Mawar Hitam 8
“Ayo kita pulang.” Ratu mendekat pada Areez. Pelupuk matanya sedang memupuk cairan bening yang semakin lama semakin penuh.
Areez menggeleng pelan. Ia berusaha menolak tapi sorot matanya teduh tak tajam seperti biasanya.
“Jangan pulang, Reez!” titah Sugeng dengan nada keras. Matanya seakan-akan memancarkan kepundan gunung api yang siap meletus.
“Kamu jangan pengaruhi Areez terus, Geng. Biarkan dia pulang.” Ratu membantah.
“Kalau dia pulang nanti malah dipukuli sama orang tuanya. Gak usah pulang!” sergah Sugeng tak mau kalah.
“Aku jamin, Reez, kalau kamu pulang kamu gak akan dimarahi ibu bapakmu. Aku jamin. Ayo pulang sama aku, Reez.” Ratu menatap sendu wajah bengap itu. Ia seperti bisa merasai rasa sakit dan penderitaan Areez.
“Ayo, Reez.” Ratu berusaha menarik tangan Areez yang sedari tadi hanya diam dan sesekali melirik Sugeng. Areez hanya menurut diseret oleh Ratu tanpa sepatah kata pun.
Entah kenapa kali ini Areez seperti kerbau dicokol hidungnya. Ia yang tak takut siapa pun begitu menurut pada perempuan itu. seolah-olah, sorot mata Ratu pada Areez memancarkan kekuatan besar yang memaksanya untuk tunduk dan patuh. Ratu seolah-olah seorang ratu pemimpin kerajaan besar dan ia hanya prajurit biasa.
Di perjalanan pulang, Ratu tak berhenti meneteskan airmata. Semantara Areez juga tak mengatakan sepatah apa pun.
***
Siang itu di rumah Areez semua anggota keluarga berada di rumah termasuk Ria, kakak Areez dan Rini, adiknya. Sri dan Tirto, orang tua Areez, sontak terkejut ketika Ratu membawa anaknya pulang dengan kondisi mengenaskan.
“Ya Allah, Nak, kenapa kamu ini? Berantem lagi?” jerit Sri. “Ayo, masuk rumah.”
“Iya, Bu.” Ratu kemudian mendudukkan Areez di sofa ruang tamu. Tirto kemudian ikut bergabung ke ruang tamu.
Sri langsung meneteskan air mata dan memeluk suaminya. Tirto membalas pelukan Sri dengan elusan di bahunya.
“Dasar anak ….” Tirto tampak kesal dan hampir mengumpato anaknya itu.
“Pak, Bu, Areez jangan dimarahi dulu ya. Biar dia tenang dulu. Biar istirahat dulu.” Ratu berusaha berkata selembut mungkin kepada dua orang tua itu. Tutur kata halus Ratu mampu meredam emosi yang memuncak di kepala Tirto melihat anaknya yang habis berkelahi.
Sri terisak di dada Tirto suaminya. Tirto pun akhirnya ikut meneteskan airmata melihat kondisi Areez. Sementara itu, dua wanita yang merupakan kakak dan adiknya Areez bergabung. Ria dan Rini.
“Bu, Pak, Biar Areez istirahat di kamar dulu, biar Ratu yang antar ke kamar ya.” Ratu meminta izin.
Dua orang tua itu kemudian mengangguk. Sampai di kamar, Ratu memanggil adiknya Areez, Rini.Ratu lekas meminta Rini mengambilkan air hangat, sapu tangan dan obat merah. Anak yang beranjak remaja itu gegas ke dapur mengambil yang diminta oleh Ratu.
“Ini, Mbak.” Rini menyerahkan obat merah, sapu tangan dan semangkuk air hangat kepada Ratu. Ratu lekas mengambilnya.
Lalu Ratu mencelupkan sapu tangan ke air hangan dan menempalkannya ke wajah Areez yang biru, tepatnya di bawah mata kiri. Bibir pecahnya juga ia lap pelan-pelan.
“Aduh!” Areez mengaduh dan tak sengaja memegang tangan Ratu.
“Lain kali jangan berkelahi lagi, Mas. Kamu udah babak belur gini, aku gak bisa kebayang rasanya. Kamu masih muda dan masih punya masa depan yang panjang, Mas.”
Tangan Areez kemudian memegang kedua tangan Ratu yang mulai memanggilnya “Mas” itu. Mereka berdua diam dan saling tatap. Ada kaca-kaca di pelupuk mata masing-masing. Tiada sepatah terucap tapi saling mengerti satu sama lain.
Areez tiba-tiba memeluk Ratu dengan cepat hingga perempuan itu tak sempat menolak. Ratu didekepnya erat sampai tak bisa melepaskan diri.
