Part 10
"Dasar manja!" kata Nisa sambil melirik tak suka. 

Gus Azzam menggaruk rambutnya yang tak gatal dengan senyum terukir. Masih menunggu keputusan dari istrinya. 

"Males banget. Makan sendiri aja."

"Lha? Kok gitu sih?"

"Gak usah modus."

"Tapi suka, kan?"

"Gus mending pergi dari sini. Pesantren bisa geger kalau gusnya tidak pulang selama berhari-hari."

"Baru tiga hari kok," ucap Gus Azzam pelan. 

Nisa memandang lelaki itu, lalu berjalan mendekat dengan piring di tangan. "Pulanglah, Gus. Saya tidak ingin ada masalah karena Gus Azzam ada di sini."

"Kamu tak ingin ikut dengan saya ke pesantren?" tanya Gus Azzam sambil memandang Nisa dengan intens.

"Buat apa? Buat menerima makian karena menjadi pelakor?" tanya datar sambil mulai mengambil nasi dengan sendok.

"Tak akan ada yang bilang seperti itu."

"Oh ya? Berani jamin?" tanya Nisa sambil menyuapkan makanan ke dalam mulut suaminya.

Gus Azzam menggeleng pelan, lalu menerima suapan sang istri. "Saya tak bisa menjamin apa-apa," ucapnya setelah makanan di mulutnya telah habis. 

Nisa menarik napas panjang. Sebenarnya dia terlalu lelah dengan kehidupan yang dijalani sejak dulu. Tak disangkanya jika sekarang malah harus mempunyai hubungan yang rumit.

"Apa pun yang terjadi, saya akan tetap ada buat kamu. Saya tetap di sini dan menanggung semua beban yang kamu tanggung. Yakinlah, saya tak akan pergi," ucap Gus Azzam.

"Kenapa harus saya, Gus? Apakah kalimat itu juga Gus ucapkan pada Ning Miftah?"

"Entahlah, saya tak tahu kapan rasa ini hadir. Yang saya tahu, rasa ini ada. Untuk Ning Miftah, saya tak tahu apa bisa adil pada kalian berdua."

"Gus, pernikahan itu tidak hanya menyatukan dua hati. Namun, juga menyatukan dua keluarga."

"Saya tahu. Tapi untuk saat ini, bisakah kita tak membahas tentang keluarga? Apa kamu tak merindukan saya?"

"Rindu? Entahlah," jawab Nisa mengikuti apa yang dikatakan suaminya.

"Jujur saja, saya merindukanmu. Tiap malam selalu terbayang senyummu. Apa rindu ini dilarang?" tanya Gus Azzam sambil memegang tangan Nisa.

Nisa ikut tersenyum saat mendengar apa yang masuk ke dalam pendengarannya. Wajahnya bersemu merah. Apakah kali ini dia bisa mempercayai ucapan orang lain? Setelah sebelumnya tak ada yang bisa dia percayai. Kepercayaannya pada orang lain telah hilang, bersama dengan kenangan yang melekat erat di ingatan.

????

Dua mobil berjalan beriringan memasuki halaman pesantren. Bu Nyai dan para santriwati langsung turun dari mobil. Lelah terlihat di wajah mereka, namun ada rona bahagia karena barang-barang yang mereka bawa telah habis terjual di lokasi acara.

"Gus Azzam mana?" tanya Bu Nyai cepat setelah mengucap salam, lalu duduk di ruang tengah. Beliau ingin menceritakan banyak hal yang ditemui di sana. Berbagai macam ide sudah tersusun rapi di otaknya. 

"Gus Azzam tindak kaliyan Ning Miftah," ujar Fera, salah satu abdi ndalem.

"Ke mana?"

"Kulo mboten semerap. Kang Santri yang mengantar. Mantun niku, mboten kondur maleh. Tindak mantune Bu Nyai bidal."

"Pak Kyai?" Mata Bu Nyai memicing, tak biasanya Gus Azzam pergi meninggalkan pesantren lama. 

"Pak Kyai nggeh dereng kondur. Wonten pengajian katah."

"Kamu panggil Kang Santri."

Fera langsung pergi meninggalkan ndalem. Dia berjalan ke bagian pengurus pesantren putra, biasanya Kang Santri ada di sana. 

"Assalamualaikum. Kang Santri ditimbali Bu Nyai."

"Waalaikum salam," jawab Kang Santri dengan wajah yang mulai memucat.

