Luna Nyata VS Ariel Noahaha.
Selingkuh Online 4


Aku mematikan ponselku dan memasukkan kedalam kantong celana, karena jam istirahat juga sudah usai. Baru saja hendak masuk ke kantor.

Drrttt drrttt drrttt


Debt Colector calling...

'Tumben dia ingat suami'. lirihku.

Aku berjalan agak menjauh dari kantor, seperti yang udah-udah ngobrol dengan Rani itu seperti ngobrol dengan emak-emak yang hoby nawar sadis, alot beud.


"Ya, Assalamu'alaykum, sayang..." sapaku sehalus mungkin.

"Wa'alaykumussalam... ga usah sayang-sayangan, kamu bikin status gaje, buat siapa lagi, Mas?" 

Tanpa mukadimah dia langsung menyemprotku dengan kalimat brutal yang jika disiram ke janda kembang bisa langsung bolong, eh.

"Itu sapaan umum sayang, bukan buat siapa-siapa, siapa aja yang baca berarti buat dia. Ga spesial, yang spesial hanya untuk kamu seorang," jawabku.

Itu juga sambil memegang perutku yang mendadak terasa mual. 


"Halaah, gombal. Pasti nanti malam minta jatah lagi, ogah. Aku capek!" ketusnya.


Aku menarik nafas dalam-dalam sambil membayangkan janda seksi tetangga sebelah, dari pada ngebayangin janda bolong, buat paan coba.

" Gak sayang Mas ga minta. Tapi, kalau Adek mau ngasih jatah, ya Mas ga bakal nolak," kataku cengengesan, kebayangkan tiga Minggu ga dihangatkan, nyaris basi aku, huhuhu.

"Dah ah, aku mau tidur siang, eh ya, tadi Ibumu kerumah, ngomel-ngomel lagi, katanya susunya habis, pulang kerja jangan lupa beliin,"

Tit

Sambungan telepon diputus secara sepihak, aku memijit keningku yang mungkin sudah berkerut berlapis-lapis, berapa lapis? ratusan, elaah.

Buat makan aja aku harus hemat, sekarang aku harus membeli susu tulang buat Ibuku. Semua gaji sudah kusetor kepada debt Colector, tapi kalau ada tagihan begini dia angkat tangan. Gimana aku tak oleng coba.

Ting.

[Selamat bekerja, jangan lupa berdo'a. Semoga saja aku dan kamu bisa menjadi kita.] 

Pening dikepala mendadak sirna. Garis dibibirku pun tercipta tanpa jeda.

"Woi, masih diluar aja, tuh dicariin pak Dimas." 

Sudin berteriak bak kernet Kopaja, menghalau    angin dari syurga yang baru saja menghembus mesra.

Tanpa menjawab, akupun mengekori rekan kerjaku menuju ruang Pak Dimas, Direktur perusahaan yang baru beberapa bulan ini menggantikan Pak Rudi sebagai direktur utama yang sudah memasuki usia pensiun. Lelaki yang pendiam, tapi tegas.

*****


Sore telah menjelang, Sebelum pulang aku mampir dulu ke alfajan untuk membeli susu tulang buat ibu, kalau tak minum susu onlen ini kata ibu sendi-sendi sering terasa nyeri. Usia senja telah membuat ibu kian rapuh, seperti hatiku yang bertahun-tahun bertahan dalam rumah tangga yang sehat, eh curhat.


Rumah kami berdekatan, suara Ibu yang khas dan cempreng kadang membuat Rani uring-uringan. Telah berkali-kali aku memohon Rani untuk mengerti, bahwa usia tua adalah usia saat kita kembali ke masa anak-anak, walaupun memang kuakui pikun nya ibu menguras emosi. Tapi, aku yakin fitrah manusia yang menjelang tua, memang begitu adanya. Disitulah letak ujian kita sebagai anak.

"Kamu anaknya, aku cuma mantu!" begitu jawab Rani, ketus.

Ibu pasti menyesal telah memaksaku menikah dengan wanita ini, tapi apalah daya, penyesalan memang datang terlambat, kalau datang lebih awal pendaftaran namanya.


Setelah mampir kerumah Ibu, akupun pamit pulang. Ada Juleha, adikku yang menjaga Ibu disana.

"Leha, Mas pulang dulu ya," kataku setelah memastikan Ibu meminum susu yang aku bikinkan.

"Mas, Leha bagi uang jajan dong," ucapnya memelas.

Gadis yang masih duduk dibangku sekolah lanjutan tingkat pertama itupun merajuk, dengan memajukan bibirnya.

