Selesai.
Aku menutup saluran telpon dengan Kak Sena. Kepalaku berdenyut. Bingung dengan semua ini. Mulai dari mimpi aneh. Bakso beranak pemberian Sam. Nara Sumber yang mirip.
Plus ditambah berita dari Kak Sena. Ada apa? Apakah pikiranku saja yang menghubung-hubungkan tiap kejadian. Firasatku tak nyaman. Adakah sesuatu terjadi pada Mhita? Menghilangkan pikiran yang merajai sepertinya aku butuh rileksasi.
Sejenak membuang penat, wisata kuliner adalah pilihan yang tepat, Ucok durian Medan sepertinya lezat, siapa tau jumpa jodoh di sana.
Bullshit. Udah. jodoh lagi kan! Boni dan Sam membawaku ke tempat yang mantap. Hari ini, Hari terakhir Boni berada di Medan.
Sam sudah memberitahu, Jalan-jalan bersama Boni adalah salah satu menutupi curiga agar Ia tidak mengetahui rencana pencalonanku jadi lawannya.
Aku membolak balik layar gawai, begitu malas membalas chat para penggemar alay. Mataku menangkap chat mama.
(Yan. Mira di rumah. Bisakah kamu menelpon mama?)
Tidak berjeda aku langsung menekan tombol nomor mama.
"Assalamualaikum ma. Mama sehat?"
"Kurang Yan, malarindu sama bocah kecil mama." Tawa mama renyah di seberang.
"Ma. Yan sudah besar, jangan dipanggil bocah lagi donk." Rengekku tak sedap mendengar mama menyebut bocah kecil di usia yang kepala tiga lebih empat telinga.
"Atau kamu pengen mama panggil adek kayak waktu kamu kecil?"
"Mama. Udah donk. Tadi katanya Mira di rumah, ada apa tumben Mira main ke rumah?"
"Udah pulang, hmmm katanya kalian sudah putus, benar, Yan?" Selidik mama bertanya.
Aku menarik nafas paksa. Mama pasti mendengar semua dari Mira. Tidak salah memang, sewajarnya Mira pasti sakit hati, perempuan mana yang tidak sakit hati saat tahu seorang lelaki yang akan menjadi pendamping hidup justru masih menyimpan rasa pada mantannya.
"Yan ...."
"Mira cerita apa ke mama?"
"Tidak cerita apa-apa kok, mama ingin melihat kamu bahagia nak, menikahlah! Apa kamu mau menikah setelah mama tidak ada lagi di dunia ini? apa kamu tidak ingin melihat mama menggendong cucu? Siapapun dia, yang penting baik untuk kamu. Mama setuju. Menikahlah!" Lirih suara mama sendu.
Aku terdiam. Air es rasanya merembes menusuk jantung. Permintaan mama setiap detik. Menikah. Tapi kali ini, suaranya menyiratkan kesedihan.
Tiba-tiba perasaan takut mulai hadir mengganggu pikiran. Andai benar usia mama tidak lama, dan tak bisa kupenuhi permintaannya, lalu mama. Tidak. Aku tidak mau mama pergi secepat itu. Mama masih muda, perempuan lebih setengah abad itu harus melihat pelantikan anaknya sebagai Bupati.
Terlintas wajah Mira yang tak berdosa telah ku sakiti.
Mau kah dia kembali? setelah kejadian tinju melayang di wajah Retno hanya karena mereka mengomentari Mhita. Melisa skait hati. Sakit pasti.
Setelah itu aku menemukan Mira, gadis cantik tidak kalah secara fisik dengan Melisa. Turunan kaya raya, Gadis semata wayang. Sama sepertiku. Namun sayang, Candaan Sam di kantor saat jam makan siang, akhirnya benar-benar membuat aku kesal setengah mati pada yang namanya Mhita.
Saat itu, Mira datang dengan pizza kesukaan untukku. Senyumnya menyapa semua orang, aku tidak mengetahui kedatangannya. Tapi, semua orang mengetahui. Sam mengambil pizza, lalu meletakkan di atas mejaku.
"Dari siapa?" Tanyaku heran.
"Mhita," Jawab Sam. Membuat aku langsung berdiri. Membuka Pizza segera. Berharap ada sesuatu di dalamnya, menunjukkan keberadaan Mhita.
"Tapi, boong." Ucap Sam tertawa terbahak. Saat melihat rona serius dari wajahku.
Sayangnya ekpresi wajahku itu tertangkap Mira yang cerdas. Ia berlari keluar kantor dari balik pintu tempat bersembunyi. Wanita selalu punya signal wanita. Aku berlari mengejarnya.
"Maafin aku, Yan. Aku kira kamu sudah move on. Aku yang salah, aku belum bisa berada di hati kami seutuhnya, di sana masih ada Mhita tersimpan."
"Mira, kamu salah paham." Aku berusaha menahan tangannya dengan pergelangan jam mahal melingkar kala membuka pintu mobil.
