Hari ini aku dan Sam hendak berangkat menuju Bali. Pertemuan penting dengan beberapa kolega koalisi. Sekaligus bincang santai penuh trik yang telah dirancang untuk pengusaha besar Surya Wijaya.
Bali memang dunia para pebisnis dan surga dunia, politik itu bisnis bagi mereka yang mengerti antara bisnis dan politik, bagai mengaduk adonan berpengembang maka yang dilakukan adalah wajib kalis.
Koper besar sudah siap masuk bagasi, banyaknya koper seakan hendak minggat, membuat mama masih saja mengingat-ingat apa yang belum dimasukkan.
Mengecek ulang satu persatu, kemudian tersenyum mengulum saat melipat pakaian dalaman, merapikan ulang pada laci di bagian atas koper, terkadang tertawa kecil, bagi wanita yang tetap cantik di usia tua itu, aku masihlah bayi mungilnya.
Senyum mama makin merekah, menempel indah pada wajah yang termakan waktu, duduk bersimpuh di depan koper, entah apa yang perempuan tangguh itu pikirkan?
Mengenang masa kecil kami saat ayah masih adakah? atau merindukan kakak kandungku.
Anak gadisnya yang nun jauh di Kalimantan, raut senyum itupun berubah menjadi sendu.
Netra lurus menatap nanar, ada sedih yang ia coba menyimpan. Aku mendekat, menatap paras wanita yang hanya mengeluarkan dua bayi sehat pada kehidupannya--aku dan Kak Sena.
"Yan, kalo sudah sampai Bali jangan lupa telpon mama! Kamu suka kebiasaan nyampe ngak ngasih kabar. Mama Kawatir"
Mama berceloteh sambil kembali merapikan beberapa helai kain yang tersembul keluar koper. Menarikku mendekat.
Mengelus lembut kepalaku. Menahan liquid bening yang hendak tumpah bergulir di pipinya sungguh masih ketat dan awet muda.
"Nak, bolehkah mama meminta?" wajahnya sedari tadi sendu berubah tertunduk mengiba--aku meringis. Menoel hidung mama sebelum ada bening yang menyembul.
Mengangguk agar ia melanjutkan kalimatnya.
"Jangan partai aja yang diurus. Ingat umur kamu sudah tiga puluh empat. Mama pengen kamu juga memikirkan diri kamu sendiri. Kalau mama mati siapa yang akan menggantikan mama mengurus kamu?"
Belaian lembut di bahuku, sandaran kepala mama sambil lagi dan lagi, pesan permanen selalu didengungkan. Pesan abadi setiap aku berpergian. Istri. Brian kapan kamu menikah? Brian kamu nge fans sama Rocky Gerung ya? Apa hubungannya? itulah mama.
Hidup sendiri berteman Pok Minah pembantu kami, kutahu mama kesepian. diajak ke Bali, hanya gelengan sebagai jawaban.
Jika ditanya oleh-oleh yang akan kubawa setiap pulang dari luar kota. Mama akan menjawab. Ia hanya butuh menantu.
"Tenang, ma! tiga tahun lagi Brian merid kok."
Kupastikan mama melotot. Kini, mama yang menoel hidungku.
"Kamu mau menikah di umur tiga puluh tujuh tahun?"
Mama menekan kalimat tiga puluh tujuh, tanda tak setuju.
Aku mengangkat bahu, mencipta reaksi gusar berakhir cubitan sadis menghampiri pada pinggang.
"Ya, udah deh. Brian nikah umur empat puluh aja. biar masih enam tahun lagi di urus sama mama, deal kan?"Ucapku memamerkan jempol.
"Brian!" Teriak mama sambil menyatukan gembok koper. Menggeleng kepala, senyum kecil bercampur kesal terpamer dari wajah awet mudanya.
Mamaku tersayang, berstatus janda terawet yang pernah aku kenal. Pemilik dua anak super berbakti. Laki-laki dan perempuan, aku dan kakak tercinta yang berprofesi sebagai Psikiater di pulau Kalimantan.
Namanya Sena, perempuan bercadar, yang kuketahui punya ibadah super rajin, wajah cantik, otak encer, tapi malah menikah dengan kuli bangunan.
Tapi mama tidak pernah menjodohkan apalagi melarang, dengan siapapun pilihan putra-putrinya. Itulah mamaku, mama millenial, smart, baik pada semua orang, berhenti bekerja setelah aku menjadi anggota dewan. Mama masa kini, dengan pola asuh demokrasi.
"Oh ya ma, kak Sena udah ngasih kabar belum?-- katanya kan, Minggu depan mau kemari?"
Tanyaku mengingat pembicaraan kemarin dengan kak Sena.
"Minggu mereka berangkat, kamu--kan, sepuluh hari di Bali. Mana bisa ketemu sama Sena." Jawab mama mengejekku yang sok super sibuk.
