Kehidupan manusia senantiasa berubah, sekarang tidak akan sama dengan kemarin, bulan ini tidak sama dengan bulan depan. Meskipun hari dan waktunya memiliki kesamaan namun secara esensi tetaplah berbeda. Hari ini mungkin kita bertemu dengan hari senin, satu minggu kemudian kita akan bertemu lagi. Namun, senin kemarin dan senin hari ini tetaplah berbeda. Begitulah hidup, saat ini mungkin gagal tapi besok akan menjadi orang yang diperhitungkan. Sekarang dianggap orang kaya raya, dikemudian siapa tahu akan menjadi orang yang bangkrut dan tidak punya apa-apa. Hari ini masih bodoh esok hari menjadi rujukan semua orang.
Terlalu banyak kisah tentang orang yang dulunya miskin kemudian menjadi kaya raya, yang dulunya tidak tahu apa-apa kemudian menjadi pembaharu dunia, yang dulunya mencari inspirasi sekarang menjadi inspirator bagi banyak orang. Perubahan adalah keniscayaan, seperti yang di firmankan Allah SWT “Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum manakala kaum itu tidak punya keinginan untuk berubah.” (QS: Ar-Ra’d:11) Artinya setiap manusia senantiasa berproses dan berada dalam kebaikan yang Allah telah berikan. Hanya saja, banyak orang yang mengubah kebaikan yang telah Allah anugerahkan kepadanya menjadi sebuah kejelekan. Sehingga Allah mencabut kebaikan itu disebabkan oleh kezaliman yang dilakukan oleh mereka sendiri.
Optimisme menjadi manusia yang dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada seluruh semesta adalah contoh manusia yang punya keinginan untuk berubah dan berusaha menggapai anugerah Allah SWT. Ia tidak lantas berputus asa kemudian menerima apa adanya, karena mereka menyangka bahwa apa yang dialami saat ini adalah taqdir Allah SWT. Ia menyadari bahwa setiap manusia lahir dalam keadaan fitrah (suci) sehingga dirinya berkeyakinan bahwa setiap manusia mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk menjadi manusia terbaik. Termasuk dirinya yang lahir ke muka bumi atas anugerah Allah semata.
Abu Hamid Al-Ghazali sebelum bergelar Hujjatul Islam adalah anak dari seorang yang berprofesi sebagai penjahit. Bagi sebagian orang mungkin akan mengira profesi seperti ini tidak akan mengubah nasib dirinya apalagi keluarganya. Jika di kalkulasikan, income atau penghasilan dari hasil menjahit hanya bisa untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bagaimana dengan biaya pendidikan anak-anaknya? Tentu tidak akan mampu mengantarkan anaknya menjadi seorang pemuda pejuang yang dikemudian hari menyadarkan umat Islam dari kelalaian dan kebodohan.
Namun, dibalik profesi penjahitnya ada sesuatu yang sangat besar berupa keyakinan akan perubahan. Sang ayah bercita-cita anaknya kelak menjadi seorang yang sangat alim meskipun ia berprofesi sebagai seorang penjahit. Setiap melihat dan bertemu dengan seorang ulama, sang ayah senantiasa menangis dan berdoa kepada Allah agar di kemudian hari anaknya seperti mereka. Cita-cita besar nan mulia ini ia tanamkan dalam dirinya dengan usaha dan doa yang maksimal. Sang ayah tahu dan meyakini bahwa tidak ada yang tidak mungkin jika Allah berkehendak meskipun dirinya bukan termasuk orang berpunya. Bara semangat tak pernah padam untuk mengantarkan putranya menjadi agen perubahan. Berbekal sebuah keyakinan, ia mantapkan doa dan ikhtiar dengan menitipkan putranya pada seorang ulama untuk diajari ilmu agama.
Ini menjadi teladan bagi para orang tua atau yang akan menjadi orang tua bahwa keterbatasan finansial bukan halangan untuk mengantarkan anak-anaknya menjadi pemuda pejuang. Ada sebuah cita-cita yang selalu menggema dalam jiwa sehingga melahirkan kekuatan yang dapat melahirkan tindakan. Keimanan dan ketakwaan merupakan modal utama untuk menggapai apa yang di cita-citakan. Ia tidak bisa dikesampingkan apalagi dinisbikan. Iman merupakan kekuatan yang fundamental bagi setiap muslim sedangkan takwa merupakan modal untuk mendatangkan jalan keluar dari jalan yang tak terduga. “Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah SWT akan diberikan jalan keluar dan diberikan rezeki dari arah yang tidak terduga”. (QS: At-Talaq: 2-3). Keimanan, ketakwaan dan kemauan adalah tiga rangkaian kebutuhan para orang tua dalam mengantarkan anaknya menjadi pemuda pejuang yang tak boleh terpisahkan.
