Mobil melaju membelah jalan makadam di desa. Nisa sudah duduk di kursi penumpang, sementara Ning Miftah duduk di samping Gus Azzam, di depan. Persawahan yang terlihat indah yang dilewati dan juga AC yang menyala pun tidak membuat suasana di dalam mobil mendingin.
Beberapa kali Nisa mengusap air mata yang mulai membasahi kerudung. Perpisahan dengan ayah dan ibu membuat hatinya makin tersiksa. Apalagi nantinya dia akan masuk dalam keluarga yang sama sekali tak dikenalnya. Dunia pesantren itu seperti apa? Bahkan tak ada keinginannya sama sekali untuk masuk ke sana.
Nisa memegang tas kecil yang hanya berisi beberapa baju dengan erat. Sebuah kardus besar yang berisi bermacam jajan dan makanan yang berada di sampingnya, tak dihiraukan sama sekali. Makanan yang terpaksa dibawa karena permintaan ibunya.
Dipandangnya Gus Azzam dari kaca spion yang saat itu juga tengah memandangnya. Mata mereka beradu, beberapa detik kemudian, Nisa membuang muka. Mata teduh Gus Azzam seolah berkata bahwa lelaki itu yang kelak akan melindunginya, menggantikan sang ayah.
"Gus? Ini sanes jalan ke pesantren." Tiba-tiba Ning Miftah memecah kesunyian. Matanya memicing memperhatikan jalan yang tak biasa.
"Iya, kita mboten langsung ke pesantren."
Ning Miftah akhirnya diam sambil memperhatikan jalan. Tak ada keinginannya untuk sekadar menyapa Nisa untuk basa-basi. Matanya menerawang memperhatikan nyala matahari yang mulai turun ditelan bumi.
"Kita sudah sampai," kata Gus Azzam saat mobil yang mereka naiki berhenti di depan sebuah rumah kecil, namun terlihat asri.
Gus Azzam turun, lalu membuka pintu pagar. Diikuti oleh Ning Miftah dan Nisa. Dengan cepat, lelaki itu membuka pintu rumah, lalu menyalakan lampu-lampu yang ada di sana. Rumah kecil dengan dinding berwarna putih. Di teras ada dua kursi rotan dengan satu meja rotan, ada taman kecil yang ditambah dengan air mengalir dari batu yang menempel pada dinding.
"Silakan masuk, ini rumah kamu," ucap Gus Azzam sambil tersenyum saat melihat Nisa memperhatikan taman. "Tak ada ikan di sana, takut mati jika tak ada yang merawat."
Nisa mendongak, matanya bersirobok dengan mata teduh Gus Azzam. Cepat dia membuang wajah, melihat ke arah air yang tak berhenti mengalir.
"Ini rumahnya Nisa?" Ning Miftah bertanya dengan pandangan tak percaya. Baru saja mereka menikah, tapi Nisa sudah mendapatkan rumah mungil yang indah.
"Lebih bagus rumah kita di pesantren, Ning." Gus Azzam menyadarkan Ning Miftah yang mulai diliputi rasa tak suka.
"Kenapa Nisa mboten ikut kita di pesantren saja?"
"Biarkan Nisa di sini, dia akan belajar bagaimana menjadi bagian dari keluarga pesantren sebelum langsung terjun ke sana." Gus Azzam berkata sambil terus berjalan ke sebuah kamar. "Lagipula, apa njenengan sudah siap jika melihat Nisa setiap hari?"
Pertanyaan Gus Azzam bagai pisau yang langsung menusuk di hatinya. Ning Miftah tak siap, bahkan tak akan pernah siap jika harus berbagi dan melihat Nisa setiap hari. Dia bukan wanita yang tak memiliki rasa cemburu.
"Ini kamar paling besar. Kamu bebas pilih kamar yang mana. Ada dua kamar di sini." Gus Azzam berjalan sambil menunjuk sebuah pintu.
Nisa meletakkan tasnya di dekat pintu, dengan takut, dia memasuki rumah itu. Sama sekali tak ada di pikirannya akan mempunyai sebuah rumah yang hanya ada di angan. Ruang tamu juga terdapat sofa dengan nuansa cokelat kayu, beberapa bonsai terletak di pojok ruangan. Dinding-dindingnya dipenuhi dengan hiasan kaligrafi yang indah.
Ragu, Nisa membuka salah satu pintu kamar yang dipilih oleh Gus Azzam tadi. Matanya takjub melihat kamar mungil dengan jendela besar terbuat dari kayu yang bisa dibuka dan tutup sesukanya. Di samping jendela terdapat taman kecil dengan berbagai macam bunga. Jika jendela dibuka, pasti matanya akan dimanjakan dengan bunga-bunga yang ada di taman itu.
Sebuah bed dengan ukuran 160x200, ditambah seprei dengan motif daun dan bunga berada di dekat dinding. Di dekat jendela ada sebuah meja dan kursi dari kayu, juga lemari besar. Di kamar itu tak ada tanaman, cukup dengan taman di samping jendela.
"Kamu suka?" Tiba-tiba Gus Azzam berdiri di samping Nisa.
Nisa terlonjak, dengan cepat dipeganginya dada kanan, "Kalo jantungku lepas, tanggung jawab kamu!"
"Seharusnya kamu yang tanggung jawab. Tidak hanya melepas jantung saya, tapi kamu juga telah membawa hati saya pergi."