"Bilangin Kak Sena, tungguin Brian pulang, baru kak Sena balik ke Banjar! Brian kangen." Perintahku manja.
Kalau di dekat mama, nilai kelaki-lakian, maskulinisme seakan lenyap bersembunyi. Aku masih Brian yang mellow, Brian kecil yang hidup sederhana tanpa mengenal kehidupan hedonis, hingar bingar metropolis. Kasih sayang natural kudapatkan penuh dari mama.
"Kalo Sena mau nungguin kamu, telpon donk kak Sena." Jawab mama sekenanya, karena lebih fokus ke barang bawaan, takut masih ada yang tertinggal.
"Udah ngak da yang ketinggalan barang barang kamu, berkas atau yang lain? Bali jauh Lo." Tanya mama sambil terus mengamati tiga koper besar yang akan ku bawa. satu berisi baju, dua berisi pernak-pernik kebutuhan, ketiga berisi berkas-berkas penting.
"Sip. Semua oke." Jawabku yang memang sama sekali tak pernah ambil pusing dengan hal "tetek bengek" perjalanan. Sam lebih mengetahui semua keperluan dalam perjalanan politik ini. Aku lebih suka menyerahkan pada Sam segala sesuatu yang akan dilakukan.
*
Sam berdiri antara aku dan mama, sama-sama lajang acapkali mama mendelik kerjasama persahabatan kami. "Jangan sampai jeruk makan jeruk Lo" pesan mama kala itu dengan mimik bersenda.
Beberapa bulan lagi Sam melepas masa lajangnya. Itulah sebab mama selalu memaksa agar aku mengikuti jejak Sam secepatnya.
"Ada apa Sam?" Mataku menangkap ada sesuatu yang terjadi.
"Mister Surya sedang berada di Medan. Beberapa kolega memutuskan pertemuan diadakan di Medan." Sam menjelaskan.
Kami harus berangkat ke Medan, Sumatera Utara. Perjalanan politik itu tidak terduga arahnya, baru hendak berangkat ke Bali, mendadak tiket mahal hangus.
Begitulah.
"Oke. Tidak ada masalah. Kita terbang ke Medan." Jawabku.
"Tiket sudah. Tapi ...." Jeda Sam pada kalimat.
"Sebelum bertemu beberapa agenda pertemuan yang kita rencanakan. Seminar Revolusi mental yang diagendakan untuk para anggota dewan di komis X pagi besok sudah harus masuk ruangan. Siap Yan?" Aku tertawa kecil.
Mengira apa yang hendak dikatakan Sam. Ternyata hanya seminar itu.
"Gampang itu. Kita pasti menghadiri seminar. Setelah selesai, laksanakan agenda khusus kita. Sudah menghubungi Mister Surya?"
Sam mengangguk. Selesai.
**
Pesawat mendarat, malam mendekati pelataran kumandang azan Isya. Akhirnya sampai juga ke kota Medan. Setelah menunggu sekian jam delay, karena kami bukan orang yang royal membeli tiket pesawat.
Kelas eksekutif bisnis dengan lima kali lipat harga, mending kusumbangkan pada rumah-rumah yatim disekitaran tempat tinggalku.
Aku peduli mereka, karena sedari kecil sakit tak memiliki ayah adalah luka kenangan terkucil di keramaian.
Sejak Mhita si pemiliknya mata indah itu hadir saat celaan putih abu menempel aku move on dari seorang ayah yang dipanggil Tuhan sebab jantung koroner.
Kaki melangkah menuju kamar yang telah diboking lebih dulu, bernafas lega, jetlag--kubanting tubuh pada kasur empuk, Sam pergi ke bawah mengambil ID untuk masuk ruangan seminar esok pagi.
Sepertinya berendam sebentar di air hangat adalah pilihan yang baik. Badan pegal-pegal walau tak ada kerja berat yang kulakukan. Aku menyambar handuk yang sedari tadi menyembul keluar saat membuka koper.
Melangkah menuju kamar mandi, mengisi bathtub dengan menabur sedikit herbal alami sebelum berendam santai, wanginya... Herbal kiriman dari kak Sena. Terapi penenang jika letih menyerang. Tunggu! Ada sesuatu di wangi itu.
Kenapa herbal yang ku beli mendadak berbau parfum Mhita. Belasan tahun aku masih mengingat wangi parfumnya? Damn It.
Lalu dia? secuil tak pernah mengingat tentangku.
Padahal Kak Sena memberi rerempahan alami, Mhita lagi? Apa yang kulakukan. Mikirin istri orang. Tidak. Beberapa tahun ini aku tidak pernah memikirkannya, sekarang kenapa mendadak setiap saat ada hal-hal yang membuat aku mengingat perempuan jahanam itu.
Jahanam? ah, kejam sekali istilah dari kejahatannya, Ia hanya meninggalkanku, meninggalkan sayatan perih di hati, luka yang setiap saat koyak tanpa darah.
