Suatu hari setelah belasan hari dilalui, Retno, sahabat Miitha sekaligus temanku juga mendatangiku.
"Andai saja Mhita tau. Kamu begitu mencintainya?" Retno menatap sendu.
Ah. Andai dia tau? Mana mungkin dia tidak tau? Jijik sekali aku dengan tatapan iba retno, egoisku mulai menghampiri. Seperti tak ada perempuan lain, cih.
Lelaki itu egonya tinggi, begitulah aku
"Yan … Tidak kah kau ingin menemui Mhita?" Tanya Retno kala itu.
"Aku tidak tau dan tidak ingin tau dimana dia berada?" Jawabku menahan kesal.
Jawaban yang sebebay kusesali.
Pertemuan yang kurancang untuk agenda kampanye berubah menjadi cerita nostalgia. Yup ... Retno akan menjadi tim sukses.
Sahabatku ini orang terkenal dengan religiusnya, ustadz kondang dengan jutaan jamaah. Sangat bermanfaat di belantika perpolitikan.
"Kalau aku tau dia dimana, apa kau mau menemuinya?"
Lagi. Retno mengulang tanya, setelah berbulan - bulan dari ujung bibirnya yang berdarah aku datang ke rumahnya untuk minta maaf. Kemudian persahabatan itu kembali berjalan normal.
Retno diam, menunggu jawaban.
"Tidak. Aku tidak akan menemuinya, Retno ... Seperti tak ada gadis lain saja. Kemarin itu ... Maaf. Ketika aku meninju mu. Aku khilaf. Bukannya kau sudah memaafkanku? Jangan bilang, hanya gara-gara itu kau menganggap aku selalu mengingat dan mencintai Mhita?"
Retno mengulum senyum menoyor bahuku, pelan.
"Jangan menipu diri sendiri kawan. Kau tak kan pernah bisa lupa dengan Mhita," Ucap Retno tertawa.
"Buktinya aku bisa jalan dengan Melisa. Itu bukti aku sudah melupakan Mhita." Balasku sinis.
Retno diam. Sekian menit Ia menepuk - nepuk bahuku santai.
"Itu sungguh - sungguh dari hatimu. Brian?" Aku menatap Retno tajam. Apa maksudnya?
"Kau tau Retno? Seribu dari Mhita bisa tunduk menggelepar di kakiku. Apa kau lupa? temanmu ini sekarang siapa? Mhita bagiku hanya masa lalu." Kuhempas napas kasar mengucap kalimat itu.
"Hei. Aku hanya belum menemukan gadis yang sesuai dan pantas bersanding denganku dan kau percaya takdir, Kan? Jika nanti aku ditakdirkan jadi Bupati. Mhita itu hanya sebutir pasir yang ditemukan pada sepiring nasi, kalo tergigit tinggal buang." Sambungku sombong.
Kalimat pedas sengaja ku lontarkan, minimal Retno mengerti, aku juga punya harga diri.
Jeda sejenak.
"Esoknya beli beras yang bagus Bro, agar kau tidak akan pernah mengingat pasir yang tergigit itu lagi." Jelasku bersemangat dengan sedikit menyebut profesi yang sangat membuatku bangga hari ini.
Egois memang. Kalimat sarat gengsi. Siapa Mhita? Kalaupun bertemu lagi, jelas tidak akan seperti dulu, mungkin dia menggendong anak? Atau badannya melar kayak emak emak dasteran mirip sinetron yang pemainnya kerap hujan-hujanan.
Terserah deh. Yang penting kami tidak mungkin bersama. Mau kutaruh dimana muka politisiku?
Wajah ganteng, perfeksionis, karir melejit, follower membludak, lima ratus notifikasi pesan dari cewek-cewek millennial. Semua orang mengenaliku. Sosok politisi termuda dan ternama di kancah perpolitikan.
Brian Arya Wardyanta. Cucu lelaki satu-satu nya dari Kamandanu Wardyanta. Mantan angkatan bersenjata yang di segani seluruh negara. Kakek manusia super anti korupsi.
Tidak mungkin aku snag cucu tiba-tiba menikahi janda. Kalaupun nantinya dia janda. Atau istri orang atau … Terserah deh.
Yang penting dia tidak mungkin gadis kan?
"Brian."
Sepertinya kepalaku butuh tempat untuk dibenturkan. Shit!
*
Tiiit tuliiilit…
Benda pipih berkerlip lampu biru bergetar, menggantung ingatan segera hilang.
"Assalamualikum. Brian adikku yang unyuk."
