Nara Sumber itu?



Nara sumber itu? 
*

Aku bersegera menyusul Boni yang telah sampai duluan menuju ruang pertemuan berkapasitas dua ratus orang saja. Makan malam sambil ngopi santai. Boni mengira tujuan kami hanyalah mengikuti seminar Revolusi Mental.

Padahal ada agenda besar yang akan kami susun bersama Sam di kota metropolitan dengan singkatan nama propinsi acap di plesetkan segala urusan memakai uang tunai SUMUT.

Aku dan Sam meminta izin masuk kamar lebih cepat. Banyak yang harus kami perbincangkan. Dua cewek seksi menghampiri meja. Sam memberi kode padaku, meminta izin mendadak perut Sam kram, padahal itu hanya akting. 

Menghabiskan semalam suntuk dengan nongkrong ngopi bukan solusi, ujungnya tubuh aduhai menghampiri. Entah aku tak normal atau memang ajaran santun yang kerap mama tanamkan. 

Tak tergiur dengan wanita-wanita seksi menghampiri.
Aku dan Sam kembali ke kamar. dengan dua sorotan pasang mata Boni memandang tak nyaman. Sedekah wanitanya kami tolak.

"Mister Surya sebentar lagi di ruangan itu, kita tidak perlu terburu-buru menemuinya, biarkan mereka beradu di sana. Kita cukup menunggu." Ujar Sam padaku. 

"Jenius." Jawabku tersenyum kecil. Kembali ke kamar. Membuang badan pada empuknya kasur kemudian terlelap.

Pagi. Setelan kemeja putih jas hitam. Kami menuruni tangga sedikit berolahraga daripada menaiki lift tak membakar kalori. Ruangan seminar berkapasitas lima ratus orang di depan mata.

Sebelum masuk ruangan, ku sempatkan mengambil gelas, mengisi kopi, mengambil pinggan kecil dan meletakkan beberapa pancake durian yang telah disediakan panitia di depan pintu masuk ruang.

Pancake durian khas kota Medan. Pancake durian makanan kesukaan Mhita. Ah. Dia lagi. Kapan enyahnya perempuan itu dari otakku. Tuhan ... ?

Melangkah mengambil tempat duduk. mengeluarkan pena dan kertas notes. Aku menikmati alunan sambutan acara dari soundsystem. 

Materi pertemuan hari ini, bertema "Revolusi Mental" setelah mukoddimah penuh basa-basi. Para Nara sumber menaiki podium. Benar kata Boni ada sosok wanita anggun menarik perhatian penonton.

Memainkan Powerpoint perjalanan negara dari 1955-2019. Semua peserta hening. Lagu karya Ibu Sud mengalun mengiring slide demi slide yang dipertontonkan. Mataku gagal fokus menatap jelas ke arah perempuan yang sedang memainkan slideshow materi.

Apakah itu Mhita? 

Degg. 

Dadaku mendadak sesak, merasakan jantung yang sudah seperti rem yang sudah blong. desir darah tak karuan, sentruma listrik seakan mengontak pada kulitku yang mendadak panas saat ini.

Benarkah itu Mhita?

Mengapa pengkhianatannya tak mampu membuatku membencinya? Entah karena begitu syahdu dan memilukan lirik irama dari Ibu Sud, mataku ikut mengabur. Itu?

Perempuan yang nyaris membuat sekarat. Benarkah dia? Lampu pendar tidak terlalu terang, jilbab Dongker berpadu gamis senada tanpa motif membingkai tubuh mungilnya.

 "Mhita ..." Tanpa sadar aku menyebut pelan. 

Karya Ibu Sud berhenti mengalun. Tatapanku tak terenyah dari atas panggung. Ia mengambil microphone setelah lagu dimatikan. Menatap ke seluruh penonton, kali ini aku dapat melihat seluruh wajahnya. Seluruh lampu kembali di hidupkan. 

"Satu goresan Ibu Sud mengasah rasa nasionalisme kita .... " Suaranya menggema, ku tatap lekat. 

Tuhan! Itu bukan Mhita. Aku menggigit bibir. Perih. 

Ada yang terlanjur basah di sudut mata. 

Brian. Jangan gila!

Menangis karena perempuan bukan tabiat seorang lelaki. Perempuan di panggung itu bukan Mhita. Hanya sedikit mirip. Aku menahan bulir untuk tidak terjatuh.