Uang yang tadi aku pinjam kepada Sudin agaknya harus tandas sebelum waktunya. Dengan sedikit berat, aku mengeluarkan selembar uang merah dan menyerahkan kepada Juleha.

"Nih, buat sebulan jangan abisin," kataku.

"Elah Mas, cuma segini kok, seminggu juga habis," jawabnya mendelik.


"Ya udah, bawa sini lagi," kataku dengan menodongkan tangan.


"Huuu, ogah!" Juleha mencebikan bibir dan bergegas memasukkan uang itu kedalam kantong celananya.

Aku mengacak rambut Leha, sayang. Adik bungsuku itu begitu cepat dewasa. Meski usia nya masih remaja. Tapi, dia yang dengan telaten merawat Ibu, apalagi setelah sepeninggalan Bapak beberapa tahun lalu, keadaan Ibu makin mengkhawatirkan. Sering lupa apa saja yang telah beliau lakukan, tak hanya ingat mantan, tapi juga suka ngomel-ngomel gak jelas. Ah Ibu...andai Rani mengijinkan Ibu tinggal bersama kami tentu aku akan mudah untuk berbakti.

*****

"Ayah beli apa?" Syifa, yang melihatku pulang langsung memberondong dengan pertanyaan.

"Gak beli apa-apa, sayang," ujarku sambil menyimpan sepatu kerjaku ke rak sepatu.

"Yah, pelit banget pulang kerja ga bawa apa-apa," gadis sembilan tahun itu berlalu menghentak-hentakan kakinya ke lantai. Aku mengeleng-geleng kepala, memberi udzur atas kelalaianku mengajarkan adab kepada Syifa.

"Ibu mana, sayang?"tanyaku kepada Syifa, yang sedang main hape di kamarnya.

"Dirumah Bu Sugeng," jawabnya singkat.

Aku mendesah berat, Bu Sugeng adalah tetangga yang terkenal tukang gosip. Sudah berkali-kali aku menasehati Rani, agar tak terlalu dekat dengan wanita itu. Tapi dia tak pernah mau mendengarkan.

Jam sudah menunjukkan angka sembilan, Rani pulang tanpa mengucapkan sepatah katapun.

"Dari mana, Dek?" tanyaku.

"Dari rumah sebelah," jawabnya tanpa menoleh kepadaku, lalu masuk ke kamar Syifa dan,

Ceklek!

Menguncinya dari dalam. Sejak Raihan lahir wanita itu lebih memilih tidur di kamar Syifa, bayangkan betapa malamku sepi berasa duda karatan.


Ting!

[ Udah tidur?] dari pada gabut, mending cari tukang urut, ngurut hati maksudnya.


[ Belum, tumben Mas inbox duluan, kangen ya?]

[ Iya, kok tahu?] 

[ Kedutannya sampe kemari, mengetuk hatiku. Tapi aku takut bertamu, takut debt Colectormu menguncangkan asaku]

[Debt Colector lagi nagih ke tempat lain sayang, kita aman. Oya, nama kamu beneran Luna?]

[ Hehe bukan Mas, namaku Meilani. Luna itu nama keren aja, karena orang-orang bilang aku mirip Luna nyata, hehehe]

[ Nama aslimu lebih cantik, jadi ngebayangin kamu Luna nyata, aku Ariel noahaha nya.] 

[Hahaha jangan Mas, nanti cinta kita sama kayak mereka, berakhir dalam berita infotainment saja]

[Hahaha bisa saja kamu. Oya, suami mu mana?]

[ Mas Tyo sedang diruang kerjanya.]

'Nasib bisa sama begini ya,' bisikku.


Tok tok tok

Jam sudah menunjukkan angka sepuluh malam, suara seseorang terdengar mengetuk pintu kencang.

Aku bergegas turun dari ranjang dan menuju ke arah pintu.
Rani juga terlihat bergegas keluar, matanya memerah terlihat habis tidur pulas, teganya.

Dia bergegas membuka pintu, aku yang masih mematung hanya melihat dari depan kamarku.

"Siaap siaap," bisik Rani kepada seseorang diluar sana. Lalu dia bergegas menutup pintu dan menguncinya.

"Siapa, Dek?" tanyaku penasaran.

"Bu Sugeng, besok ngajak kepasar bareng," katanya dan kembali masuk ke kamar Syifa, tempat tadi dia tidur.


Ada yang aneh, masa mau ngajak ke pasar besok pagi, harus ngomong malam-malam begini? Tadi juga sepertinya ada yang Rani sembunyikan di dalam saku dasternya. Wah, jadi curiga, kira-kira apa ya?




Bersambung




Komentar

Login untuk melihat komentar!