"Kak Sena!" Teriakku seperti anak kecil. Kak sena menelpon. Hal yang tidak biasa ia lakukan, biasanya akulah yang menelponnya.
Sebagai adik yang hanya memiliki satu saudara jelas aku membutuhkan kak Sena, kurun beberapa tahun tak bertemu aku sangat merindukannya.
Merindukan jeweran saat aku membaca alfatiha dengan bacaan amin yang super keras. Merindukan cara ia menguap mengerjakan tugas matematika yang bikin mati-matian membantu membuat tugasku.
Merindukan sosok keibuan itu menasehati dahulu.
"Jodoh itu pilihan yang kuasa Brian. Kamu tidak bisa menghukum wanita yang masih kamu cintai dengan berusaha membencinya."
Kala itu, aku menangis seperti anak kecil menelpon sambil meremas kertas bertuliskan nama Mhita. Meremas kertas tak bersalah itu hingga kunyit seperti hatiku.
"Brian. Apa kamu masih bernapas? Kok diam." Tanya Kak Sena penasaran dengan hening mendadak.
"Kakak jangan pulang dulu ya! Sebelum Yan Balik ke Bandung. Banyak yang mau Yan ceritain ke kakak. Yan kangen banget sama kakak."
"Ashiapp. Adikku yang unyuk. Kakak juga ada hal super penting yang di omongin sama kamu."
"Hmmmm soal apa? Jodoh lagi pasti? Kakak jangan ikutan mama? atau malah sudah konspirasi?"
Aku mendengar Kak Sena tertawa renyah di seberang.
"Bukan. Kakak punya rencana mau buka usaha di Bandung, depan Karya Bangsa kayaknya cocok deh Yan. Tadi kakak kesana. Ke sekolahmu dulu. Ada cewek baik banget sama kakak. Manis deh. Rajin, cekatan. Sangat inspiratif lo Yan."
"Jadi mau kakak jodohin sama Yan?" Berondongku mengerti arah pembicaraan. Biasanya kan begitu.
"Yah. Ge-er kamu. Cewek udah punya puluhan outlet bakso, keren kan? Dan dia berencana mau buka bakso di luar negeri. Kamu tau dimana? Turki!" Teriak Kak Sena mengejutkan gendang telingaku.
"Kakak pengen kamu kayak dia, ngak cuma ngurusin partai, makanin duit negara kalau pun kamu jujur dan anti korupsi kayak kakek, bisa aja lawan yang tidak suka sama kamu menjebloskan dalam penjara. Politik itu kejam yan. Gak kasihan sama Mama?"
Aku sempat kaget mendengar Kak Sena meneriakkan nama negara Erdogan tersebut. Memulai ceramah tanpa judul kerap membuat bosan. Tak lagi pikiran fokus pada suaranya.
"Yan. Kamu masih dengar kakak?"
Tunggu. Apa aku tidak salah dengar. Turki. Kak Sena menyebut Turki. Itu negara impian Mhita. Sial banget. Cewek itu lagi kan.
"Yan...Iyan..."
"Iya kak. Yan dengar kok. Hebat banget ya tu cewek, keren. Ntar bolehlah kakak kenalin ke Yan. Semoga jadi motivasi cikal bakal pengusaha." Balasku bingung cari bahan kalimat untuk di utarakan.
"Ih…siapa bilang mau kakak kenalin ke kamu. Namanya Mhita, dan dia sudah menikah."
Deg.
Sengatan listrik yang tiangnya tumbang di tepi jalan sepertinya melompat pindah ke gawai yang ku pegang. Mhita!
"Mi....Mhita?" Tanyaku gugup memastikan.
"Kenapa? Kamu kenal?" Kak Sena balik bertanya dengan intonasi penasaran.
Ah. Iya kak Sena kan tidak mengenal Mhita, ketika aku curhat pun tak menyebut nama Mhita. Aku hanya bercerita, ditinggal menikah dengan orang yang sudah ku rencanakan menjadi teman seumur hidup.
Sekolah Menengah Atas Kak Sena sudah memilih ikut ke Kalimantan mengikuti Kakek yang dinas di sana. Kemudian kuliah bagian Psikologi di kota yang sama.
Setiap liburan Ia habiskan di tengah hutan Borneo bersama para penduduk pedalaman. dan setelah tamat Ia menetap dan menikah di kampung itu. Kak sena belum pernah berjumpa Mhita, apakah itu Mhita yang dimaksud?
"Hallo. Yan...Yan…kamu masih dengar kakak ngak sih?"
#TBC