Dia di mana-mana


 

Aku terbatuk kecil saat mister Surya menyebut nama itu. Tiba-tiba matanya memandang aneh ke arahku. Benarkah dia Mhita? Ingin sekali aku memperhatikan lebih jelas dan lebih lama, Pasti aku mengenalinya. Tapi alangkah tidak sopan jika itu dilakukan.

Sam menatap curiga, apakah Ia satu pemikiran denganku?

"Pak Surya, Ini adalah Brian Kamandanu, anggota dewan di komisi ** bla ... Bla ... jabatannya cukup strategis. Saya rasa Bapak sudah mengenal profilnya sedikit." Sam menarik napas. memulai pembicaraan berat.

Mister Surya manggut-manggut. Pertanda Ia telah membaca profil perjalanan politikku.

"Brian Arya Wadyanta cucu satu-satunya dari Kamandanu."

Aku dan Sam saling melempar pandang dan diam. Darimana Mister Surya mengetahui tentang kamandanu sang kakek.

"Brian Arya Wardianta, seorang petarung strategi di Medan politik, caramu aku suka. Silahkan ajukan berkas kontrak politiknya, saya akan tandatangan. Berapapun biaya kampanye serta gaji untuk buzzer agar namamu naik ke posisi teratas. Saya siap tandatangan, saya beri tunai. orang-orang saya siap membantu untuk menaikkan rating."

Shock sekali aku mendengar penuturan Mister Surya. Rasanya ini tidak mimpikan? Kami bertukar pandang lagi dengan Sam. Membaca keambiguan lewat tatapan mata, Kemudian mengerti apa yang harus dilakukan.

Sam mengeluarkan berkas, Mister Surya memberikannya pada Mhita. Gadis itu mengambilnya meneliti setiap huruf yang tertulis di sana, sesekali aku tak sengaja menangkap basah mata itu mencuri pandang ke arahku.

Saat membaca lembar demi lembar halaman perjanjian, kucoba fokus menatap wajah tertutup kain hitam itu.

"Mhita." 

Kalau benar itu dia, "ada yang sakit di sini Mhit."

Selama ini aku tidak mengetahui apapun perihal keluarganya. Tidak pernah bertanya. Karena dahulu cukup Mhita saja di sampingku, sudah seperti berasa di dunia yang berbeda. 

"Bagus, Yang. Lanjutkan! Ini perjanjian sangat layak di apresiasi, kebutuhan rakyat dinomorsatukan," Suara merdunya memecah keheningan. Sam mengulum senyum, Dia menyebut "yang" memanggil kakek tua ini. Jangan-jangan mereka suami istri. 

Otakku dipenuhi hal-hal negatif. Menepisnya segera. Mister Surya dengan santai menandatangani seluruh berkas. Aku tersenyum. Bukankah tadi dia bilang itu keponakan.

"Dalam waktu dekat saya akan bertandang ke Bandung, kita adakan pertemuan di sana. Tunai akan saya serahkan untuk kalian--biar segera action." Tenang, mengalir suara Mister Surya mendominasi ruangan.

Sam menjulur tangan lebih dulu. Kemudian aku.

"Terimakasih Mister Surya, senang bekerjasama dengan anda." Tangan Sam masih dalam genggaman. Senyum terkembang Mister Surya menekan genggaman itu pertanda persahabatan yang tulus.

"Terimakasih." Kini tanganku gantian melakukan hal yang sama. Mister Surya menatapku intens. Gadis bercadar itu hanya menunduk teduh. 

"Semoga anda sukses, dan mendapatkan jodoh yang baik. Seorang politisi sewajibnya didampingi akademisi." Kalimat terakhir dari Mister Surya, memporak porandakan hati.

Apa maksud dan tujuan kalimat itu.

*

Hari ini aku pulang, setelah pernyataan persetujuan, mama sedikit memaksa untuk mempercepat tanggal pernikahan. Mama bilang, Mira dan keluarganya sangat bahagia mendengar aku ingin mempersunting putri mereka.

"Yan. Sini duduk! mama mau bicara."

Aku menurut pasrah, walau mataku masih minta dipejamkan, jetlag setelah perjalanan belum hilang.

"Keluarga Mira itu benar-benar sangat baik Lo ... Yan, mama suka. Kamu tau? bahkan papinya bilang, untuk resepsi, kita tidak usah memikirkan terlalu ribet, papinya akan menyewa hotel bintang lima buat resepsi kamu, luar biasa keluarga itu"

"Jangan ah ma, malu."

