Part 2

Ning Miftah menggigit bibirnya, tak tahu harus menjawab apa pada pertanyaan yang baru saja dilontarkan oleh Nisa. Sementara Gus Azzam memandang sayu pada istri keduanya.

"Nis, jangan bilang gitu sama Ning dan Gus."

"Bune juga. Kok bisa-bisanya menikahkanku dengan lelaki beristri? Bune juga perempuan, apa Bune mau jadi istri kedua?" ucap Nisa tak suka.

Bu Gini mengelus dadanya perlahan. Tak menyangka bahwa putri sulungnya akan berkata seperti itu. Sebagai wanita, jelas dia mengerti apa yang dirasakan Ning Miftah. Namun, sebagai ibu, tak ingin kesempatan emas hilang begitu saja. Saat ini, siapa yang ingin meminang Nisa? Bahkan sejak kecil sudah menjadi bahan bulan-bulanan teman-temannya. Bu Gini mengusap air mata yang mulai menetes.

"Ning Nisa, jangan ngomong seperti itu sama Bune," ucap Ning Miftah kaget.

"Jangan panggil aku dengan sebutan Ning! Aku bukan anak kyai seperti kalian, tapi aku juga manusia yang punya perasaan! Tega sekali kalian mempermainkanku seperti ini!"

"Nisa!!" Sebuah bentakan membuat ruangan menjadi sunyi. Suara Pak Sukir seolah bisa meruntuhkan dinding. Jika dengan ayahnya, Nisa sama sekali tak berani membalas ataupun mengatakan hal yang ada di dalam hatinya. Jika ada satu orang yang ditakutinya, itu adalah sang ayah.

"Pak'e jahat sama Nisa," ucap Nisa pelan setelah terdiam lama dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

"Pak'e cuma ingin yang terbaik buat kamu, Cah Ayu," bisik Bu Gini.

"Apa yang selama ini Pak'e ajarkan sama Nisa? Apa? Apa Pak'e dan Bune ingat wejangan kalian dulu? Seburuk-buruknya Nisa, jangan sampai Nisa ngrusak pagar ayune uwong. Jangan sampai Nisa menjadi penghancur rumah tangga orang lain. Lha ini? Tiba-tiba saja Nisa sudah jadi istri kedua. Ini apa maksudnya? Pak'e dan Bune bahagia di atas penderitaan Ning Miftah? Begitu?" Air mata meluncur satu demi satu dari sudut mata Nisa, hatinya sakit dan perih menyadari bahwa hidup tak pernah berpihak padanya.

"Bune pernah bilang sama Nisa, semua orang itu sama. Mereka punya perasaan yang akan sama sakitnya bila disakiti. Saat Nisa dihina orang lain, Bune yang selalu bilang kalo Nisa gak boleh balas. Nisa gak boleh balik menyakiti. Lha ini? Nisa gak kenal dengan Ning Miftah, tiba-tiba saja sudah menyakiti dia."

Air mata yang ditahan, akhirnya luruh juga. Wajah Ning Miftah yang putih, kini memerah. Satu per satu air mata ikut jatuh, membasahi kerudung besarnya. Disusutnya air mata itu pelan, perkataan Nisa yang berpihak padanya sebagai istri pertama, membuat Ning Miftah tak lagi bisa berkata-kata. Mungkin Nisa memang tak cantik, namun hatinya baik. Apa itu yang membuat Gus Azzam sungguh jatuh cinta pada wanita itu?

"Njenengan, Ning! Kenapa mau-maunya mendampingi Gus Azzam ke sini? Ning Miftah masih sehat, kan? Kenapa gak ditabok aja tuh Gus Azzam yang tidak bisa menjadi kepala rumah tangga yang baik? Baru juga nikah, udah nikah lagi. Njenengan nopo mpun tertutup matanya? Njenengan niku ayu. Ayu nemen. Kok yo purun mawon diplekoto Gus Azzam?" Kali ini sebuah hujatan meluncur untuk Ning Miftah.

Ning Miftah mengusap air matanya yang semakin deras. Iya, matanya tertutup oleh cinta yang diberikannya untuk Gus Azzam. Cinta yang jelas-jelas bertepuk sebelah tangan, namun tetap berusaha dipertahankan. Pernikahan dengan perjodohan yang dilakukan dua kyai besar. Ning Miftah bahagia saat mendengar akan dijodohkan dengan Gus Azzam, tapi sayangnya sang suami tak mencintainya. Bahkan malah meminta untuk menikah lagi. Sebuah hal yang konyol.

"Kamu, Gus! Jadi lelaki mbok yo jangan rakus. Kurang ayu nopo Ning Miftah? Kok bisa-bisanya malah menikah lagi dengan saya? Kenapa? Alasannya apa? Apa Ning Miftah kurang hebat di ranjang? Apa kasihan sama saya karena gak ada yang nglamar? Alasan klasik kalau niatnya cuma nafsu." Kali ini, Nisa tanpa unggah-ungguh juga berkata sambil menunjuk suaminya. Hatinya pilu, bercampur menjadi satu dengan sedih dan kecewa. Jika bisa diucapkan, akan diucap semua yang mengganjal di hatinya.

"Nisa!" Sebuah suara lagi-lagi membuat ucapan Nisa berhenti. Nisa menyusut air matanya, lalu menarik napas panjang. Sangat panjang hingga udara terasa memenuhi dadanya. Dikeluarkan perlahan untuk menetralkan gejolak yang ada di dalam jiwa.

"Nggeh, Pak'e," ucap Nisa pelan sambil menunduk.

"Kamu ke dalam sama Bune. Bawa baju dan barang-barang yang perlu kamu bawa. Bukankah beberapa hari yang lalu kamu berkata akan manut sama pilihan Pak'e? Berarti kamu setuju dengan pernikahan ini."

