Berusaha untuk tidak egois, aku memilih menyetujui pernikahan ini. Jawabanku mendapat respon bahagia dari keluargaku, mereka teramat puas dengan itu. Namun, aku meminta untuk bertemu lelaki itu lebih dulu dan berbicara empat mata.
Keinginanku terpenuhi, malam ini sebuah mobil SUV terparkir di depan rumahku untuk menjemputku. Awalnya aku pikir dia yang langsung datang, ternyata dia menyuruh orang lain. Dua puluh menit menempuh perjalanan, mobil berhenti di salah satu hotel bintang lima. Aku mengernyit, mengapa ke hotel?
"Maaf, kenapa ke sini?" tanyaku pada supir yang menjemputku.
"Ini sesuai perintah Tuan." Aku mengangguk lalu keluar mobil. Selanjutnya ada lelaki yang memakai pakaian serba hitam mendatangiku.
"Mari saya antar, Nyonya. Tuan sudah menunggu."
Aku mengikuti lelaki itu. Pertama aku diarahkan menuju lift, suasana canggung jelas terasa. Selanjutnya aku diantar menuju pintu nomor 356. Lelaki itu menyuruhku masuk, sebelum itu aku menunduk menatap pakaianku. Jujur aku merasa salah kostum sekarang, aku tidak menyangka tempat kami bertemu di hotel mewah ini. Jika tahu aku mungkin akan memakai pakaian terbaikku. Bayangkan, sekarang aku hanya mengenakan rok pendek dan slaaveless top yang aku lapisi dengan blazer panjang selutut. Menghela napas panjang, aku membuka pintu di hadapanku yang memang sebelumnya sudah dibuka oleh lelaki tadi. Begitu masuk, kamar hotel yang begitu luas langsung menyambutku. Aku masih terkesima sampai suara seseorang menginterupsi, "Kamu sudah datang rupanya."
Leonard di sana. Berdiri sambil menyenderkan tubuhnya pada pintu yang menghubungkan balkon dengan kamar. Aku meneguk ludahku kasar. Bukan tanpa alasan, Leonard berdiri tanpa memakai atasannya. Dada bidang dan otot perut yang membentuk kotak-kotak itu menyita perhatianku. Sadar akam arah tatapan mataku, bukannya segera memakai pakaiannya ia justru berjalan santai ke arahku.
"Kamu tunggu di balkon sebentar."
Aku tercekat dan dengan refleks memejamkan mata saat aroma wangi yang menguar dari tubuhnya tercium oleh indera penciumanku. Sangat nyaman dan ... memabukkan.
Brak
Suara pintu kamar mandi yang ditutup menyadarkanku. Gila! Apa yang baru saja kupikirkan?! Aku menggeleng dengan harapan bisa mengusir pikiran anehku. Aku segera menuju balkon yang ternyata terdapat dua kursi yang dipisahkan oleh meja. Di sana sudah tersedia minuman dan makanan yang sangat menggugah selera.
Pemandangan dari atas sini sungguh indah. Hanya terlihat kerlip lampu dari jalanan kota Jakarta dan ratusan bangunan di bawah sana. Saat sedang menikmati keindahan, aroma wangi tadi kembali menguar yang membuatku sontak menoleh ke arah pintu. Benar saja, Leonard baru saja datang, kini ia sudah memakai kemeja putihnya.
"Makan saja dulu," ujarnya. Melihat ia yang mulai makan, mau tak mau aku melakukan hal yang sama.
Leonard sama sekali tidak melirikku saat makan, berbeda denganku yang terus curi pandang terhadapnya. Begitu selesai, Leonard baru menatapku intens seraya bertanya, "Kenapa ingin bertemu?"
"Itu ... aku, hanya ... ingin ... mengenalmu." Sial, mengapa aku terbata menjawabnya?
"Kamu pasti sudah tahu namaku. Lalu apa lagi yang ingin kamu ketahui?"
"Seperti usia dan yang lainnya mungkin?"
"Aku seorang pengusaha sukses di usia tiga puluh tahun."
Mendengar jawabannya yang terkesan sombong itu membuatku ingin sekali berdecak. Namun aku tahan itu demi kesopanan. "Itu saja?"
"Nanti kamu pasti akan tahu lebih banyak."
"Boleh aku bertanya?" Leonard mengangguk.
"Apa kita pernah bertemu sebelumnya? Karena aku rasa belum, tapi kenapa tiba-tiba kamu datang dan melamarku?"
Akhirnya pertanyaan itu keluar dari mulutku. Pertanyaan yang beberapa hari ini menghantuiku. Aku harap Leonard akan menjawabnya dengan jujur.
Aku menatap Leonard penuh harap, sementara yang ditatap seperti sedang menimang sesuatu. "Kita belum pernah bertemu. Dan alasan untuk itu ... ." Leonard menggantung ucapannya. Aku mengernyit saat ia tiba-tiba bangkit dari duduknya dan mendekatiku. Leonard lalu menumpu tangannya di meja dan sandaran kursiku sehingga kini ia seakan sedang mengurungku. Tanpa kuduga ia membungkukan tubuhnya dan hal itu membuat wajah kami semakim dekat. Saking dekatnya aku bahkan bisa mendengar deru napasnya, bodohnya aku sampai menahan napas!
Di hadapanku Leonard menatapku seraya tersenyum miring. Ia mengambil posisi seolah akan berbisik di telingaku yang membuatku bergidik. Napasnya yang berembus mengenai telinga dan leherku terasa menggelikan. Belum lagi harum tubuhnya yang semerbak memabukkan. Ini benar-benar situasi yang belum pernah aku bayangkan! Jujur aku belum pernah merasa seperti ini oleh lelaki manapun, harusnya aku segera menjauh. Namun, aura Leonard yang mengintimidasi sekaligus tidak ingin dibantah membuatku sedikit ... takut.
Leonard kembali mengembuskan napasnya yang membuatku tak karuan, lalu ia berbisik, "Rahasia." Sial! Aku baru akan memprotes saat sesuatu yang kenyal dan basah menyentuh daun telingaku. Aku mematung seraya membelalak. Jantungku berdetak kencang, darahku berdesir, perasaan asing yang belum pernah aku rasakan sebelumnya tiba-tiba datang. Kecupan singkat itu ... membuatku merasa tak lagi berpijak di bumi.