"Lo ... Kok? Ngak papa Lo Yan. Papinya bilang kamu dan Mira menikah saja dulu, resepsi akan diadakan nyusul, beberapa bulan setelah resepsi boleh juga, biar persiapan matang. Dan kita pesta besar."

"Mama! Yan laki-laki, kita keluarga sederhana yang baru hari ini sedikit Allah titipkan rezeky, 

Meskipun begitu ma, jangan sampai kita meruntuhkan harga diri di depan mereka yang nyata kekayaannya, jangan sampai kita termakan budi baik mereka sehingga suatu saat bisa mengurung jati diri kita ma!" Jelasku sebal.

Ah, meskipun keluarga itu baik, sebagai politikus muda dengan karir yang baru melejit, aku sama sekali tidak ingin memakan budi siapapun, "tidak ada makan siang yang gratis kecuali di rumah mama" kalimat itu masih menjadi acuanku hingga kini. Calon mertua, calon istri semua harus diwanti wanti.

Mama merenung mendengar kalimatku.

"Yan. Kamu persis papa."

Ucapan mama mengelus lembut kepalaku. Membawa mata beningnya tersenyum menatap wajah ini, kulit telapak tangan yang belum keriput beralih menoel hidung, kemudian mengacak rambut.

"Maafin mama ya, Nak! Terbaik untuk kamu, tentu terbaik untuk mama."

Mama memelukku erat, pelukan yang sedari kecil mampu menyembuhkan penyakit apapun dalam diri ini. Demi mama aku akan berusaha menerima Mira. Bukankah cinta bisa datang seiring waktu.

*

[Siang Mir, dah makan? Yuk makan bareng aku. Kujemput ya]

[Ok]

Setelah chat singkat itu, aku meleset menjemput Mira ke rumahnya. Di depan pagar aku disambut mami Nesha dengan senyum yang tak lekang dari bibirnya. 

Wanita cantik dengan******berseri berdiri mendampingi mami Nesha, siapa lagi kalau bukan calon istriku. Mira.

"Ngak masuk dulu Yan?" Tawar mami.

"Buru-buru mi, udah lapar." Jawabku disambut tawa renyah dari mami.

"Mira pergi dulu ya mi." gadis itu mencipika-cipiki maminya sebelum beriring memasuki mobil jazz milik mama.

Kalau bepergian dekat kota gini aku malas bawa mobil pemberian mama yang ditambah kiriman kak Sena di hari ulang tahunku, Cuma Pajero sih. Lebih asik kalau jalan pakai mobil mama. Santai apalagi berdua.

Mobil berjalan tenang, detik berlalu dalam keheningan.

"Yan, nanti pakaian wedding kita dari butik langgananku, ya? Cantik jahitan disana."

"Dimana tu?" Jawabku sekenanya, aku memang tak mengerti pernak pernik wanita apalagi urusan pernikahan.

"Mhita Collection."

Tittttttttiiiit tiittt.

Tiba-tiba rem, gas dan klakson, kutekan bersamaan. Mobil sedikit oleng, dah hampir melompat jumping.

Mira menatap risau ke arahku, mata lentik hasil eyelash curler tak berkedip meminta penjelasan. Perihal gas, rem dan klakson yang ku tekan bersamaan. Wanita selalu memiliki indera penangkap risau yang luar biasa.

"Yan. Apakah ucapanku mengingatkan kamu sama Mhita?"

"Maafin aku Mir ... ngak sama sekali. Aku cuma--sedikit shock tadi, rasa ada nenek-nenek yang lewat depan mobil kita,"

Jawabku ngasal.

Sialan sekali. Aku benar-benar benci mengingat gadis itu sekarang. Hampir di mana-mana ada namanya.

Hari ini mood-ku jadi buruk. Mira diam sepanjang jalan, anehnya ia justru bersikeras harus hari sesegera mungkin di pergi ke butik Mhita Collection. 

Entahlah, jantungku serasa diremas, berbagai alasan yang ku ajukan tidak menyurutkan niat Mira untuk mendatangi butik itu. Aku belum siap jika yang ada di butik Mhita si hantu yang selalu menghantuiku itu.

"Mira, butik bagus banyak di kota ini, ngak harus itu?"

Mira menggeleng, riak penasaran jelas terlihat dari matanya, ketidakpuasan atas jawabanku tentang rem dan klakson yang serentak tertekan.

Baiklah, aku harus mengkuatkan hati jika pemilik Mhita Collection adalah Mhita si pengkhianat.

Ah, kenapa jadi phobia Mhita?