Keimanan mengatarkan seseorang pada keyakinan bahwa Allah SWT adalah satu-satunya dzat yang maha kuasa dan hanya Dia-lah yang dapat merubah segalanya. Tak ada daya dan upaya selain atas campur tangan dari Allah SWT. Begitu pula dengan ketakwaan, orang yang senantiasa mendekatkan diri kepada Allah niscaya Dia akan mendekatinya dan orang yang mencintai-Nya niscaya Dia akan lebih mencintai hamba-Nya yang sholeh. Sedangkan cita-cita adalah ikhtiar dari individu yang menginginkan kebaikan di dunia dan akhirat, karena tanpa ikhtiar seseorang akan dicap sebagai manusia yang malas. Ketiga komponen ini ada dalam diri ayah Imam Al-Ghazali dan ditransformasikan dalam jiwa anak-anaknya.
Sosok orang tua seperti inilah yang diidamkan oleh para pemuda pejuang. Miskin harta namun kaya akan cita-cita. Ia mengetahui kapasitas dirinya sebagai manusia yang merdeka, mempunyai hak yang sama dengan manusia pada umumnya dan memiliki tanggungjawab untuk melahirkan sosok pejuang. Mengerti pentingnya generasi pelanjut yang siap mencerahkan kehidupan umat manusia. Tahu kemana dan bagaimana mengantarkan generasi pelanjut perjuangan harus diarahkan sehingga lahir pemuda pejuang. Ibarat seorang yang ingin membangun sebuah bangunan, maka siapkan terlebih dahulu bahan-bahan bangunannya. Artinya jika ingin melahirkan pemuda pejuang haruslah disiapkan terlebih dahulu seperangkat alat dan syarat untuk kebutuhan lahirnya seorang pejuang.
Dengan demikian hasil dari didikannya bukanlah sosok pemuda pecundang yang mudah menyerah pada realitas kehidupan. Namun, pemuda yang mampu mewarnai peradaban umat manusia dengan perubahan pada tatanan hidup yang lebih beradab dan berkemajuan. Sosok ayah Imam Ghazali mengajarkan pada kita semua bahwa melahirkan, menciptakan dan mengantarkan generasi pelanjut perjuangan adalah sebuah keniscayaan dan keterbatasan bukanlah menjadi hambatan untuk merealisasikan mimpi besar tersebut. Ada Allah SWT yang maha kuasa atas segalanya menjadi kekuatan utama dalam mewujudkan sebuah impian.
Hasil didikan dari sang ayah yang sedari kecil sudah di doktrin dan mintakan kepada Allah untuk menjadi bagian dari pembaharu Islam. Al-Ghazali juga tidak pernah berkecil hati, lahir dari keluarga kurang mampu tidak kemudian menyurutkan semangat belajarnya. Ia bahkan menunjukkan kepada dunia bahwa dirinya mampu mengubah jalan hidupnya. Alih-alih berputus asa, malahan Al-Ghazali menjadikan kekurangan finansialnya sebagai pemicu dan pemacu untuk terus melangkah ke depan. Tak pernah terbayang dan terpikirkan dalam dirinya bahwa ia akan mengalami kegagalan. Semangat untuk menjadi agent of change (agen perubahan) yang dapat menyinari alam semesta dengan ilmu bisa dibuktikan dengan semangat belajar yang tinggi.
Berguru kepada banyak ulama dan berpindah dari tempat ke tempat yang lain. Ia bahkan tidak pernah merasa lelah dan bosan untuk belajar. Mempersiapkan kapasitas dirinya untuk mejadi pemuda pejuang dengan tetap istiqamah dalam dunia keilmuan. Pekerjaan utamanya adalah membaca, meneliti, menganalisa, menulis dan melahirkan solusi keummatan. Hingga akhirnya ia menjadi seorang yang dapat melahirkan karya besar yang mencerahkan umat manusia.
Perjalanan intelektualnya tak ada yang meragukannya lagi, mujahadah yang tinggi telah mengantarkan Al-Ghazali menjadi rujukan kebanyakan umat Islam. Bahkan sosok panglima perang pada perang salib, Shalahuddin Al-Ayyubi sang pembebas masjid Al-Aqsha merupakan produk yang dihasilkan dari karya imam Al-Ghazali. Artinya selain sukses secara individu Al-Ghazali juga mampu melahirkan pemuda pejuang yang dapat melanjutkan cita-cita besarnya, yakni terwujudnya peradaban Islam. Ini tak lain karena peran besar dari sang ayah yang telah mengantarkan dirinya menjadi seorang ulama dan pemuda pejuang.
Imam Ghazali telah memberikan kontribusi besar pada kebangkitan umat Islam. Melalui renungan dan perjalanan panjang pergulatan intelektualnya, ia mampu mengalisis dan menemukan akar masalah yang dialami oleh umat Islam. Maka, tidaklah berlebihan jika dalam karya magnum opusnya Ihya Ulumiddin, Imam Al-Ghazali memulai dengan pembahasan pentingnya sebuah Ilmu. Ia mengetahui bahwa salah satu akar masalah dari kemunduran umat saat itu adalah karena kebanyakan dari mereka tidak mencintai ilmu dan berada dalam kubangan kebodohan. Hal ini sejalan dengan apa yang telah di cita-citakan oleh ayahnya bahwa tanpa ilmu tidak akan ada yang namanya peradaban.