“Mas Areez?” Suara Ratu parau.
Areez hanya diam lama, tenggelam dalam pelukan yang sangat dalam. Matanya yang berkaca-kaca mulai meneteskan cairan bening tanpa disadari oleh wanita yang dipeluknya. Lamat-lamat kemudian, terdengar suara serak dalam napasnya. Lalu isak.
“Aku banyak salah.” Suara Areez akhirnya keluar setelah sejak tadi hanya membisu. Namun tiada suara lainnya yang menyusul dari bibir yang pecah robek itu. Hanya satu kalimat yang bergetar parau itu saja.
Kini giliran Ratu yang diam membisu, menatap kosong, hanya membalas pelukan lelaki itu lebih erat. Lama, lama sekali.
“Kenapa kamu gak marah? Harusnya kamu marah. Harusnya kamu tampar aku.”
“Udahlah, Mas. Nanti dulu ya, ceritanya, sekarang Mas Areez istirahat dulu. Nanti sore kita ke dokter.”
"Aku berkelahi bukan karena merasa jagoan. Aku berkelahi karena membela kamu dari perkataan orang yang gak bener."
"Maksudnya?"
"Ada yang bilang kamu itu gak pantas buat aku."
"Udah Mas, 'kan aku bilang nanti aja ceritanya."
Ratu perlahan melepaskan pelukan Areez. Ia kemudian keluar dari kamar lelaki itu dan menemui bapak dan ibu Areez. Dua orang itu sedang duduk di sofa masih sambil memikirkan anak lelakinya.
“Bu, Ratu minta tolong sama Ibu sama Bapak ya, Areez jangan dimarahin. Insya Allah Areez akan baik-baik saja.” Ratu lalu memeluk Sri dengan erat, mencoba menerima rasa gundah yang dimiliki seorang ibu itu.
“Titip Areez ya, Ra. Hanya dengan kamu dia bisa nyaman, bisa lebih baik lagi.” Sri berucap parau, hampir seperti berbisik. Tarikan napasnya serak tersedu-sedu.
“Insya Allah, Bu. Ratu akan bujuk Mas Areez untuk mau sekolah lagi. Ratu juga akan jagain Mas Areez supaya gak berkelahi lagi.”
“Makasih, Nak.” Pelukan Sri pada Ratu semakin erat.
***
Sore itu, Ratu menemani Areez ke dokter di sebuah klinik bernama Tamya Medika. Pelipis Areez mendapat satu jahitan dan bibirnya mendapat dua. Keluar dari ruangan dokter Indrawan, sudah tertempel sebuah perban yang menutupi luka jahitannya. Ratu menunggu di lobi, menyambutnya dengan tatapan kasihan.
Selepas dari klinik, mereka berhenti di sebuah taman yang ramai akan orang-orang yang jalan sore. Areez dan Ratu duduk di bangku di taman itu, sambil menikmati eskrim yang dijual keliling oleh penjualnya.
“Aku gak bisa makan eskrim ini, mulutku masih terasa sakit, Ra.” Areez menyodorkan eskrim yang ia genggam ke Ratu.
Ratu menerima eskrim Areez itu.
“Mas Areez, kamu lanjut sekolah ya?” pinta Ratu seraya menikmati esnya. “Kasihan Bapak sama Ibu, mereka sedih terus.”
Areez tak menjawab apa pun.
“Kamu harus lanjut sekolah, Mas. Kamu masih muda, masa depan kamu masih panjang. Sayang kalau kamu gak sekolah.”
Seorang lelaki lewat di depan mereka dengan menggandeng anak kecil dan tersenyum tipis kea rah Areez dan Ratu.
“Lihat, Mas. Bapak itu tampak senang ‘kan? Apa kamu gak mau suatu hari nanti jadi seperti dia? Apa kamu maunya seperti ini terus?”
“Aku belum tahu, Ra.” Areez menarik napas dalam.
“Pikirkan lah, Mas.”
Areez mengangguk pelan.
Langit bagian timur mulai berubah jingga, tanda siang hari sudah sampai di ambang batasnya. Terik yang purna pun sudah sirna. Areez bilang akan mengantarkan Ratu pulang. Namun Ratu bersikeras ia lah yang harus mengantar Areez pulang dengan keadaan seperti itu. Areez memaksa tetap mengantarkan Ratu, dan kali ini ia tak bisa menolak permintaan lelaki yang berprinsip tegas itu.
Ketika mereka berdua hendak keluar dari taman itu, tiba-tiba ada suara yang menyeru.
“Ratu!” Suara lelaki itu terdengar oleh beberapa orang. Ia tak lain adalah Surya, kakek Ratu.
Selain komentar yang panjang di bawah, ajak juga temen untuk baca ya
Login untuk melihat komentar!