ah tidak! Abah dan Umi terlalu egois. Yang ada, aku hanya akan mendapat ceramah panjang lebar dari mereka. Seperti biasanya.
"Abah dan Umi juga dijodohkan, Ra. Awal menikah kami juga kaku, malu dan benci sepertimu. Tapi lihatlah sekarang, kami rukun dan saling sayang. Percayalah pada Abah, suamimu itu yang terbaik buatmu. Abah sudah paham karakternya dari dulu. Dia tak akan tega menyakiti hatimu."
Kata-kata itu lagi yang keluar dari bibir Abah. Membuatku muak dan ingin teriak!
Tak ingin kudengar lagi semua omong kosong itu. Aku berbeda dengan Abah dan Umi. Mungkin dulu Umi belum memiliki tambatan hati, jadi mudah saja Umi jatuh cinta pada Abah yang sederhana dan taat beragama.
Tapi aku?
Aku terlanjur mencintainya. Dia laki-laki yang tak kalah baik. Dia tak kalah sholeh. Laki-laki tampan, mapan dan dermawan. Dan yang pasti kami saling mencintai.
"Cintamu itu hanya cinta monyet, Ra. Seiring berjalannya waktu akan memudar dan hilang begitu saja. Percayalah, ikhlaskan hatimu untuk membuka lembaran baru. Membuka hati untuk suamimu."
Lagi-lagi Abah menasehati. Disertai anggukan Umi berkali-kali.
'Cinta monyet, kata Abah? Sedewasa ini masih dibilang cintaku sekedar cinta monyet. Cinta abal-abal anak SMA?'
Aku benci dengan ketidakadilan ini. Seakan hanya akulah yang harus belajar memperbaiki diri. Aku wajib menerima pernikahan ini dengan lapang dada, tak boleh protes apalagi terus-terusan menyesal dan meratapi nasib sendiri.
Percuma terus berdebat. Tak ada guna. Mungkin, aku memang tak perlu lagi memaksa Abah dan Umi untuk memahami perasaanku, toh pernikahan ini sudah selesai digelar. Aku sudah sah menjadi istrinya.
Yang harus kulakukan saat ini hanya satu. Ya! Aku akan membuktikan pada mereka, bahwa pernikahan tanpa rasa saling cinta hanya akan sia-sia belaka.
Ceklek!
Kulihat senyum itu dari balik pintu kamar yang sedikit terbuka. Aku melengos kesal.
Orang bilang, malam pertama adalah malam yang istimewa. Tapi bagiku, malam pertama adalah malam penuh air mata dan luka.
"Belum tidur, Dek?" tanyanya pelan.
Meletakkan secangkir kopi di atas meja rias. Aku sengaja tak menjawab. Biar dia tahu, aku memang tak menyukai basa-basinya itu.
Dia menghembuskan napas pelan, memandangku sekilas dengan senyuman.
Dasar laki-laki tak tahu diri. Sudah terang-terangkan kubenci, tapi tetap saja sok dekat dan sok perhatian dengan dalih mencintai.
Lihat saja nanti, aku pasti akan berhasil membuatnya menyerah, bosan dan pergi! Mematahkan kata-kata Abah dan Umi, bahwa lebih baik dicintai daripada mencintai.
***
Login untuk melihat komentar!