Hujan dan Dua Lelaki
Tak terasa matahari cepat merambat naik. Sugeng, ketua gerombolan Srigala Muda itu tampak tak senang dengan Areez yang cepat-cepat pulang. Semalam Areez sudah tidak ikut kumpul dengan teman-teman se-profesi premannya, hari ini ia juga cepat pulang setelah beraksi di pasar. 
Areez yang langsung pulang ternyata ingin meminjam motor vespa kakaknya untuk menjemput Ratu di sekolah. Ia sempat menyamarkan luka lebam karena berkelahi di pasar tadi pagi, namun kakaknya mengetahuinya. Kakaknya hanya tidak mau ambil pusing soal kelakuan Areez yang sudah melewati batas. Untungnya, Areez berhasil membujuk kakak perempuannya itu untuk meminjamkan motor vespa putihnya.
Usai makan siang, Areez berangkat dengan vespa itu ke SMA Negeri 2 Surakarta. Dan benar saja, ternyata gadis itu sudah berdiri di gerbang seperti menunggu seseorang. Ia tak memedulikan siswa-siswa lain yang berlalu lalang di gerbang itu. 
“Butuh ojek, Mbak?” goda Areez ketika sampai dan berhenti di depan Ratu. Ratu yang sedang membaca buku itu pun menoleh dan tersenyum saat melihat Areez.
 “Areez?” Ia pura-pura heran, padahal ia sudah tahu akan dijemput.
“Mau naik vespa sama aku? Maaf aku jemputnya pakai motor butut gini.”
“Sebenarnya aku ….”
“Ayo, buruan, kalau kesorean nanti kamu diomeli Kakek, ‘kan?”
Ratu mengangguk.
“Ya udah, buruan!” ulang Areez.
Ratu akhirnya bersedia pulang dibonceng Areez, tapi ia meminta hanya sampai depan gerbang belakang rumah kakeknya. Tidak masuk ke dalam karena kakeknya bisa marah. Areez setuju.
“Ini motor kamu, Reez?” tanya Ratu sambil mengeraskan suaranya karena gangguan angin.
Areez yang mengenakan helm hitam membuka kaca helm itu, “Menurutmu?”
“Motor bapakmu?”
“Motor Mbak Ria, kakakku.”
Sesampainya di depan gerbang, Areez menghentikan motornya.
“Sudah makan?” kata mereka di waktu bersamaan. Mereka pun tertawa kecil.
“Aku sudah,” jawab Areez kemudian.
“Aku yang belum. Kalau gitu aku masuk dulu ya, Reez.”
Areez mengangguk. Ketika Ratu berjalan beberapa langkah, panggilan Areez tiba-tiba membuatnya berhenti. 
“Ra, aku takut,” ucap Areez datar.
Ratu menoleh ke belakang seraya tertawa kecil. “Kamu baru aja berkelahi tadi ya? Sampai ada lebam di muka kamu.”
“Bukan itu, Ra. Aku takut kalau kita gak ketemu sampai malam nanti, aku bisa kangen sama kamu.”
“Kirain. Ada-ada aja kamu, Reez.” Ratu melanjutkan langkahnya, ia berhenti di depan pintu, berbalik dan tersenyum, lalu sosoknya menghilang di balik pintu itu.
***
Satu bulan sudah Ratu pindah ke Solo. Selama satu bulan itu pula ia sering diantar atau dijemput oleh Areez. Kedekatan mereka selalu menciptakan percikan baru di dalam hati. Ada perasaan senang, harap, gerogi, dan takut sekaligus. Perasaan itu mencampur aduk jadi entah apa, tak terjelaskan.
Malam itu Ratu ditemani Lika pergi ke toko buku untuk membeli tabel periodik, permintaan guru mata pelajaran kimia agar membawa tabel unsur periodik saat ada mata pelajaran itu. Kebetulan jadwal mata pelajaran kimia adalah esok paginya. Tak mau dihukum, Ratu mengajak Lika menemaninya membeli keperluannya itu di toko buku, padahal langit tampak sangat gelap ditutup mendung tebal. Tiada bintang pun yang tampak, pun bulan seperti sembunyi di balik awan cumolo nimbus.
Ketika sampai di toko buku, tiba-tiba air dari langit tumpah. Mulai dari rintik kecil, namun cepat melebat menjadi-jadi. Lika dan Ratu terjebak di toko buku itu cukup lama, hingga jam dinding warna telur bebek itu menunjukkan pukul sembilan barulah hujan reda. Pukul sembilan sudah terlalu malam untuk dua anak gadis remaja keluar, tapi apa boleh buat, mereka tetap harus pulang.
“Hati-hati, Mbak!” ujar ibu pemilik toko seraya bersiap menutup pintu rukonya.
“Iya, makasih, Bu.”
Ratu menyalakan motor kakeknya itu dan bersiap pulang bersama Lika. Lalu mereka pun menerobos sisa-sisa hujan yang masih sebentuk gerimis.
Namun, baru dua menit mereka melaju, hujan kembali menderas. Hanya ada dua pilihan, berteduh di sembarang tempat namun sepi dan terasa agak menakutkan, atau terus dengan risiko basah kuyup, atau paling parahnya bisa tergelincir dan kecelakaan. Lika bersikeras mereka harus berteduh dulu.
Tempat mereka berteduh adalah sebuah bangunan seperti gubuk yang kosong yang biasanya digunakan untuk jualan sarapan saat pagi hari. Tiada sesiapa pun di sana dan rumah-rumah di sekitarnya juga tertutup rapat. Tak begitu banyak penerangan membuat suasana terasa makin mencekam. Tak lama setelah itu, tiba-tiba sebuah motor bersuara agak keras berhenti dan dua lelaki turun juga di gubuk itu. Melihat ada dua perempuan cantik, dua lelaki itu pun terbesit niat yang tak baik. Mereka saling tersenyum memberikan kode untuk menggoda Ratu dan Lika.