"Tenanglah, Brian!" Bukankah orang bilang anggota dewan itu incaran banyak perempuan? Ah, itu kan kata orang. Seorang seperti Brian, dewan terpilih dua periode tidak satupun menemukan perempuan.

"Yan ... kamu baik baik saja?" Jangan bilang kamu naksir Rita, baru juga liat, bahkan belum kenalan." Boni yang duduk tak jauh dariku mendekat, menatap risau campur geli, mungkin tak percaya, melihat retinaku yang mengambang. Aku tersenyum menunduk jenuh. 

"Boleh juga nih Bon. Kenalin aku sama tu narsum, ya? Mana tau mor nya cocok." aku memaksa tawa menyembur keluar, walau terdengar jadi aneh. 

 "Serius, Yan? aku kenal dekat kepala Wiswara yang baru, akan kuminta mengatur pertemuan kamu Sama Rita." Boni terlihat sangat antusias mengucapkan kalimat itu.

Aku mengangkat bahu tanda setuju. Dan memberi jempol dua yg kumiringkn ke kiri ke kanan.

"Asal kamu ngak nikung duluan." Tawaku menyembur lagi, sengaja menyindir Bupati peminat poligami ini. 

Sepertinya mama benar. Aku harus segera menikah. Dengan menikah hidup jauh lebih berwarna. Hanya kenalan. Tidak ada salahnya, kalau cocok, segera kubawa menghadap mama.



Jam menunjukkan pukul. 22.00 WIB

Tegukan terakhir, menyisakan ampas kopi dalam gelas keramik unik, cake crispy dari olahan pisang dengan taburan green tea ikut tandas, kentang goreng masih utuh, pun cemilan lainnya. Perdana membuat janji sudah mengingkari, sangat bukan tipe seorang Brian.

Mana yang namanya Rita? Aku mendengkus beberapa kali. Membuang napas kasar. Lima puluh dua menit beranjak dari waktu yang ditentukan, enam menit lagi, tidak datang. Aku kembali ke kamar. 

Damn it! untuk para perempuan yang hobi mempermainkan.

Apes sekali kamu Brian. Jangan kan gadis, janda seperti Rita saja tidak mau menemuimu. Aku mengacak rambut frustasi. Kulirik layar gawai, mensugesti diri sendiri, pantulan wajahku jelas terlihat di layar.

"Brian."

Hidung turunan mama dengan wajah getas khas pria pakistan, kulit turunan papa, harusnya makhluk yang disebut perempuan tunduk mengemis padaku, klepek klepek bahasa anak sekarang. 

Tunggu! Seharian aku belum membuka aplikasi WhatsApp. Deretan pesan terabaikan. 

("Cinta ... kamu dimana? Nyampe Medan gak bilang bilang ya. Combong Amir cih ....") 

Itu dari Ai, teman Mhita waktu SMA, tapi tak punya malu menggodaku meski Ia tau aku mantan pacar temannya. 

("Eh iya cinta, nih baru mau ngabarin, kamu dimana? Medan juga? Sini bareng aku di ....") 

Send 

Hahahaha ... Begitulah. Namanya juga lelaki. 

(Yan ... Jangan lupa minum madu, vitamin juga, biar tetap fit. Kegiatan kamu kan lagi banyak banyaknya, Kan?") Pesan Refi yang sok perhatian. 

(Sayang ... aku belikan kamu baju dingin, ku dengar dari mama, abis dari Medan kamu cus Berastagi, kata orang Berastagi itu dingin banget, jadi kubelikan jaket wol asli dari Australia.) Pesan Meisya pegawai kantor tempat dinas-ku. 

Tak usah kusebutkan pesan pesan lainnya. Sangat memuakkan. Khas perempuan murahan. Aslinya aku memang tampan, ganteng, incaran banyak makhluk hawa. Kalau tidak mana mungkin lima ratus pesan sok perhatian dalam sehari memenuhi notifikasi. 

"Brian. Kamu memang cogan, cokelat, cookies."

"Apa--an tu cogan, cokelat, cookies, emang makanan?"

Kata Melisa, Cogan itu cowok ganteng, cokelat itu singkatan dari cowok keren pas liat bikin mata jelalat. Nah ... Kalau cookies singkatan dari cowok ori bikin meleleh is ... is ... kayak ice. 