"Iya, aku emang salah paham. Sangat salah. Salah mencintai orang yang masih terlelap dari masa lalunya." Entah mengapa kalimat Mira menohok jantungku. Aku justru tidak suka dengan kalimat itu. Tidak suka karena Mira yang mengeluarkan dari bibirnya.
Aku benci. Benci bukan karena tidak bisa move on. Bukan pula karena dianggap terlelap dalam mimpi. Tiba-tiba aku tidak suka cara Mira berbicara. Ia seolah tidak suka Mhita.
"Kalau Mhita mencintaimu dia tidak akan meninggalkanmu, ini dunia nyata Brian. Bukan sinetron India, kamu jadi lakon seolah pecinta sejati yang menanti seorang oerempy perfeksionis nyatanya dia hanya seorang istri orang."
"Baru pertama kali aku mengenal pria yang menunggu janda seseorang berstatus istri. Padahal kamu punya segalanya, aku tidak suka bersaing dengan Mhita yang sangat tidak sebanding denganku. Hanya seseorang dari masa lalumu, penghianat, hilang di telan bumi, ketika kutahu dari orang lain, dia hanya seorang cewek cerdas tapi tak punya tampang fashionable. Wajahnya sangat biasa, bahkan aku bisa membandingkannya dengan Ratih anak pembokat di rumahku."
Plak. Aku menampar hatiku sendiri.
Entah mengapa tiba-tiba aku tidak suka Mira. Tidak suka cara ia bercerita tentang Mhita. Aku melepas pergelangan tangannya yang masih menempel.
"Kita putus." Kalimat itu, akhirnya aku keluarkan. Mira melotot tak percaya. Membanting pintu mobil. Menstarter dan berlalu dengan kecepatan gas.
Sekarang mama bilang dia ada di rumah.
Siapa lagi kucari? aku tak punya stok untuk dijadikan istri.
"Yan .... "
"Mama tenang aja, Yan akan segera menikah bulan depan, in sya Allah, segera Yan akan pulang, doain semua lancar." Mendadak aku memutuskan.
"Doa mama menyertai kamu, Nak. Mira kah calon kamu?" Tanya mama memastikan.
"Jika menurut mama dia baik, Yan akan rela menikah dengan siapapun pilihan mama, yang terpenting mama bahagia, kebahagiaan mama, kebahagiaan Yan juga," Ucapku hati-hati.
Tanpa bisa mencegah bulir bening mengalir jatuh menyentuh durian yang belum sempat kutelan.
"Mama setuju kamu menikahi Mira, gadis itu sangat mencintai kamu, bahkan acapkali kemari menemani mama walau hanya sekedar membuat bolu." Aku terdiam lama mendengar penuturan mama.
"Ya, Ma. Mira memang gadis baik. In sya Allah Yan akan menikah dengan Mira. Jika keluargany setuju dan mama setuju," Jawabku serak hampir tak terbendung.
Apalagi yang hendak kukatakan?
*
Mhita.
Apa yang terjadi padamu? Tidak bisakah memberitahu, Mengapa semua seperti teka-teki yang mempermainkan otakku.
Aku akan menikah, aku akan menikah, aku menikah Mhit!
Mau kah kau datang untuk terakhir kalinya? Aku hanya ingin melihat kau baik baik saja.
Menikah itu sesuatu yang sakral, menyempurnakan setengah Dien. Menyempurnakan keimanan.
Begitu pesan Kak Sena, Mhit ... jika aku tak lagi bisa bertemu denganmu, tunjukkan keberadaanmu. Sekali saja. Yakinkan aku, kalau kau baik-baik saja. Please ...
Aku merindukanmu Mhita. Cerocos kepalaku tak jelas. Aku merasa kau sedang tidak baik-baik saja.
"Yan ... kamu baik-baik saja."
Boni menepuk bahu, menjulur tisu, ah! Durian lezat tak lagi bisa dinikmati.
"Benarkah kau akan menikah?"
Aku mengangguk mendengar pertanyaan Boni. Pastinya Boni mendengar pembicaraan aku dan mama.
"Aku akan menikahi Mira, pasti dia mau, secara kami pernah pacaran," Ungkapku menjelaskan setelah sanggup menetralisir guncangan hebat, entahlah tiba-tiba nyeri terasa di ulu hati.
Boni mengenal Mira dengan baik. Siapa yang tak kenal dengan keluarga kaya raya seperti keluarga Mira.
"Aku yakin Yan, setelah menikah kau akan melupakan cewek yang kau ceritakan itu segera." Boni kembali menepuk nepuk bahuku. Memberi kekuatan pada satu keputusan besar dalam hidup.
Mira wanita yang baik. Berpendidikan, dia juga menyayangi mama, Keluargaku juga mengenal keluarganya, bahkan sudah sangat akrab dengan mama. Setelah berbulan-bulan tak komunikasi, dari cara mama membicarakannya, kehadirannya di rumah, aku yakin dia masih sangat mencintaiku.
