Bakso




Lagi dan lagi, untuk kesekian kalinya aku bermimpi. Keringat mengucur dari dahiku, suhu pendingin dari air conditioner tak mampu melawan olahraga otak yang barusan kualami. 

Entah apa makna dari mimpi yang akhir-akhir ini sangat menghantui. Seorang perempuan berhidung biasa saja, tidak mancung pun tidak pesek, berpostur mungil berjilbab lebar, bermata bulat dengan alis yang tebal, alis yang murni tanpa pewarna dan netra anti celak bak boneka India. 

Perempuan fenomenal yang pernah mengisi hari-hari indahku, Itu dulu sekali, bahkan aku tak menginginkan untuk mengingatnya kembali. Paras keibuan dengan senyum yang membuat sarap otak bisa berhenti berfungsi. 

Saat itu aku masih memakai celana abu-abu, peristiwa yang usang yang tak ingin dikenang, Bila mengingatnya api kebencian semakin menjalar, mengingat betapa bodoh dan naifnya diri sebagai lelaki. 

Ternyata aku dihadapkan pada kenyataan--pernah jatuh cinta pada seorang kakak kelas dua belas, perempuan itu lebih dua tahun di atasku.

Perempuan yang berhasil membuat gila, nyaris kebingungan bak nelayan tak tahu ke mana layar bertujuan, hilang petunjuk arah, mati-matian mencintai, nyata hanya meninggalkan dusta. 

Katanya ia rela menanti, harta bukan segalanya. Saat kemiskinan menggrogoti, justru ia lari tanpa kabar untuk kembali.

Wanita itu-- yang pergi dan tak datang lagi, selain bisa membuat otak mendadak sarap, juga sosok berprestasi plus multi talenta, aku harus cure menilai seseorang bukan? Dia punya hobi memantik api dalam dada, membakar cemburu, mengepalkan tinju, panas membara acap hadir kala berdua, bagaimana tidak?

Begitu banyak yang menyukainya, bahkan ada yang terang-terangan mengatakan padaku, akan siap merebut, bersaing sehat mendapatkan cintanya, padahal jika dinilai dari segi fisik, dia bukan seorang yang dikategorikan cantik menurut mata lelaki, layaknya wanita yang diperebutkan.

Tapi, gadis itu memiliki karisma luar biasa, pemborong piala setiap event apapun jenisnya, jelas Ia sosok multi talenta.
Sederhana, cerdas, menarik, dan bersahaja. Memukau siapa saja ketika berbicara.

Frontal saat mengolah kata tentang sebuah Negara berlapis kapitalis, yang mendarah daging sebagai karakter bangsa. Bagai suluh saat kegelapan menghampiri, sakit yang diderita hilang dengan suara khas gadis keibuan yang kini tak kuketahui keberadaannya. 

Pergi dengan meninggalkan segudang rasa yang ... Entah.

Ah sudahlah. Kenapa aku harus menceritakan, belasan tahun sudah berlalu, bukankah hari tetap dilalui? sudah terbiasa tanpa dia, dan memang diharuskan biasa.

Meskipun suara manjanya kerap mengganggu waktu istirahat. Yah. Jika berbicara di depan umum, intonasi Ia jaga, tidak jika berdua denganku. Sikap manjanya mengundang kerinduan tak bersisa, Rindu itu benar-benar untuk dirinya.

Huhh! kenapa menceritakan dia lagi. Kalau begini terus, kapan gadis itu akan hilang dari ingatan.

"Stop Brian!" Perempuan itu sudah menghilang tanpa kabar dan beberapa tahun lalu dengan seenak udelnya mengirimkan surat undangan ke rumah. 

Marah, kesal, setengah mati melawan rasa ingin menjadi gila, membaca nama yang tertera di undangan seperti hendak mengambil sebilah belati dan mencincang sebuah nama yang ikut bersanding di kertas tak bersalah itu.

Aku laki-laki. Punya harga diri, dan sekarang Aku adalah anggota dewan daerah terpilih, rekom sebuah partai besar. Lima tahun akan datang berpeluang besar menjadi seorang Bupati, atau melenggang ke areal pusat. 

Wajahku akan wara-wiri menghiasi layar kaca, laki-laki termuda dalam kancah perpolitikan.

"Brian." Itu suara mama. Aku menemukan senyumnya di balik pintu sebelum menyahut panggilan.

"Ada tamu di bawah, kamu sudah buat janji, atau itu tamu dadakan?"

"Bilang aja tunggu, Yan mandi dulu, bauk acem nih." Mama mengangguk mengerti dan kembali ke bawah.

Tentang mimpi itu, aku bermimpi Mhita. Baiklah, akhirnya harus kembali kuceritakan. Nama gadis itu Mhita. Mirip sekali dengan hantu, karena berhasil menghantuiku.

