Terganggu
"Loh, kok sewot begitu? Malu-malu deh," goda Tiara. Dikedipkan matanya begitu melihat wajah Harum memerah.

"Dia itu sopir Papaku, Ra!" tegas Harum sambil meninggalkan Tiara.

Tiara nampak bengong. Serius, laki-laki muda yang membawakan koper Harum itu tampan, tubuhnya atletis, sopan dan ramah. Senyumnya mengembang otomatis begitu bersitatap dengan orang yang dijumpainya. Tidak ada sama sekali gambaran sebagai seorang sopir pribadi.

Tapi jika benar itu sopir Harum, alangkah senangnya diantar ke mana-mana oleh laki-laki setampan itu, batin Tiara. Bibirnya senyum-senyum membayangkan.

Sementara Harum di dalam ruangannya, menjatuhkan bokongnya dengan kesal di kursi yang menghadap layar monitor. Entah kenapa dia terngiang-ngiang ucapan Tiara, dan jadi tidak suka. Padahal bisa saja gadis itu hanya bercanda, di kantor candaan macam itu sangat lumrah. Maka bagi yang lajang seperti dirinya harus siap-siap lapang dada dibully demikian.

Tapi entah kenapa untuk kali ini ada yang tidak Harum suka. Semakin dia ingat ucapan Tiara, semakin dia dirasuki rasa tidak suka yang mengganggunya.

"Pagi Bu Harum..." sebuah suara menyadarkan lamunan Harum.  Atasannya datang, karena memang hari ini ada rapat di luar, di hotel untuk bertemu dengan klien.

"P-pagi, Pak Bas," jawab Harum kikuk. Buru-buru dia perbaiki sikapnya, karena tadi dia duduk dengan bersandar ke kursi, dan mengangkat tangannya ke belakang kepala. 

Pak Bas tersenyum, lelaki paruh baya itu pimpinan cabang tempat Harum bekerja. Sikapnya sangat ramah dan bersahaja.

"Jangan lupa, tiga puluh menit lagi kita jalan, " kata Pak Bas mengingatkan Harum.

"Baik, Pak," jawab Harum. Hari ini memang dia dan atasannya akan bertemu klien untuk rapat di sebuah hotel berbintang lima di kawasan Jakarta Pusat.

"Ok, nanti kita ketemu di lobi saja, Bu Anne juga ikut."

" Siap, Pak." Harum menganggukkan kepalanya.

Begitu Pak Bas keluar dari ruangannya, dia segera mempersiapkan berkas-berkas yang diperlukan.

Harus semangat meski hari ini diawali dengan hal yang membuatnya sebal, jangan hanya karena masalah olok-olok Tiara yang tidak tahu apa-apa tentang Raka membuatnya ambyar. Pekerjaan hal penting yang harus dia selesaikan dengan baik, apalagi rapat hari ini untuk kemajuan kantornya.

Setelah tiga puluh menit berlalu, selesai touch up untuk menyakinkan penampilannya, Harum langsung menuju ke lobby. Di sana sudah menunggu Pak Bas dan Bu Anne, bertiga mereka naik mobil kantor menembus jalan raya yang cukup padat.
...
Sorenya saat semua karyawan sudah pulang, Harum masih sibuk di meja kerjanya, meringkas hasil rapat tadi untuk dipresentasikan besok.Tiba-tiba muncul OB yang biasa membuatkan kopi, atau membelikan camilan dan makan malam jika Harum pulang telat.

"Bu Harum sudah ditunggu Mas Raka," kata OB yang dipanggil Ujang itu. 

Harum mengeryitkan dahi demi mendengar nama Raka. Astaga, apa Raka pikir dirinya harus segera keluar begitu laki-laki itu datang menjemput? Mengapa Raka tidak telepon dulu sebelum menjemput?  Harum mendesis kesal. 

Apa dipikir dirinya sedang sekolah yang diantar jemput dengan tepat waktu? Kenapa baru hari pertama sudah dibuat kesal? Ya Tuhan, jangan buat aku tidak waras, gerutu Harum.

"Jang, tolong bilang ke Raka, suruh dia pulang saja," kata Harum kesal.

Ujang nampak bengong, mungkin laki-laki itu mengira Harum bercanda. Dijemput, kok nyuruh yang jemput pulang?

"Aduh, Jang...kamu bilang apa kek ke Raka. Saya masih sibuk, kamu kan tahu saya kalau pulang paling cepat jam 8 malam!" Harum menatap Ujang kesal.

"Apa Ujang suruh Mas Raka menunggu di warung kopi aja ya, Bu? Kasian kalau disuruh pulang, Jakarta jam macet. Bisa dia balik ke ke kantor jam 12 malam..."

"Ujang!" Harum mendelik.

"Eh--- maaf, Bu. Baik, baik, Ujang bilang aja ke Mas Raka nunggu di warung kopi," ujar Ujang ketakutan.

Tapi baru akan Harum menarik napas lega, Ujang yang baru sampai pintu berbalik, " Bu, nanti Ibu Harum bakal telepon Mas Raka kan kalau sudah selesai?"

"Astaga Ujang, kamu sudah berapa lama sih jadi OB?" kali ini Harum mendelik sambil berkacak pinggang.

Ujang pun bergegas keluar meninggalkan ruangan Harum, menuju parkiran tempat Raka menunggu Harum. Dalam hati Ujang tidak habis pikir, kenapa bossnya galak betul sama pacarnya.

Sementara meski Ujang sudah meninggalkan ruangannya, tapi Harum masih jengkel. Dia jadi tidak mood lagi untuk mengerjakan kerjaannya, padahal besok harus selesai dan siap dipresentasikan.

Mungkin secangkir kopi akan menghiburnya, batin Harum seraya melangkah menuju pantry. Dia akan membuat secangkir kopi hitam dengan sedikit tambahan susu.