"Kang Santri mboten nopo-nopo?"

"Ada apa kok Bu Nyai mencari saya?"

"Bu Nyai mencari Gus Azzam sama Ning Miftah."

Kang Santri mengusap keringat yang mulai turun satu per satu dari keningnya. Udara di sekitarnya terasa lebih panas. Dirinya tak yakin bisa berbohong pada orang yang sangat dijunjungnya tersebut.

Fera pergi, Kang Santri langsung mengambil kopyahnya sebelum mengikuti. Jelas saat ini hal yang paling ditakutkannya akan terjadi. Bagaimana reaksi Bu Nyai saat mendengar bahwa Ning Miftah, sang menantu kesayangan, kembali ke rumah orang tuanya.

"Ning Miftah kamu antar ke mana?" tanya Bu Nyai setelah Kang Santri kenghadap.

"Ning Miftah kondur ten griyanipun, Bu Nyai."

"Oh, Azzam juga ikut, kan?"

Kang Santri diam sejenak, sibuk merangkai kata yang akan diucapkannya.

"Kang?"

"Assalamualaikum," sebuah salam terucap dari pintu. Pak Kyai datang dan ikut duduk di sana. "Ada apa tho?"

"Ini lho. Miftah sama Azzam belum pulang," jawab Bu Nyai setelah mencium punggung tangan suaminya.

"Memang Azzam ke mana?"

"Ini saya sedang tanya sama Kang Santri."

"Azzam ke mana, Kang?"

"Anu Pak Kyai, pengapunten. Gus Azzam tindak ten griyanipun Ning Nisa."

"Lho? Katamu tadi Ning Miftah ke orang tuanya?" Bu Nyai keheranan dengan jawaban tersebut.

"Nggeh Bu Nyai, Ning Miftah kondur ten griyanipun. Tapi Gus Azzam ten griyanipun Ning Nisa, sanes kaliyan Ning Miftah."

"Nisa iku sopo?" Pak Kyai menanggapi.

Kang Santri terkejut mendapat pertanyaan itu. Bagaimana mungkin Pak Kyai bahkan tidak tahu siapa yang dikunjungi putranya?

"Niku, garwane Gus Azzam."

Bu Nyai mengelus dadanya yang terasa sesak. Kini sudah terjawab. Ning Miftah pulang ke rumah orang tuanya karena sakit hati. Gus Azzam menikah dengan wanita lain yang bahkan tak dikenal oleh keluarga besar.

"Azzam menikah lagi? Kapan?" tanya Pak Kyai dengan wajah memerah.

"Kulo mboten semerap, Pak Kyai."

"Yo wis kamu balik ke pesantren."

Kang Santri meninggalkan ndalem dengan pikiran yang tak bisa diuraikan satu per satu. Ada sebuah rahasia di keluarga ndalem yang tak boleh dikatakannya pada orang lain. Juga rahasia Ning Miftah. 

"Sebenarnya apa yang terjadi?" tanya Pak Kyai sambil menatap istrinya.

Bu Nyai menggeleng pelan, tak tahu harus menjelaskan apa. Pikirannya kalut, berbagai tanya bergelanyut. Kapan putra kesayangannya itu menikah lagi? Padahal selama ini Gus Azzam selalu terlihat di pesantren. Hubungannya dengan Ning Miftah pun adem ayem, tidak terlihat ada masalah sama sekali.

Pak Kyai menarik napas panjang, ini benar-benar aib di keluarganya. Menikah tanpa sepengetahuan orang tua, bahkan tak memikirkan bagaimana Ning Miftah. Apa yang akan dikatakannya nanti pada besannya? Kali ini Gus Azzam benar-benar berulah.

"Bikin malu saja!" ucap Pak Kyai dengan keras sambil menggebrak meja. 

"Kita cari jalan keluarnya. Nanti habis sholat, kita minta Kang Santri mengantar ke rumahnya Nisa." Bu Nyai memegang tangan suaminya, memberi kekuatan agar sang suami tidak terbawa emosi.

Sebenarnya di dalam hati Bu Nyai pun ada kemarahan yang ingin dikeluarkan saat itu juga. Namun, karena tak ingin memperburuk keadaan, Bu Nyai hanya bisa diam. Entah apa nanti yang akan dilakukannya setelah bertemu langsung dengan istri kedua Gus Azzam. Wanita yang merebut seorang suami dari istrinya yang sah. 

??????


Komentar

Login untuk melihat komentar!