Ya, Mhita sigadis penakluk kaum Adam di zamannya. Aku bermimpi Mhita membawakan semangkuk bakso beranak, yang dijual di depan sekolah Karya Bangsa. Entah apa tafsir dari mimpi unfaedah itu, mungkin karena hujan dan dingin, bawaan lapar jadi mimpi bakso. 

Aku menyimpulkan sendiri, Bukankah sudah lama move on, dari sosok yang harus segera dilupakan. Mhita hanya bagian masa lalu untuk dinikmati kenangan berlalu. 

Alay banget ingat Mhita dengan memimpikan bakso. Udah gak zaman, kan! beli majalah hanya buat nyari tafsir mimpi. Lebay. Mhita buakn siapa-siapa. Titik tidak pakai koma.

Mhita. Aku merutuk menyebut namanya. Perempuan yang tidak akan kubiarkan mengganggu kehidupan ini lagi, sekolah Karya Bangsa adalah tempat kami dahulunya menimba ilmu.

 Mengingatnya sama dengan kembali mengoyak luka hati dengan sayatan di sana-sini. Aku yakin, ini cuma mimpi kan?

"Hai otak, berhentilah berpikir tentang Mhita!"

Ingin rasanya mengutuk otakku sendiri. Sudahlah, bukankah mimpi itu kumbang tidur?

Rintik Hujan sedari pagi membasahi bumi, enggan untuk pergi walau sejenak membiarkan aroma tanah basah menusuk penciuman. Biarkan. Bukankah udara sejuk lebih menenangkan untuk dinikmati?

Daripada ornamen memori ini memikirkan istri orang. Ya, benar. Bukankah dia sudah memiliki lelaki yang kini bergelar suami.

"Hai, Sam!" Aku menepuk tamu yang sudah kering menunggu kedatanganku yang lelet sebab mandi yang kelewat bersih.

"Kamu mandi atau buat kamar mandi?" tanya Sam geleng kepala.

"Garing," balasku ngakak.

"Brian, Sam, ini baksonya udah mama siapin. Makan dulu. Dingin-dingin kayak gini cocok banget makan bakso." Mama menaruh nampan berisi bakso beserta staf-stafnya di atas meja.

"Bakso?" Keningku mengerut.

"Iya tadi Sam bawain bakso, katanya abis dari Karya Bangsa, tempat sekolah kalian dulu lo, Yan. Ada yang baru jual bakso di sana, rame banget. Namanya bakso beranak, aneh sih namanya, tapi rame ya, Sam?" Lirik mama, masih berceloteh.

"Benar banget, bikin penasaran. Kabarnya viral di medsos, daripada bikin penasaran,  mending beli, ternyata baksonya cuma satu tapi besar, dalam bakso besar itu kalo dibelah ada bakso kecil-kecil, kreatif banget yang buat, pantas viral," jelas Sam panjang kali lebar.

Aku bergidik, memegang leher belakang aku menghembus napas bingung, bukan bakso yang jadi masalah. Tapi, mimpiku, mimpi yang kembali menghantui. 

Apa hubungannya? Baru saja aku bermimpi dan sekarang mimpi itu menjadi kenyataan. Apakah Mhita yang berjualan? 

Walau bukan Mhita yang membawakan tapi kenapa Sam membawa bakso yang persis dalam mimpi. Ini untuk pertama kalinya Sam membawa bakso ke rumah, sekurun waktu aku mengenalnya. 

Sam bukan teman yang hobi bawa makanan saat berkunjung. Apalagi bakso.

Ada apa ini? Bakso, Sam, dan ... Mhita? Otak oh otak. Aku lelah. Jangan bawa gumpalan putih berbuntal ini untuk berpikir layaknya petualang games, please!

"Gimana persiapan kita, Yan." Sam memasukkan bakso ke dalam mulutnya santai, mengingatkan tujuan ia datang ke rumah. Aku tersentak, tertangkap melamun panjang.

"Alhamdulillah, sudah tujuh puluh lima persen ready, untuk dana kampanye kita--aman. Tenang, Sam. Kali ini kita akan gandeng pengusaha Bali. Pak Surya Sakti Wijaya." Aku menyebut nama, kembali ke persoalan awal. Hentikan ingatan pada perempuan itu sejenak.

"Surya Sakti Wijaya. Pria campuran Jawa dan Singapore, Owner Hotel Rinjani, pemilik tunggal water Park Rimbe, plus puluhan cafe sepanjang pantai liliput." Sam menyebut tepat profil pengusaha yang akan kuajak kerjasama.

"Kita harus menang Sam. Wilayah Kabupaten wajib kita taklukkan. Bergerak dari sekarang atau membiarkan lawan memukul dalam diam--tanpa ampun." Aku menggigit urat bakso sesekali menenggak jus jeruk hangat buatan mama.

"Ramadhan di ambang mata, apa positif kita bergerak?" Sam terlihat ragu.

