KEDATANGAN
Benalu
Part1

"Mas, bukannya aku keberatan, tapi kamu tahu sendirikan, bahwa aku sama Ibu kamu itu gak pernah cocok. Aku selalu salah di matanya, sehari saja aku di kampung, di rumah Ibu, sudah mau gila aku-nya. Apalagi kalau satu rumah di sini," protesku, ketika Mas Juna mengatakan, bahwa Ibu Mertua akan tinggal bersama kami.

"Leha, kamu kan tahu, aku ini anak laki-lakinya Ibu. Anak laki-laki itu milik Ibunya, mana mungkin aku bisa menolak Ibu mau tinggal dimana pun." 

"Tapi kan masih ada Adek kamu! Mas. Si Nora, kenapa Ibu gak milih Nora aja sih, kan dia selalu Ibu bangga-banggakan."

"Sudah, deh. Kamu kok jadi Istri gak bisa nurut sama Suami? Coba kalau itu orang tua kamu bagaimana? Tahu sendirilah Ibu sudah lama tinggal sendiri, semenjak Nora nikah."

Aku hanya terdiam mendengar penuturannya, serba salah sudah kalau begini, meskipun Mas Juna ada benarnya. Sulit untuk menolak Ibu kalau sudah ia berkehendak, itu pula yang membuatku dilema.

Hari ini, mas Juna meluncur menjemput Ibu di stasiun bis. 

"Assalamu'alaikum." Terdengar suara salam dari Mas Juna yang sudah tiba di depan rumah, aku pun menggendong bayi dua bulanku yang bernama Baim.

"Walaikumsallam," sahutku sambil berjalan menuju pintu depan, Mas Juna sudah masuk dengan membawa tas Ibu. 
Aku bersalaman kepada Ibu, lalu mencium punggung tangannya. 

"Ibu apa kabar?" tanyaku basa-basi, dengan memasang wajah tersenyum sumringah menyambut kehadirannya di rumahku.

"Baik!" sahutnya dengan acuh, matanya berkelana menyisir segala penjuru ruangan yang ada di rumahku.

Aku hanya terdiam setelah mendapat jawaban ketus dari wanita yang bergelar Ibu Mertua itu.

"Jun, mana kamar Ibu?" tanyanya. 
Mas Juna menggiring Ibu ke kamar tamu.

"Bu, sudah makan belum?" tanyaku sambil mengekor mereka masuk ke kamar tamu.

"Bentar dong! Nanya melulu kamu tuh, Ibu ini capek, habis perjalanan jauh," ucap Ibu dengan wajah ketusnya. 

Mas Juna memberiku kode untuk keluar, aku pun keluar dari kamar itu.

'Baru datang saja sudah membuat tidak nyaman, apalagi jika dia semakin lama di sini, bisa hancur aku di buatnya.' celetukku dalam hati.

Aku berjalan menaiki anak tangga, membawa Baim ke dalam kamarku untuk bermain. 
Kuacuhkan saja mertua galak itu, biar ia menjadi urusan Mas Juna, mumpung dia lagi libur.

Mas Juna masuk ke dalam kamar kami dengan pandangan datar.

"Ada apa?" tanyaku bingung melihatnya yang nampak seperti orang marah itu.

"Kamu tolong perlakukan Ibuku dengan baik, dan jangan bertengkar dengannya. Biar bagaimanapun, dia ibu kamu juga!" ucap Mas Juna.

"Lho, emang aku buat salah apa? Bukankah aku sudah menyambutnya dengan baik?" tanyaku kebingungan.

"Iya, mas tahu itu, hanya saja Ibu tadi bilang, merasa kamu memandangnya judes, makanya dia menjawab pertanyaanmu pun malas!"

Astaghfirullahaladziim, Ya Allah, orang tua itu. Belum apa-apa sudah main fitnah saja, aku merasa seperti akan ada petaka besar di rumah ini.
Aku hanya terdiam, tak menanggapi apapun omongan Mas Juna.

______makan malam.
Aku menyiapkan semua menu sehat.
Kami semua berkumpul untuk makan bersama, aku pun menidurkan anakku terlebih dahulu, baru ikut makan bergabung.

"Kamu emang begini ya? Makan gak bisa sama-sama, atau kamu gak suka ada Ibu di sini?" tanyanya ketika aku menyendok nasi ke dalam piring kosong.

"Tadi Baim rewel, Bu. Jadi Leha nidurin dia dulu, baru bisa makan."

"Alasan saja, pandainya cuma menyahut omongan orang tua."

"Bu, Leha itu kalau Baim nya rewel, mau gak mau dia nidurin dulu, baru bisa makan. Jangan salah paham begitu, Leha itu sayang kok sama Ibu!" Mas Juna menimpali obrolan kami.

"Sayang? Yah semoga aja Jun. Jangan sampai kamu di bodohi wanita yang numpang hidup saja."

"Maksud ibu apa?" 

"Masa kamu gak paham?" 

"Bu, Leha, sudah. Ayo makan, jangan merusak suasana." Kali ini terlihat Mas Juna begitu kesal, aku bahkan kehilangan selera makan ulah omongan sialan itu.

Kuletakan kembali piring yang hanya berisi nasi putih itu. 

"Aku kenyang makan sindiran." Aku berucap lalu pergi dari dapur, kunaiki anak tangga dengan perasaan terkoyak. Sakit sekali rasanya, semua yang aku takutkan seakan menjadi kenyataan.

Aku masuk ke dalam kamar, seandainya tidak ada Baim, sudah kubanting kasar pintu kamar ini untuk meluapkan emosi yang meluap-luap.
Kuhamburkan diri ke kasur milikku, kukeluarkan segala rasa sakit melewati tangisan yang tak bisa kuhentikan lagi.

Mas Juna masuk ke dalam kamar.

"Leha, cepat minta maaf sama Ibu, kamu itu benar-benar tidak sopan, tega kamu buat Ibuku menangis."

Kubalikan badan, kutatap tajam wajah suamiku yang nampak memerah itu.

"Kamu buta atau bagaimana? Jelas-jelas ibu kamu menghinaku tepat di depan kamu! Lalu kenapa aku yang harus minta maaf?"

"Biar bagaimanapun, dia orang tua, Leha. Kamu tidak pantas melawannya seperti tadi."

"Jadi mau kamu aku diam terus? Begitu."

"Emang dengan melawan semua kelar? Yang ada tambah masalah."

"Setidaknya aku berusaha membela diri, aku tidak mau di injak-injak seperti ini. Sakit mas, apalagi di hina begitu." Aku menangis tersedu-sedu.
Mas Juna terdiam, ia lalu memelukku erat.

"Maaf, maafkan Mas. Tapi tolong, bersabarlah menghadapi sikap Ibu, beliau satu-satunya orang tua yang Mas miliki."

💞 Terimakasih 💞
Jangan lupa subscribe, like dan komentarnya dong! Biar aku nya makin semangat 😘

Komentar

Login untuk melihat komentar!