"Tapi Pak'e?"

"Kamu sudah bukan tanggung jawab Pak'e dan Bune lagi. Kamu sekarang adalah tanggung jawab Gus Azzam yang sekarang sudah menjadi suamimu."

Dengan langkah berat, Nisa mengikuti Bu Gini yang menggamit lengannya untuk pergi dari ruang tamu. Hatinya sungguh tak ikhlas jika harus menjadi istri kedua, tapi membantah ayahnya juga tak mungkin. Tiap kata yang keluar dari mulut Pak Sukir seolah titah raja yang tak bisa dibantah.

"Pengapunten, Gus, Ning. Nisa memang anaknya seperti itu," ucap Pak Sukir tak enak hati pada dua tamu yang telah menjadi keluarganya.

"Tidak apa-apa, Pak. Mungkin dia terlalu kaget karena langsung menjadi istri saya," ucap Gus Azzam memaklumi.

"Gus, bisa kita membicarakan sesuatu?" kata Ning Miftah parau.

"Nggeh, Ning. Monggo ke mobil," ucap Gus Azzam. "Pak, saya permisi dulu."

Pak Sukir mengangguk, lalu melihat dua orang itu meninggalkan ruang tamu. Hatinya bergejolak. Bagaimana jika tiba-tiba saja Ning Miftah tak menerima Nisa karena fisiknya? Atau Ning Miftah mau melamarkan Nisa karena wajah putrinya yang buruk rupa? Bagaimana jika Gus Azzam memang hanya ingin memanfaatkan Nisa? Lelaki yang sudah berumur lebih dari setengah abad itu memandang sendu. Dia gelengkan kepala pelan, mengusir segala prasangka yang mulai merasuk di otaknya.

"Gus tidak salah memilih istri? Tidak salah mencintai orang?" tanya Ning Miftah setelah mereka telah berada di dalam mobil.

"Tidak ada yang salah, Ning," ucap Gus Azzam sambil memandang mata Ning Miftah yang masih basah.

"Apa yang Gus lihat dari Nisa? Bahkan lebih cantik saya daripada wanita itu." Ego yang ada di dalam hatinya mulai meraja. Segala tanya mengumpul di benaknya.

Gus Azzam melihat Ning Miftah dengan pandangan teduh. Dia menarik napas panjang sebelum akhirnya berkata, "Saya mencintainya. Dia memang yang saya cari selama ini."

"Dia? Apa bagusnya dia? Apa yang Gus lihat dari wanita seperti Nisa?"

"Ning, tidak semua kecantikan dinilai dari rupa. Ning Miftah memang cantik, bahkan lebih cantik berpuluh kali lipat dari dia. Entahlah, Ning. Saya juga tidak tahu mengapa begitu mencintainya."

"Sejak kapan? Bahkan Gus Azzam tidak pernah menceritakan tentang dia pada saya." Hati Ning Miftah bagai dicubit saat menyadari bahwa suaminya memang lebih mencintai Nisa, wanita miskin dan buruk rupa, daripada dirinya.

"Sejak dulu, bahkan sebelum kita saling mengenal di Kairo."

"Lantas, kenapa harus saya? Kenapa harus saya yang menjadi istri pertama?" tanya Ning Miftah dengan air mata yang mulai jatuh satu per satu lagi.

"Seharusnya saya yang tanya, kenapa Ning Miftah mau saja dijodohkan dengan saya." Gus Azzam menarik napas panjang.

"Gus, ini terlalu menyakitkan. Apa kata orang-orang? Apa kata para santri saat mengetahui gus kesayangan mereka mempunyai istri seperti Nisa? Belum lagi ucapan mereka pada saya nanti."

"Ning, saya tak bisa menolak saat Abah mulai membicarakan soal pernikahan. Tanpa saya tahu, Abah sudah mempersiapkan semuanya. Undangan sudah disebar tanpa persetujuan saya. Tahu seperti apa rasanya jika saya harus mempertahankan nama baik Abah? Tak mungkin jika saya tiba-tiba saja kabur saat akad. Kata Abah, calon istri saya sudah mengenal saya dengan dekat. Tak disangka jika saat itu harus menikah dengan Ning Miftah." Gus Azzam berkata dengan mata menerawang ke luar jendela mobil. Hatinya terlalu rapuh jika melihat wanita menangis.

"Saat itu saya juga berkata pada Abah, pernikahan ini tetap akan berlangsung jika saya boleh menikah lagi. Abah tak keberatan asal dapat izin juga dari Ning Miftah. Toh Ning Miftah juga tak menolak dengan syarat itu."

"Tapi tidak secepat ini, Gus. Kita baru seminggu menikah dan Gus sudah mempunyai istri baru. Apa kata orang-orang?" ucap Ning Miftah dengan berapi-api.

"Apa kata orang? Selalu itu yang dikatakan Abah dan keluarga pesantren. Tanpa mereka tahu apa keinginan saya. Apa yang saya rasakan selama ini. Kalian hanya mementingkan kata orang, tak pernah mau mengerti apa kata hati saya."

"Gus Azzam terlalu jahat. Egois!"

Gus Azzam melirik Ning Miftah yang kini hanya bisa menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Mungkin ucapannya terlalu menyakitkan, tapi itu adalah kenyataan.

"Maafkan saya, Ning. Namun, saya kini sudah lelah," ucap Gus Azzam dalam hati.

?????

Guuuuusss. Jangan jahat-jahat dong sama Ning Miftah. ?

Nisa, diplekoto itu bahasa opo? ??

Ning Miftah yang sabar, ya? Tabok aja tuh Gus Azzam. ?


Komentar

Login untuk melihat komentar!