Sungguh menyakitkan, berjodoh dengan orang lain. Sudah takdir. Tak pantas kata jahanam untuk dia. Bagaimanapun kami pernah saling mencintai.
Aku kembali berendam, menikmati aroma rerempahan alami dan hangatnya air menyentuh kulit. Mengingat kejadian di ruang tunggu bandara aku melihat anak kecil main tembak-tembakan, sepertinya mereka kakak-beradik.
Si kakak meletak buah apel mainan yang terbuat dari plastik di kepala sang adik, dan menembaknya dari jarak dua meter, buah tersebut terjatuh, si kakak tertawa riang merasa menang. Gantian si adek melakukan hal yang sama.
Kejadian itu persis sama yang aku dan Mhita kerap lakukan. Bedanya, yang kami pakai bukan tembakan mainan. Tapi senapan angin gejluk. Aku meletakkan sebuah jambu di atas kepala Mhita.
Dari jarak cukup jauh menembak jambu tersebut.
Dorr. Kepala Mhita terbelah. Eh bukan.
Tapi jambu menjadi bolong tepat di tengah, dan jatuh ke tanah. Artinya aku berhasil. kemudian meminta Mhita melakukan hal yang sama bergantian, menaruh jambu di kepalaku. Dorrr...dia mahir sekali.
Awalnya Mhita takut melihat senapan, Ia pikir semua senapan itu berbahaya, dan hanya polisi dan tentara yang boleh memilikinya, Ia terkejut saat melihat senapan gejluk di dinding rumah. Kerap ku ajak menyalurkan hobi, aku melatih Mhita dengan target jambu di antara buah sawit. atau Jambu di atas kepala.
"Aku ngak pandai Yan..." Ucapnya kala itu.
"Tenang, ikutin instruksi, pasti berhasil." Jawabku menenangkan.
Ku raih tangannya yang lembut, menyodorkan senapan, memberi petunjuk awal, berdiri pada posisi di belakang Mhita dengan tangan yang melingkar memegang dua tangannya.
Wangi jeruk dari rambutnya menyentuh hidung, lembut sekali, menahan hasrat untuk memeluknya lebih erat.
Siap.
Satu dua tiga...dorr. jambu terjatuh Mhita bersorak riang.
"Berhasil!"
Tiiitt ... Tiit ....
Benda persegi yang sengaja terletak tak jauh dariku bersuit suit. Ah sudah berapa lama aku melamunkan Mhita?
Ada apa denganku? Jika setiap hari begini bisa sinting, padahal aku sengaja tidak datang di pernikahan Mhita.
Tidak ingin sama sekali mengenal calon suaminya, jelas aku lebih segala-galanya, oh ... Tuhan! Move on Brian.
Enyahlah kau perempuan sialan. Aku meraih gawai.
"Hallo."
"Yan, kamu di mana? Tadi aku ketemu Sam, katanya kamu di kamar. Aku dari tadi di depan kamarmu, telinga kamu lagi bermasalah? dipanggil panggil gak dengar."
"Aku lagi di kamar mandi, bentar."
Itu Boni, calon Bupati tahun ini, rating tertinggi di antara kandidat lainnya. Saingan terberat ku. Dua tahun lebih tua dariku, memiliki istri dua walau wajah pas-pasan.
Menyambar handuk dan melilitkan sembarang di pinggang melesat membuka pintu.
"Masuk Bon! tumben ontem," Sindirku mengingat Boni manusia indispliner.
"Hei, Bri, kamu kenal Wiswara?itu lembaga paling laris, berkualitas, netral plus profesional memberi bimbingan, hari ini pertemuan kita di hadiri salah satu narasumber dari Wiswara sebagai motivator, katanya sih pesaing berat Mario teguh. Cewek."
Ooo ... Jadi ini yang membuat Boni ontem sampai ke hotel ini. Penekanan kalimat cewek cukup membuat aku paham.
"Cewek?" Ulangku pura pura bego.
"Janda." Tegas Boni kembali menekan kalimat pada status yang disandang.
"Maksud kamu?" Aku mengerjit. Boni senyum tak jelas makna.
"Kalo kamu gak berhasil dapat gadis mana tau sama janda bisa klop?" Boni ngakak. Aku menoyor bahunya.
Jadi cuma alasan itu dia datang khusus ke kamarku.
"Hei Bon. Asal kau tidak menikung lebih dulu dengan pelet Mak erot, gampang tuh aku dapat." Tawaku menyeruak ruang.
"Kutunggu kau di bawah. Sam juga ada di sana."
"Oke."
Boni menghilang di balik tangga, meninggalkanku tanpa sadar termangu, Mhita? atau Janda keren. Pasti sudah pengalaman. Aku menggeleng, tetiba aku tertawa.
Jiwa lelakiku meronta. Semoga aku tidak akan mengingat Mhita selamanya.
**
Krisannya ditunggu. Ayuk komen yang singgah.
Yang komen paling banyak aku kirimin koin emas