Beberapa tahun silam.
“Jangan kamu godain temenku, Reez, dia masih segelan!” ujar Lika sambil tertawa kecil. Ia barusan mengenalkan Ratu pada teman-teman cowoknya.
Ratu baru saja mendarat beberapa hari lalu dari Lampung. Kota Solo masih begitu asing baginya, begitu juga lingkungan pinggir kota itu masih belum sepenuhnya ia kenal. Sejak kakeknya jadi purnawirawan tentara dan harus pindah, ia ikut pindah termasuk sekolahnya.
“Kenalken, aku Satrio.” Lelaki sebelah Areez itu yang malah duluan mengulurkan tangan. Ratu kemudian menyambut tangan itu. Herman lalu tak mau ketinggalan bersalaman dengan Ratu pula.
Namun Areez, lelaki berambut panjang hampir sebahu itu acuh, bergeming, tetap menatap senar gitarnya yang ia rasa tak mengeluarkan nada yang seharusnya. Sesekali ia memutar stelan gitar itu.
“Serius kamu gak mau kenalan sama Ratu, wong orangnya ayu gitu.” Ani kini yang nyeletuk.
Areez hanya tersenyum tipis. Tali gitarnya sudah terasa sempurna saat ia petik. “Yo wis, ayo nyanyi lagi. Didi Kempot, Stasiun Balapan!” ujarnya menyebutkan lagu yang akan mereka nyanyikan sore itu.
Seraya memainkan gitar, Areez terus mencuri-curi pandang. Kepada siapa lagi kalau bukan pada gadis baru di lingkungannya itu, Ratu. Pun gadis itu juga sesekali membalas pandangan Areez dan tersipu. Sampai-sampai pandangan mereka sempat beradu, namun Areez dan Ratu cepat mengalihkannya.
Areez merasakan hal yang agak aneh di dalam hatinya. Aneh karena selama ini ia tak pernah nyaman dan begitu menikmati memandang seorang gadis. Namun keberadaan Ratu membuatnya merasa seperti ada hal baru yang pantas dinikmati. Memandang wajah gadis itu memberikan kesenangan tersendiri. Ia hanya tak mengakui dan tak berani jujur pada dirinya tentang perasaan itu, tapi ia tahu.
Sementara Ratu juga mengakui dalam hatinya kalau Areez memang tampan. Meski ia lebih banyak diam seperti lemari es, dan hanya berbicara seperlunya, itu pun sepatah-dua patah kata saja, baginya Areez adalah pemuda yang berwibawa. Cara dia duduk dan tegap tubuhya sudah cukup memberi tahu Ratu kalau Areez adalah lelaki yang memiliki prinsip.
***
Mentari di ufuk mulai tergelincir ke peraduannya. Langit kelabu mulai menjingga perlahan. Lagu Stasiun Balapan menjadi lagu penutup acara gitaran sore itu. Ratu teringat pesan kakeknya yang sangat tegas itu kalau ia harus pulang sebelum hari mulai gelap. Gadis itu berdiri dari duduknya bersama sekelompok pemuda itu dan berpamitan.
“Mau kemana?” tukas Areez pada Ratu, akhirnya mengeluarkan suara.
“Dih, dih, Areez, ngomong juga ternyata setelah satu dekade diam bersemedi.” Lika menggoda.
Ratu tak menjawab Areez dengan kata, melainkan dengan senyum terindahnya. Ia kemudian melengos begitu saja meninggalkan mereka.
Melihat Ratu pulang berjalan sendirian, Areez lekas meletakkan gitarnya di atas pangkuan Satrio. Ia lalu mengejar langkah Ratu, lalu mengimbanginya agar mereka berjalan bersisian. Daun akasia yang gugur tertangkap di tangannya dan ia gigit bagian ujungnya, seperti sedang merokok. Ratu yang agak kaget saat mengetahui ia diikuti Areez menoleh dengan alis bertaut, heran dengan adanya daun di mulutnya.
Satrio dan Herman bersorak mengejek Areez, namun lelaki itu hanya menjawab dengan lambaian tangan kesal dan mata yang dibuat membulat. Areez lalu mengarahkan wajahnya ke Ratu lagi.
“Kamu gak denger aku ngomong? Mau kemana?” tanya Areez sekali lagi.
“Pulang.”
“Kok cepet banget?”
Ratu tak menjawab pertanyaan itu. Lebih tepatnya ia enggan untuk bercakap dengan orang yang masih terasa asing. Terlebih lagi mereka baru berkenalan beberapa waktu lalu.
“Aku anter ya?” Areez menawarkan diri.
Yang ditanya tak menjawab lagi, tersenyum lagi. Setelah mereka cukup lama berjalan bersisian, Ratu berhenti. Ia merasa tak nyaman diikuti seorang pria.
“Kenapa ngikutin aku?”
“Mau anter kamu pulang.”
“Aku bisa pulang sendiri, aku punya kaki yang sehat.”
“Aku juga punya kaki dan kakiku bergerak sendiri mau lewat sini.”
