Esok paginya Areez tidak datang mengantarkan Ratu ke sekolah seperti biasa. Hal itu membuat Ratu berpikir tentang kejadian malam sebelumnya saat Areez menyelamatkannya dan Lika dari ancaman dua lelaki bejat itu. Ratu mengira bahwa mungkin Areez sedang sakit. Luka lebam di wajahnya ditambah diterpa hujan malam itu bisa jadi membuatnya demam.
“Assalamu’alaikum.” Sepulang sekolah siang itu Ratu menyempatkan diri untuk mampir ke rumah Areez. Sri yang sedang duduk santai setelah selesai menunaikan kewajibannya salat, menyambut tamunya. Sri terperangah akan kecantikan gadis yang sedang berdiri di depan rumahnya itu.
“Wa’alaikumsalam. Kamu cantik sekali, Nak. Kamu mau cari siapa, Ria?”
Ratu menggeleng sopan. “Mboten, Bu.” Ratu lalu meraih tangan wanita paruh baya itu dan menciumnya takzim. Sopan santun yang ditunjukkan Ratu membuat Sri langsung menyukai gadis itu. “Saya temennya Areez, Bu.”
“Temennya Areez? Lha kok tumben Areez punya temen cantik banget gini. Areez lagi sakit. Ayo masuk Cah Ayu.” Sri mengajak Ratu masuk ke dalam rumahnya yang sederhana, berdinding papan dengan cat warena krem. “Areez, ada temen kamu, Nak.”
“Nggih, Bu.” Lelaki berandal yang sangat menghormati ibunya itu cepat keluar kalau Sri yang memanggil. Betapa terkejutnya Areez hingga ia terbelalak ketika melihat yang datang adalah Ratu.
“Sendirian aja, Ra?” Areez duduk di kursi di sebelah ibunya. Bibirnya seperti kemerahan dan lebam di sekitar pipu terlihat jelas.
“Nak, begini lah Areez. Dia suka berkelahi di luar sana. Tapi sebulan terkahir Areez sudah mulai berubah. Dia sudah gak pulang subuh lagi. Aya ya mungkin karena berteman sama kamu, eh iya, nama kamu siapa?”
“Ratu, Buk’e. Qasiratu At-Tarf”
“MasyaAllah, cantik sekali nama kamu seperti orangnya. Ya udah Ibu buatkan teh dulu sama ada gethuk di belakang.” Sri kemudian meninggalkan Ratu dan Areez di ruang tamu.
Suasana di ruang tamu agak canggung mendadak karena ditinggal Sri. Dua anak remaja menuju dewasa itu hanya diam membisa sampai beberapa menit kemudian.
“Makasih nggih, Reez. Maaf gara-gara aku kamu jadi sakit.”
Areez menggeleng. “Gak apa-apa.”
“Aku obati ya?”
“Gak usah.”
Ratu sudah melangkah ke belakang meminta kain dan air hangat untuk mengompres luka lebam Areez. Tak lama kemudian, Ratu kembali ke ruang tamu dengan semangkuk air panas dan sapu tangan miliknya ia gunakan sebagai kompres. Ia celupkan sapu tangan itu ke air panas, lalu menempelkan pelan-pelan ke pipi Areez.
“Auu!” teriak lelaki itu.
“Sakit ya Reez?”
“Airnya panas.”
“Aku tiupin.” Ratu kemudian meniup air itu beberapa kali. Lalu ia mengompres luka Areez lagi. Areez merintih sesekali karena rasa sakit yang timbul saat kain sapu tangan itu menyentuh area lebam di pipinya.
Tak terasa wajah mereka berdua begitu dekat, dekat sekali. Hingga Ratu dapat merasakan udara hangat yang Areez hembuskan dari napasnya. Ratu lalu menyentuh kening Areez dengan punggung tangan.
“Panas banget, udah minum obat Reez?” tanya Ratu.
Areez menggeleng. Ratu menatap lelaki itu dengan kening mengekerut karena kesal. Mengapa pula dengan kondisi seperti itu belum minum obat juga. Padahal suhu tubuhnya sangat panas. Ratu kemudian melangkah keluar, ia berinisiatif membeli obat ke warung Bu Narsi yang tak jauh dari rumah Areez.
“Kemana?” Areez seperti tak suka Ratu pergi meninggalkannya.
“Tunggu aja.”
Usai membelikan obat, Sri datang membawa dua gelas teh manis hangat dan sepiring gethuk buatannya. Sri mempersilakan Ratu untuk menikmati hidangan sederhana itu, lalu memberikan waktu mereka untuk berdua saja. Ratu memaksa Areez minum obat yang dibelinya, dan lelaki itu susah sekali diminta minum obat. Ratu harus memaksa dengan alasan ia akan pulang jika Areez tidak meminum obat penurun panas itu.
Bersambung. Maaf bab ini hanya 500 kata. InsyaAllah besok disambung jadi 1000 kata.
Tinggalkan komen, subscribe dan ajak temen baca.