Namun, tidak sedikit orang yang tidak mau berubah disebabkan oleh ketidaktahuan akan potensi dan anugerah yang telah Allah SWT berikan. Mereka merasa tidak berdaya dan tidak berbuat apa-apa. Misalnya seorang yang lahir dari keluarga miskin kemudian tidak punya keinginan untuk mengubah nasibnya ke arah yang lebih baik. Ia menyangka bahwa menjadi miskin merupakan suratan taqdir dari Allah yang tidak bisa diubah. Sehingga dalam perjalanan hidupnya hanya mewarisi pikiran dan status sosial yang disematkan kepada dirinya.
Pikiran yang seperti ini tentu bertentangan dengan fitrah manusia itu sendiri yang dilahirkan ke muka bumi dalam keadaan suci dan dalam keadaan tidak mengetahui apa-apa. Melalui proses didikan dan gemblengan dari kedua orangtuanyalah mereka akan tumbuh dan berkembang menjadi sosok pejuang atau pecundang. Ibarat setumpuk tanah liat, orang yang melihat atau memilikinya akan membentuk tanah itu sesuai keinginannya. Jika ia pandai dalam membuat kendi dari tanah, maka tanah liat itu akan diolah menjadi sebuah kendi yang bernilai mahal. Sebaliknya, jika tanah itu dimiliki oleh orang yang tidak punya keahlian niscaya ia hanya akan menjadi tumpukan tanah yang diinjak-injak dan tak berarti sama sekali.
Hal demikian perlu disadari oleh handai taulan, khususnya para pemuda yang diharapkan menjadi pemimpin masa depan. Bahwa, perubahan itu terjadi bukan karena faktor keturunan dan bukan pula karena kekayaan. Perubahan lahir karena keyakinan yang membuncah dalam diri seseorang, mengalir deras keinginan untuk menjadi bagian dari para pelukis peta peradaban. Keterbatasan dan kekurangan bukanlah penghalang dalam meraih impian, sebab kesuksesan tidak pernah mengenal batas penghalang antara yang mampu dan kekurangan. Yakinlah, dalam diri kita ada pontensi sangat luar biasa yang jika dimaksimalkan akan menghasilkan kekuatan besar sebagai bekal mengubah tatanan dunia.
Fisik mungkin boleh terlihat kecil, tapi jiwa harus tetaplah besar. Boleh saja kita terlahir dari keluarga miskin harta dan jabatan, bukan berarti kita juga perlu miskin cita-cita dan harapan. Keyakinan, kegigihan dan kepasrahan kepada Allah SWT akan mendobrak tembok penghalang yang acapkali menghentikan jejak langkah para pejuang. Mereka para pemuda yang memiliki cita-cita, semangat berkarya dan pembawa pelita ditengah kehidupan manusia. Langkahnya harus terhenti karena kekurangan biaya dan akhirnya mempunyai alasan untuk berputus asa, mundur dari gelanggang perjuangan dan memilih menjadi manusia biasa.
Para orang tua merupakan pintu pertama dan utama masuknya generasi pelanjut estafeta perjuangan dalam menggapai impian. Merekalah yang membukakan pintu dan menunjukkan arah jalan kemana para pemuda pejuang harus melangkah hingga sampai pada tujuan. Ada cita-cita dan harapan yang dititipkan kepada mereka untuk diwujudkan, ada doa yang senantiasa mereka lantunkan sebagai azimat untuk keselamatan. Bahkan, para orang tua adalah penentu dari segalanya. Di tangan para orang tua, generasi muda hendak menjadi apa dan mau dibawa kemana, diramu dan diracik hingga menjadi maha karya yang sangat berharga.
Dus, generasi pelanjut estafeta perlu di rekayasa sedemikian rupa agar mereka dapat hadir dalam kehidupan nyata. Tentu syarat dan ketentuan berlaku, mereka lahir dari para orang tua yang mengalir dalam dirinya keyakinan dan keinginan untuk melahirkan pemimpin bangsa. Pengrajin yang menghasilkan maha karya, dari barang tak berharga menjadi cinderamata yang menyilaukan semua mata. Mereka adalah generasi muda yang tidak diperhitungkan oleh manusia, tiba-tiba hadir sebagai pembawa pelita. Mereka di poles oleh orang tua hingga menjadi cahaya ditengah kegelapan semesta. Cukuplah orang tua imam Ghazali sebagai rule modelnya, penjahit mimpi yang berhasil lahirkan Hujjatul Islam, menjadi teladan bagi para orang tua dan pemuda pejuang.