“Ya udah, terserah.”
Sekian menit mereka berjalan di pinggir jalan Noyorono, langkah Ratu terhenti di sebuah gerbang kecil yang merupakan jalan masuk ke rumah besar bernuansa klasik. Dari penampakan rumah itu lebih seperti halaman belakang, karena banyak ditanami berbagai macam palawija dan rempah-rempah. Dua tiang jemuran berdiri agak miring di ujung halaman sana.
“Berhenti, Reez. Jangan ikuti aku lagi, wis, pulang sana!” usir Ratu pada Areez. Ratu tak ingin kakeknya melihat dirinya dan seorang lelaki berjalan bersama. Pasalnya, kakeknya selalu berpesan untuk tidak dekat-dekat dengan lawan jenis terlebih dahulu agar bisa fokus belajar. Apalagi masih setingkat SMA yang butuh konsentrasi penuh ke pendidikan.
Kalau pun nanti waktunya untuk dekat dengan lelaki, kakeknya ingin ia mendapat lelaki yang sederajat. Ia cucu pensiunan tentara, tentu saja calon suaminya juga harus dari keluarga berkedudukan. Orang Jawa sebagian besar memang melihat bibit, bebet dan bobotnya saat memilih perihal pasangan.
“Yo wis, aku pulang.” Areez menelan kekecewaan karena hanya bisa mengantar gadis yang ia kagumi itu di depan gerbang halaman belakang.
Ratu lalu memasuki gerbang ketika Areez mematung di depan gerbang itu. Tepat ketika Ratu sampai di pintu dan hendak melangkah ke dalam rumah, ia menoleh ke belakang, tersenyum dan mengangguk tipis pada Areez, lalu menghilang di balik pintu itu.
Melihat senyuman dan anggukan itu membuat Areez semakin berbunga di hatinya. Seperti ada bibit mawar yang mulai tumbuh, kecil saja, tapi kuat dan pasti. Senyum Areez terkembang ketika ia berbalik dan beranjak pulang.
***
Areez tak langsung pulang usai mengantar Ratu pulan ke rumah kakeknya. Ia memilih untuk pergi ke markas dimana Sugeng dan kawan-kawan tinggal. Sugeng adalah ketua gerombolan mereka, yang menguasai pasar di kelurahan Sriwedari itu. Acapkali Areez ikut turun tangan jika beraksi memintai uang paksa di pasar, lalu malamnya mereka berpesta.
“Lha koe, Reez?” Sugeng menepuk pundak anak buah yang sangat disukainya itu, tak lain adalah Areez.
Areez petarung yang handal baginya, dan itu sangat penting. Karena, kalau nanti mereka harus berperang lagi dengan gerombolan kelurahan sebelah, Areez layaknya panglima perang yang mampu memimpin pasukan, ibaratnya. Areez juga lebih suka diam, menurut dan tidak neko-neko.
“Malam ini gak ada aksi,” ujar Santo, teman seberandalan Areez. Pria bertato itu mengembuskan asap di depan mulutnya.
“Aku muleh, pulang.” Areez yang belum lama datang hendak pergi lagi.
Santo tampak memberi kode dengan gerakan kepala kepada yang lainnya yang mungkin berarti, ‘ada apa?’
“Tumben pulang cepat, Reez?” Santo penasaran. Ia melempar sekantung tembakau dan alat lintingan rokok ke depan Areez. Areez melinting rokok, menyalakannya, tak lama kemudian benar-benar beranjak pulang yang membuat beberapa temannya saling bertanya.
Kepulangan Areez dari markas Serigala Muda – nama gerombolan itu, bukanlah tanpa alasan. Areez hendak menemui Lika di rumahnya, tentu saja bertanya soal sepupunya yang baru ia kenal, Ratu. Kebetulan juga ada Ani di rumah Lika.
“Jadi kamu naksir sama adikku ya, Reez?” ujar Lika, menyebut Ratu dengan kata ‘adik’.
Areez hanya menggeleng, tapi dalam sanyum tipisnya itu terlihat jelas bahwa ia ada rasa. Hanya saja ia terlalu naif untuk mengakui sekarang.
“Kamu pokoknya jangan macam-macam, jangan dimainin.” Ani membalas dengan nada tinggi. Ia tahu kalau Areez selama ini sering malak di pasar, juga minum arak terkadang. Satu lagi, Areez baru saja berhenti dari sekolahnya karena bermasalah dengan beberapa guru.
“Jujur aku gak setuju kalau Ratu sama kamu.” Ani meneruskan.
Areez tak banyak bicara, “Aku pulang dulu.” Ia kemudian beranjak membawa gitarnya yang tertinggal di rumah Lika. Untung juga gitar itu ia tinggal tadi, jadi ia ada alasan untuk datang. Padahal, ia ingin tahu lebih banyak soal Ratu dari Lika.
Bersambung.
Jangan lupa komen. Jangan lupa subscribe. Jangan lupa ajak temen baca.