Simfoni Menjelang Petang

"Ya, halo. Ada apa Fian?" tanya Har lewat HP. "Oh, iya. Maaf, saya ada urusan mendadak. Tolong kamu jemput saja sekarang. Ya, tanpa saya. Ya, ya. Eh, ngomong-ngomong stage-nya sudah siap? ..... Oke, nanti sebelum maghrib saya langsung ke sana. Jangan lupa reservasi yang VIP. He-em. Sampai jumpa."

Har kembali memasukkan HP mungil itu ke dalam saku kemejanya. Yang menelpon barusan adalah Fian, rekan kerjanya dalam bisnis event organizer. Kantornya juga di sekolah musik Har. Pekerjaan mereka berdua adalah mengadakan pertunjukan musik, baik kelas nasional maupun internasional. Dan malam nanti mereka akan mengadakan konser David Benoit, seorang pianis kelas internasional. Bulan ini David Benoit memang mengadakan tour di beberapa kota di Indonesia, termasuk kota di mana Har tinggal. Dan kantor Har-lah yang mendapat hak untuk mempersiapkan konser tersebut di kotanya sendiri.

Hari itu hampir saja ia melupakan agenda yang sudah dipersiapkannya beberapa bulan lalu. Untung ia punya Fian dan beberapa rekan lain untuk mengurusi semuanya. Memang Fian yang memiliki andil besar terhadap usaha event organizer itu. Dia yang punya ide dan tahu segalanya tentang hal itu. Cuma ia tidak mempunyai tempat untuk memulai usahanya. Karena Har teman baiknya, maka ia mengajak Har bergabung dengan meminjamkan sebagian ruangan di sekolah musik Har sebagai kantor. Har mau saja, karena bisnis itu juga menghasilkan uang.

***

Mobil Har memasuki pelataran depan rumahnya. Kedua matanya menangkap dua orang sedang berada di taman. Ia tahu orang-orang itu pasti suruhan Pak Atmo untuk memperbaiki taman berikut kolamnya.

Har menghentikan mobil di depan pintu garasi. Kemudian ia ke luar sambil membawa rantang pemberian ibu mertuanya. Dilihatnya Nita di teras depan rumah bersama Mozi dalam kereta.

"Halo, Sayang." sapa Har pada Mozi. Ia melempar senyum lebar. Begitu pula si bayi membalas senyum itu.

Nita menerima rantang yang diulurkan Har. Mata Har masih menatap Mozi.

"Mozi tidak nakal, kan?" Har mengangkat tubuh Mozi. Kemudian mencium pipi kiri bayi itu dengan gemasnya. "Aduh, wangi amat sih. Mozi sudah mandi ya? Dimandikan Mbak Nita? Wah, Mbak Nita baik ya. Pinter lagi. Bisa membuat Mozi secakep dan sewangi ini."

Nita yang masih di teras merona merah wajahnya karena malu. Tapi ia sudah agak terbiasa dengan pujian itu. Karena hampir setiap hari Har memujinya di depan Mozi. Berbagai hal selalu dikomentari majikannya itu. Mulai dari pakaian Mozi yang baunya harum setelah dicucinya, sampai rasa susu Mozi yang dibuatkannya. Majikannya itu mengatakan susu yang dibuatkannya enak, padahal pria itu tidak mencicipinya. Terkadang Nita hanya menggeleng-gelengkan kepala mendengar pujian Har. Terlalu berlebihan pria itu dalam memuji wanita. Begitu bahagianya almarhumah istrinya mempunyai suami seperti Har, pikir Nita.

"Itu tadi bawaan dari ibu." kata Har pada Nita sambil menggendong Mozi. Sementara dalam gendongan, Mozi memain-mainkan rambut ayahnya.

"Perlu saya panaskan, Pak?" tanya Nita.

"Terserah." jawab Har diselingi dengan ia meringis kesakitan karena rambutnya ditarik-tarik Mozi.

"Eh, kamu sudah makan tadi siang, Nit?" tanya Har setelah melepas tangan Mozi dari rambutnya.

"Sudah." Nita mengangguk.

"Benar?"

"Benar, Pak. Tadi Pak Atmo yang membelikan saya gado-gado."

"Oh, ya sudah. Rantang itu isinya rendang, dan nasi mungkin. Aku juga belum membukanya. Kamu bisa makan malam dengan itu nanti."

"Bapak?"

"Aku nanti makan di hotel saja. Ada konser musik yang harus ditangani. David Benoit. Kamu pernah dengar, Nit?"

Nita menggeleng.

Har tersenyum. Saat itu ia sudah berjalan masuk ke dalam rumah. Diikuti Nita.

"Kamu suka musik, Nit?" tanyanya.

"Dulu saya suka dangdut, Pak. Tapi setelah bersama Mozi, saya jadi ikutan suka musiknya Mozi."

Har tersenyum lagi.

"Kamu tahu jenis musik apa yang kamu putarkan buat Mozi?" tanyanya.

"Mo....mo....apa, Pak?"

"Mozart. Wolfgang Amadeus Mozart."

"Susah sekali sih namanya."

Lagi-lagi Har tersenyum.

"Kenapa juga tidak ada yang menyanyi, Pak?" tanya Nita. "Kok musik melulu?"

"Itulah musik instrumentalia." jawab Har. "Musik instrumentalia memang tidak ada penyanyinya. Sulit bagi orang-orang seusiamu menyukai musik-musik semacam itu. Mereka cenderung menyukai musik dengan vokal penyanyi."

"Kalau tidak ada yang 'nyanyi, lalu bagaimana menikmati musik itu?"

Har tertawa hampir terbahak. Pertanyaan yang baru saja dilontarkan gadis di sampingnya begitu lugu dan terdengar konyol.

"Nita," Har menatap gadis berusia delapan belas itu lekat-lekat. "Kamu akan dapat benar-benar menikmati musik instrumentalia jika kamu sudah tahu musik."

Nita diam saja. Dahinya berkerut sedikit.

Sementara Har kembali menaruh Mozi di dalam kereta bayi.

"Sekarang Papa yang akan mandi dulu ya, Sayang." katanya pada Mozi. "Mozi di sini dulu sama Mbak Nita."

Mozi tersenyum lebar melihat ayahnya. Seolah ia tahu apa yang diucapkan si ayah. Matanya berbinar-binar, kaki dan kedua tangannya bergerak-gerak.

Har meminta Nita menunggu Mozi sementara ia mandi.

***

Sepulang Har, Bu Dar melakukan kegiatan rutinnya saban sore hari, yaitu bersih-bersih rumah. Tidak banyak yang dilakukan wanita yang sudah umur itu. Karena memang rumah yang ditempatinya tidak seluas rumah milik Har. Rumah KPR Pegawai Negeri peninggalan suaminya itu cuma tipe T36 untuk jenis yang paling sederhana. Sejak kematian sang suami, rumah itu belum pernah dicat lagi temboknya. Sehingga warnanya sudah kusam, dan beberapa bagian mengelupas. Memang untuk merawat rumah tersebut tidak cukup hanya dengan mengandalkan uang pension pegawai negeri rendahan.

Ketika sedang menyapu lantai dalam rumah, Bu Dar mendengar suara kendaraan bermotor memasuki pekarangan rumahnya. Wanita itu mengangkat kepalanya sejenak. Dilihatnya seorang laki-laki  dengan penampilan berandalan turun dari motor. Laki-laki itu membuka jaket jeans, dan terlihat ia mengenakan kaos kutung. Terlihat pula beberapa gambar tato di kedua tangannya!

 

[ Bersambung ]





Komentar

Login untuk melihat komentar!