"Ish! Berapa wanita yang kamu gombali?"
"Tak ada. Hanya yang sudah halal untuk saya."
"Termasuk Ning Miftah?"
"Ning Miftah pengecualian."
"Maksudnya?"
Gus Azzam tidak menjawab, dia hanya tersenyum simpul sambil memasuki kamar. "Di lemari ini, semua bajumu. Kalau kamu tidak suka dengan tatanan tempat ini, bisa kamu ganti sesukamu," ucap lelaki itu sambil membuka lemari baju.
Nisa mengangguk, walau ada keinginan untuk melihat baju apa saja di dalamnya, tapi hal itu tidak dilakukan. Tanpa menunggu Gus Azzam, dia berjalan menuju dapur yang menjadi satu dengan ruang makan. Ada sebuah lemari es dan kitchen set yang membuat dapur terasa hidup. Saat lemari es dibuka, Nisa melihat berbagai macam sayur, buah, daging, bahkan sirup dan susu yang sudah tertata rapi.
"Kamu suka masak, kan? Kulkas sudah penuh, bumbu juga sudah lengkap. Kamu tak perlu ke pasar kalau mau masak, saya akan ngecek kulkas secara berkala."
"Ada lagi?" tanya Nisa dengan mata memicing.
"Di luar ada tempat cuci baju, tempat setrika, jemur baju, dan juga taman kecil. Kalau kamu mau lihat dengan jelas, besok pagi saja. Sekarang sudah malam."
Ning Miftah masih berdiri di teras, memandang taman kecil yang sudah diatur sedemikian rupa. Sama sekali bukan taman impiannya. Ini terlalu sederhana. Seharusnya ada taman besar dengan air mancur di tengahnya, bukan air yang mengalir pelan dari bebatuan. Dia menarik napas panjang, lalu melihat ke arah ruang tamu dari pintu yang terbuka. Ruang tamu pun tak seperti seleranya, ini seperti membawa hutan ke dalam rumah.
"Jajanan yang kamu bawa, mana?" Gus Azzam menengadahkan tangan.
"Masih di mobil."
Gus Azzam mengangguk, lalu berjalan menuju mobil. Melewati Ning Miftah masih masih terpaku di depan pintu, seolah istri pertamanya itu tidak ada.
"Ning, monggo mlebet. Kita makan kue dulu." Gus Azzam akhirnya menyapa Ning Miftah dan tanpa menunggu, lelaki itu menggandengkan istrinya agar mengikuti masuk ke dalam rumah.
Ning Miftah duduk di ruang tamu, berbeda dengan Nisa yang langsung mengambil piring di dapur, lalu dibawa ke ruang tamu. Dengan cekatan, Nisa menata kue di atas piring. Makanan yang dibawanya dari rumah ternyata bisa berguna juga malam ini.
"Getuk buatan Nisa selalu enak," kata Gus Azzam secara tiba-tiba setelah berhasil memasukkan sepotong getuk ke dalam mulutnya.
Nisa terhenyak, dari mana Gus Azzam tahu jika getuk itu adalah buatan Nisa? Getuk dengan warna kombinasi hijau dan putih yang kini telah berada di tangan Gus Azzam.
"Ning, ayo dimakan. Getuknya beneran enak lho."
Ning Miftah tersenyum samar sambil menggeleng, mata Gus Azzam saat menikmati getuk itu terlihat bersinar. Seperti memakan sesuatu yang tak pernah dimakannya bertahun-tahun. Tangan halus wanita itu mengambil kue bikang yang berwarna merah muda, hijau, dan putih.
"Nis, bisa buatkan setiap hari, kan?" tanya Gus Azzam sambil terus memakan getuk.
"Kulo nggeh saged ndambel setiap hari, Gus!" Ning Miftah meletakkan bikang yang dipegangnya. Dengan cepat, dia berdiri, lalu melangkah keluar rumah. "Saya tunggu di mobil!"
Gus Azzam terdiam, masih beberapa jam bersama Nisa, rasa kangennya belum terobati. Namun, mengabaikan Ning Miftah juga tak mungkin.
"Saya pulang dulu. Jangan lupa kunci semua pintu dan jendela. Besok akan saya minta anak pesantren buat ngajar kamu di sini," ucap Gus Azzam akhirnya.
"Gus, jika terlalu berat, jangan jadikan saya istri. Cukup berada di samping Ning Miftah dan bahagiakan dia," ucap Nisa pelan dengan kepala menunduk.
"Nis, jangan panggil Gus. Bukankah kita sudah menikah? Jangan jadikan pernikahan ini berat, tak ada yang berat jika kita mengangkatnya bersama," kata Gus Azzam pelan.
"Saya sama sekali tidak tahu dari maksud Gus Azzam. Bahkan saya tidak tahu siapa yang menjadi suami saya."
"Kelak kamu akan tahu. Biarkan saya masuk ke dalam hidupmu. Buka hatimu buat saya, jangan tutup rapat," ucap Gus Azzam sebelum akhirnya berdiri. "Saya pamit."
?????
Nungguin lama ya? Maafin ya. Tugas kuliah sedang banyak banget. Pingin pingsan rasanya. Belum lagi tugas di sekolah.
Selamat membaca. Jangan lupa like dan komentar ya.