Walau hati kecil ini, sangat tidak bisa kupungkiri. Belum rela ketika lidahnya berkata, memberi penilaian tentang sosok Mhita.
Kami seumuran, tidak ada yang salahkan? Wanita karier, aku sangat percaya dia bisa mengimbangi cita-cita tertinggiku. Calon Bupati dua periode yang akan melanglang buana ke Senayan setelah habis masa jabatan. Kemudian bergerak menuju kursi kementerian.
Petarung muda di kancah perpolitikan.
"Sudahlah. Makan tu durianmu. Nyesal entar kalo dah nyampe Bandung gak ada selezat durian Medan." Sam mencairkan suasana.
Aku mengambil durian yang dibelah Sam, matang sempurna, kuning keemasan, harumnya sudah menggugah selera. Rasanya jangan tanya, maknyuss. Tidak salah jika kota ini digelar kota kuliner, karena terkenal dengan duriannya yang super lezat.
Berbincang santai hingga jam menunjukkan angka sembilan. Malam, Aku dan Sam pamit pada Boni. Seperti biasa, lelaki Flamboyan itu mencari mangsa baru di kota seribu etnis ini.
Lebih baik kami melaksanakan agenda yang tertunda. Bertemu dengan Mister Surya Wijaya. Daripada harus mengikuti ulah playboy Boni.
*
"Yan. Kita sudah buat janji dengan Mister Surya di lembur Kuring. Ia hanya punya watu dua jam bertemu kita." Sam memberi penjelasan.
"Oke. Apalagi ditunggu. Ayuk Cuss lembur Kuring."
"Persiapan kita sudah fix, kau harus bisa melobi dia Yan. Ini pekerja serius. Mister Surya bukan orang sembarangan." Sam pesimis sebelum beraksi.
"Tenanglah, anak wanitanya pun bisa kita buat jatuh cinta." Tawaku menyembur, menular pada Sam. Kami terbahak.
Beberapa menit dari Ucok Durian, kami sampai ke restoran Lembur Kuring. Sam sudah memboking ruang VVIP untuk pertemuan. Kami langsung mengambil posisi menuju ruangan tersebut.
Semburan dingin AC menyentuh kulitku, Ruang dengan meja bundar melonjong berkapasitas enam belas orang. sengaja di desaign seperti ruang rapat. Tertutup kaca kedap suara.
Sam mengambil posisi duduk di tengah. Kursi berlapis kain hijau lumut dengan motif ukiran batik kerajaan. Menambah suasana begitu elit terkesan angkuh. Sekitaran beberapa menit dari waktu menunggu. Aku melihat sosok lelaki enam puluhan itu berjalan di iringi dua wanita bercadar.
Waww ... Suprise. Perdana dalam perjalanan politik, aku bertemu pengusaha sukses. Orang terkaya nomor dua di Bali, Pemilik saham terbesar perusahaan penerbangan, justru didampingi perempuan bercadar. Bukan cewek seksi seperti kebanyakan.
"Selamat Malam Sam ... Brian." Pria dengan seluruh uban di kepala, dan suara medok Inggris terlihat jarang berinteraksi dengan bahasa Indonesia menjulur tangan ramah. Di luar ekspektasi yang berkembang, bahwa beliau sosok yang sombong.
"Perkenalkan Brian. Ini Asisten saya." Aku memicing mata melirik Sam. Yakin apa yang ada dipikirannya sama sepertiku.
Asisten. Kirain Ajudan seumur hidup. Aku tersenyum miring.
"Yang satu Asisten Saya. Namanya Rianti. Segala sesuatu tentang perusahaan saya, Ia adalah kepercayaan pengelolaan," Mister Surya tertawa ramah. Gadis itu mengangguk sopan menghadap aku dan Sam.
"Sedangkan Ini ... " Tunjuk Mister Surya berhenti sejenak.
Pelayan membawa pesanan minuman. Cemilan gorengan ala Kuring. Menanyakan pada semua hendak memesan 'apalagi' sebelum ia berlalu. Mister Surya memberikan lembar menu pada dua perempuan yang mendampinginya.
Aneh. Apa aku yang baper seperti para perempuan. Atau memang wanita yang belum dikenalkan itu takjub melihat wajahku. Apakah kolega Mister Surya tidak ada yang tampan sepertiku? pandangan matanya walau tertutup cadar sangat mengganggu.
Darahku berdesir tak karuan. Tumben pesona cewek bercadar mampu menciptakan desir aneh ini.
"Oh iya saya sampai lupa. Ini Mhita, Keponakan saya yang menjadi owner tunggal gerai-gerai bakso di luar negeri,"
Busssh ... mendadak Air Jus yang baru saja mengairi tenggorokan menyembur keluar.
"Mhita."
Apa hanya aku yang mendadak ambigu?
*