Dasar signal perempuan, darimana mereka tahu aku ori? Pada gila.

Siapa sih cewek yang berani nolak seorang Brian? Ada. Mhita. Tapi yang mau ketemu bukan Mhita tapi Rita. Lima menit kuhabiskan berbicara sendiri kayak orang saraf abis operasi kepala. 

 "Maaf. Assalamualaikum, Pa ... k Bri ... Brian." Suara lembut mengalun merdu di telinga. Netraku terhenti mengunci pada satu wajah tepat dihadapan.

Apa aku tidak salah dengar. Suaranya persis Mhita. Apa aku salah dengar, seorang yang berkelas dan berpendidikan bisa begitu gugup menghampiriku. 

"Ya. Saya sendiri. Silakan!" Aku menarik kursi dan menyuruhnya untuk duduk. Mengulur tangan dan Kembali di tolak secara halus, perempuan di depanku ini tidak bersalaman dengan laki-laki yg bukan muhrimnya.

Opps ...
Ternyata dia bagian dari pengajian halaqoh-halaqoh itu. Mungkin. Aku menarik kesimpulan sendiri. Menarik sedikit bibir untuk tersenyum, walau terasa menjadi aneh. 

Hmmm.

"Silahkan dipesan menunya, mbak eh Bu ...
mmm Rita." Aku terkekeh sendiri. Gadis itu tersenyum, semata melihatku salah tingkah menyebut namanya. 

Rona gemetar menyembul bersama warna merah jambu tak bisa ia sembunyikan dari Kedua pipinya yang sudah seperti udang matang dalam kuali-- pink muda. 

Aihhh, apaan sih?! Bukankah ini pertemuan perdana. Mengapa begitu gugup?aku suka netra coklatnya mengerjap. Berkali kali menautkan jari jemarinya menahan gugup yang membuat heran. 

"Maaf Pak brian, saya terlambat datang. Sa ... saya ada sedikit keperluan mendesak, apakah bisa kita tunda pertemuan ini, atau pak Brian silahkan kontak saya. Kita bisa bertemu dan berbincang lebih lama di lain waktu." Ia memberikan kertas kecil berisi 11 angka. 

"Sekali lagi maaf. Saya pergi dulu." Ucapnya sangat terburu-buru. Bahkan tak memberi kesempatan padaku untuk protes dan mengajukan klaim. Klaim? Ha, emang asuransi. 

Berdiri dengan tidak nyaman, membalikkan badan seperti sangat ingin bersegera pergi. Hingga tanpa sadar jilbab lebarnya melilit pada ujung kursi. 

Aku menarik ujung jilbabnya yang tersangkut, tangannya terlebih dulu berada di ujung kursi bergerak bersamaan dengan tanganku.

Tatapan kami beradu, Mata itu. 

"Mhita." Nama itu lolos begitu saja tersebut tanpa bisa kukontrol. Ia bergerak gelisah, kulepas ujung jilbabnya dari tangan. Aku tidak berniat membuatnya takut. Tapi janda bernama Rita itu justru ketakutan menatapku. 

Sejak datang, hingga ia mengatakan menunda pertemuan. Ekspresinya begitu membuatku bingung. Apakah wajahku seperti teroris?

Ah tidak. Bukankah lima ratus pesan sehari dari beberapa perempuan telah membuktikan aku cogan, coklat dan cookies seperti kata Melisa. Ah sial. Mengapa aku menyebut nama Mhita di depannya. Dia bukan Mhita. Hanya sedikit mirip. 

"Maaf Pak brian. Sa ... Saya harus pergi. Sekarang." Ia berlalu dengan tergesa. Tanpa menunggu kalimatku.

Aku terpaku, menatap punggungnya yang hilang di balik pintu restoran, tunggu. Cara jalannya, ayunan tangan saat berjalan.

Dan ... Tahi lalat besar di antara tengah jari begitu jelas terlihat saat tangan kanannya mengayun mendekati gagang pintu.

Mhita? 

Bisa-bisa kepalaku mendadak error' dan kakiku struk permanen. Mengapa Rita memiliki ciri seperti Mhita? Dokter Bedah harus segera membedah kepalaku sepertinya.


Next.
Jangan lupa subscribe judul novelku yang lain