Dunia ini begitu luas, nama Mhita lebih dari seribu orang, tidak mesti setiap mendengar Mhita, aku harus kabur menghindar. Sampai kapan?

*

Selesai makan akhirnya aku menemani Mira ke butik yang menurutnya sangat terkenal.

Peluh dingin berjatuhan dari dahiku, detak jantung yang tak karuan, mencoba bersikap netral dan realistis, andai itu Mhita yang ku kenal, akan kucoba menyalamnya dengan senyum ramah, dan sekedar say hello menanyakan kabar. Bukankah Mira bukan sosok yang malu-maluin untuk dikenalkan? Justru Mira jauh lebih cantik daripada Mhita. 

"Siang Mbak. Saya Mira, kami mau mbak Mhita langsung yang menangani seragam wedding untuk berdua, apa mbak Mhitanya Ada?"

Pertanyaan Mira membungkam se-isi ruangan. Menimbulkan sangka padaku

"Kemana pemilik Butik ini?" Tanyaku penasaran melihat ekspresi karyawan mereka yang menunduk diam.

"Bu Mhita lagi sakit, Pak? Kita memiliki desaigner yang jahitan dan desaign bajunya sangat baik seperti buatan Bu Mhita, silahkan dipilih mode dan bahan lainnya?"

Sakit? Kalimat itu menghantam naluriku, apakah dia Mhita-ku?

"Sakit apa? Di mana, Apakah Mhita pemilik colection ini, cucu dari Mister Surya pemilik perusahaan di Bali? Apakah Mhita owner anda ituadalah pemilik ratusan outlet bakso dalam dan luar negeri, Apakah ... ?"

"Brian, Hentikan!" Teriak Mhita kembali membungkam seisi ruangan

Mira menyentak tanganku, berlari keluar butik, menangis tersedu-sedu.

*

Aku last control, hilang kendali, semua kejadian membuat aku pening, sakit kepala memikirkan ini semua. Entah mengapa begitu yakin pada apa yang terjadi bukanlah kebetulan.

Ini benar, nyata dan saling terhubung. Aku membiarkan Mira masih sesenggukan. Berdiri di sampingnya tanpa merasa harus membujuk.

Mira menoleh menatapku yang berdiri di sampingnya. Tangisnya semakin menjadi, Ia berdiri dari jongkok, kemudian jongkok lagi, berdiri lagi, jongkok lagi begitu seterusnya sambil mengusap pipinya yang terus mengalirkan liquid-liquid bening. Dan ....

"Yan!" Teriakan kecil Mira menubruk tubuhku, menangis sesenggukan.

"Mir ... Kamu cemburu?" Tanyaku lembut, membelai kepalanya. Tangisnya meriuh rusuh, seperti anak kecil meminta kinderjoy di indomar*t, Sebenarnya aku tidak suka gadis cengeng, sensitif dan baperan seperti Mira. 

Tapi, dia cukup baik. Suatu hari pasti jauh lebih dewasa. Bukankah kedewasaan juga bisa datang seiring waktu, serupa cinta yang mulai terbiasa saling bergantung.

"Jangan tinggalin aku lagi Yan, Aku sayang kamu, Please ..." Suara Mira melunak. Ritme tangisnya mulai berkurang sedikit. Pelukannya semakin kuat, aku membalas menenangkan.

Sadar atau berhalusinasi, aku seperti melihat seseorang berjilbab hitam, menyeka sudut matanya dari balik kaca gorden, menutup segera saat aku melihat.

"Aku juga minta maaf ya, Entah kapan aku gak bikin kamu sakit hati," Jawabku hati-hati, merangkulnya kembali masuk ke dalam butik. Berusaha menepis pikiran yang mulai menggerogoti.

"Kita cari butik lain?"

"Gak."

"Mir,"

"Aku mau di sini!"

"Aku punya butik langganan yang lebih bagus dari ini, Mir!"

"Kenapa, kamu tidak mau di sini, apa masih belum move on dari si Mhita?"

Aku menarik napas sesak. Lagi dan lagi. Kalau bukan karena mama, aku sudah kabur dari sini, mama selalu pesan, "ingat, Yan, wanita itu ingin dimengerti, ngambeknya tanda sayang, cemburunya tanda perhatian." 

Haduh, kalau begini setiap hari, aku blenger, ma.

Aku mengalah, Kami diukur beberapa ahli yang begitu cekatan. Masih menyimpan memori dengan baik, perempuan pemilik sudut mata berair di balik gorden, siapa dia?

Mhita?

Perempuan sialan itu kah?

*

#TBC