"Justru karena Ramadhan di depan mata, ini waktu yang sangat tepat mendekati masyarakat door to door." Jawabku mantap. Sam tersenyum mengerti.

"Kau jenius. Sayangnya jodoh kelamaan." Statement nyaris candaan, tapi mampu menghadirkan kembali sosok Mhita dalam perbincangan.

"Kau juga bisa hadirkan Melisa di acara kampanye. Dia bisa kita jadikan penumpuk Followers, gandeng tiap live." Sam memberi Ide.

Melisa. Cantik rupa, muda dan smart. Gadis berstatus model pemilik puluhan juta followers meskipun bukan selebritis. Hatinya selalu mengejarku. 

Padahal begitu banyak fans yang mencoba mendekat. Sekadar mendekat Melisa tidak mau, apalagi untuk dibawa serius. Tapi, aku tahu gadis itu jatuh cinta padaku. 

Persetan dengan cinta untuk saat ini. Aku harus menaklukkan ibukota. Baru memikirkan wanita.

Tapi Sam tidak salah, menggandeng Melisa satu saran yang super baik untuk menggaet para milenial. Sam jenius. itulah gunanya berbagi dengan sahabat. ide-ide jitu akan keluar. Aku harus menang.

"Kau tidur sini aja, Sam. Besok ada agenda ke Bali. Ini agenda besar. Kesempatan untuk kita langsung bertatap muka pada pak Surya. Mama punya teman baik di Bali. Kurasa bisa membantu kita bertemu Surya."

"Cocok." Sam mengacung Jempol.

Gerimis di luar masih ingin bermesraan, Hangat dari kuah bakso terasa nyaman saat kutelan. Pikiranku masih terganggu. Apakah ada hubungan semua ini.

 Jantungku berdetak berdesir selama prosesi makan bakso hingga tandas tak bersisa.

"Tumben kamu makan baksonya sampe abis. Enak ya. Kalau enak mama mau besok beli ke Karya Bangsa buat stok mana tau masak sup wortel kesukaan kamu." Mama memijit keningku berakhir mencubit pipi.

Brian lelaki muda dalam kancah perpolitikan, masih hidup di bawah ketiak seorang ibu. Statement isu yang sering digaungkan. Tapi, aku akan terus berjuang, cita-cita menjadi seorang Bupati hanya sekelumit kecil dari cita-cita untuk direalisasikan menjadi kenyataan.

Baiklah. Sepertinya keberangkatan kali ini menuju Bali harus benar-benar matang.
Mataku menangkap benda pipih bergetar di meja. Berulang kali notifikasi pesan WhatsApp, bahkan ratusan. Abaikan sejenak.

Cukup jatuh pada pertama aku tak ingin terulang untuk yang kedua, jodoh itu sudah bertakdir pada skenario belaka, kita hanya menjalaninya. Tidak ada yang bisa melintas, takdir jodoh dan maut hanya Tuhan punya kuasa.

Hal itu juga yang selalu jadi motivasiku.
Yakin suatu hari Tuhan mengirimkan wanita yang pas dan pantas, seumur hidup mendampingiku. 

Kelak bisa mengurus mama janda yang punya cinta sejati untuk papa, di hari tua tanpa siapa-siapa, di situ aku ingin mencari istri kriteria menantu idaman mertua, kelak mampu bukan hanya mendampingiku tapi juga mama. 

Saatnya suatu hari akan tiba, di mana, sosok surgaku itu tak lagi bisa berbuat apa-apa.

Calon istri siap meniti hidup bersamaku yang hanya punya satu saudara. Maka, jika ia mencintaiku, wajib mencintai mama juga, dengan kadar yang sama.

Ah Andai itu Mhita, semua ada padanya. Tapi ia tega meninggalkan ruang purna di dada tanpa kabar berita, menghilang setelah menoreh luka pada lembar jemputan undangan akad nikah, di hari setelahnya.

Kini, wanita itu entah di mana.

"Jam segini baksonya udah habis gak, Sam? Mama mau ke Karya Bangsa beli stok buat besok masak sup wortel." Mama menenteng tas rajut seperti hendak pergi.

"Belum, tadi Sam sempat nanya jam berapa tutupnya, Ma, kayaknya sampai malam."

"Emang ada yang jualan sampai Malam?" Tanya mama heran.

"Bakso yang dijual depan Karya Bangsa itu, Ma. Gak masuk komplek sekolahan, kalo tidak salah yang punya namanya Yasmin."

Klukkk.

Hampir saja bakso sebesar pingpong itu tertelan.

Yasmin?

Naura Sasmhita Yasmin. Dia kah?

*

lanjut komen ya gaes.

Jangan lupa subscribe n bintang lima.
Baca juga:
Yuk, Rujuk
Kubeli Suamiku dari Keluarganya
Tujuh Belas Purnama
Cinta Tak bersyarat
Catatan Luka Pahlawan Devisa