Cah Ayu, belum pulang ya?” tanya seorang lelaki.
Melihat caranya menegur, Ratu dan Lika tahu bahwa mereka tak bermaksud baik. Dua gadis itu pun tak menjawab, malah saling berbisik untuk lanjut jalan saja dan membiarkan mereka basah kuyup.
“Eh, jangan pulang dulu, temani kita disini!” Salah satu lelaki mencekal tangan Ratu.
“Lepasin, aku mau pulang, Mas!”
“Temenin kita aja malam ini. Kalau malu disini, kita punya tempat nyaman kok.”
“Maksudnya, Mas?”
Dua lelaki itu memainkan dua alis genit dan mengedipkan mata. “Aku tahu kalian juga butuh kehangatan di suasana hujan gini. Gak usah sungkan dan gak usah sok suci. Kalian tarifnya berapa?”
“Maaf, Mas. Aku bukan wanita seperti yang kamu pikirkan, kami mau pulang.”
Dua lelaki itu malah tertawa. “Jadi gak perlu tarif? Bagus deh. Berarti kami dapat rezeki nomplok malam ini. Yaah, kalau gak mau biar sedikit kami paksa.”
“Lepasin, Mas, tolong!”
“Ikut kami aja!”
“Tolong!” Lika berusaha meminta tolong. Namun keadaan sangat sepi dan tiada sesiapapun yang mau membuka rumahnya.
Mereka berusaha melawan, tapi pukulan mereka mudah dipatahkan oleh dua lelaki dengan tubuh lebih besar dari mereka itu.
“Tolong!” suara Ratu kini redam karena mulurnya sudah dibekap oleh salah satu lelaki.
“Bawa ke belakang sana aja, ada pondokan nganggur. Kita senang-senang disana!” ujar lelaki satunya.
Ketika Ratu dan Lika mulai ditarik, tiba-tiba suara vespa berhenti di dekat mereka. Seorang lelaki turun dari vespa itu dan berlari menerjang. Ya. Areez turun dari vespanya, tanpa ragu langsung menendang lelaki yang menarik tangan Ratu.
Baj*****!” pekik Areez muntab dengan mata menyala, bak kepundan yang siap menyemburkan api panasnya.
“Jangan sentuh pacarku!” Areez semakin marah. Ia menghajar dua lelaki itu sendirian sambil terus memaki-maki mereka. Dua lelaki itu pun terdesak. Mereka mencoba melawan dan melayangkan pukulan ke Areez, membuat lebam baru di bagian bibir kanan lelaki itu.
Namun, Areez yang sudah biasa berkelahi membalas lebih keras hingga mematahkan tulang rusuk salah satu lelaki itu. Lelaki satunya juga mengalami patah tulang jari. Mereka akhirnya menyerah dan meninggalkan Areez dan kedua gadis itu.
“Kalian gak apa-apa?” ujar Areez menatap Ratu. Hujan mengguyur lebih deras dan membasahi kepala mereka, juga baju mereka yang sudah kuyup. Sementara darah yang mengalir dari ujung bibir Areez luntur terkena air hujan pula. Lebamnya tak begitu terlihat karena kurangnya cahaya di tempat itu.
“Kami gak apa-apa.” Lika menggigil sambil memeluk tubuhnya sendiri.
“Bajuku ….” Ratu menunjukkan bagian bajunya yang tampak robek karena ditarik paksa oleh lelaki itu. Melihat baju Ratu robek, Areez melepas jaket denimnya dan memasangkan pada perempuan yang dikaguminya diam-diam itu. “Ayo aku anter pulang.”
Ratu dan Lika mengangguk. 
“Untung ada kamu, Reez.” Lika berterima kasih seraya memegang tangan lelaki itu. Ratu yang melihat Lika melakukan itu merasa seperti ada rasa tak rela kalau lelaki tampan itu disentuh tangannya oleh orang lain. Namun ia juga belum bisa memastikan perasaan apa itu.
Mereka kemudian mengendarai motor menerobos hujan yang masih deras. Lika lebih dulu sampai rumahnya, lalu Ratu dan Areez masih harus mengendarai motor lima menit lagi. Sesampainya di depan gerbang, Ratu tak menghalangi Areez seperti biasanya. Namun lelaki itu paham bahwa ia tak diizinkan masuk. Ratu memarkirkan motornya, lalu ia berlari menuju Areez yang duduk di motor di depan gerbang.
“Terimakasih, Areez. Kamu selalu ada untuk aku.”
“Iya. Kalau ada apa-apa, kamu cukup panggil namaku tiga kali. Aku akan datang kok.”
Ratu mengepalkan tinju dan meninju bahu Areez pelan. “Hujan-hujan gini kamu masih bisa bercanda, Reez. Padahal Lika bilang kamu itu orangnya diam, gak ngomong kalau gak ada petir atau geledek.”
“Lha ini ‘kan hujan petir sama geledek. Jadi, aku lebih banyak ngomong.”
Ratu meninju bahu Areez lagi, pelan. Tersenyum. Melambaikan tangan. Lalu masuk ke dalam rumah dengan ritual menoleh ke belakang dan melempar senyum termanis seperti biasa. Meski kegelapan menghalangi senyum itu dari penglihatan Areez.

Bersambung.
Subscribe, komen, dan AJAK TEMEN BACA!

Komentar

Login untuk melihat komentar!