Matahari sudah mulai terik meninggi, angin kencang seolah menambah kisruh hari ini. Hiruk pikuk kota yang melelahkan, bunyi klakson mobil yang memekakkan, dan kepulan asap pabrik yang memuakkan memaksa setiap orang menutup hidung mereka dari kejauhan.
Selepas dari perpustakaan, seperti biasa aku mengunjungi tempat paling teduh tanpa asap yang paling kusukai dalam hidup ini. Tempat paling indah yang kujadikan persembunyian setelah pulang dari kampus.
Penatnya hari ini karena tumpukan buku-buku, juga kisah Datuk Maringgi yang Dita ceritakan pagi tadi, membuatku benar-benar lelah. Tapi rasanya semuanya hilang setelah aku memasuki gerbang Masjid Ar-Rahman.
Masjid ini tidak hanya indah dipandang mata, saat aku berada didalamnya aku merasa seperti berada disyurga dunia seribu satu malam, selain taman indahnya yang membentang, suasannya yang menenangkan, juga para pengunjungnya yang teramat menyenangkan. Aku seperti tidak ingin pulang saat berada didalamya, serasa berada dirumah kedua setelah rumahku sendiri.
Dari kejauhan, aku melihat dua anak kembar laki-laki dengan nafas tersengal-sengal berteriak kencang dan berhamburan memeluk ku.
"Look there, kak Yasmiiin......... Heeelp!!"
"What's wrong my twins? Aku merunduk untuk menyamakan ketinggianku dengan tubuh mereka.
"Fadlan aja yang cerita!"
"Gak mau, Fadli aja. I am smarter than you, huh!" Sambil berkacak pinggang anak kecil bermata hijau itu mendelik kearah kembarannya.
Aku tersenyum geli melihat keduanya. Anak kembar identik yang biasa ku panggil Twins itu berebutan bercerita duluan perihal apa yang sudah terjadi pada mereka tadi.
"Well, karena tadi Fadlan sampai duluan. Coba sekarang Fadlan cerita! Ada apa?"
"Tadi Fadlan sama Fadli hampir ditabrak mobil sport kak disana, kenceeeng banget mobilnya, criiiiiiiiiit crassssh!!!"Fadlan memperagakan posisi mobil dan posisi mereka dengan kedua tangannya dengan serius.
"Untung Fadli sama Fadlan pakai jurus pahlawan bertopeng kak, ciaat..... cliing sampai deh dimasjid. Daaan kita selamat tadaa..! hehehe," mereka berdua bersorak kegirangan karena merasa beruntung telah selamat dari kecelakaan.
"MasyaAllah, tapi kalian fine, kan?" Tanyaku cemas.
"Absolutely, pahlawan bertopeng kan hebat kak, hehe," keduanya kompak dengan jawaban mereka.
Aku bernafas lega melihat mereka baik-baik saja. Jalan besar terlihat lengan, kucari-cari mobil sport yang diceritakan anak-anak. Tapi tidak kujumpai keberadaannya, sepertinya ada berapa mobil sport berjejer disana, tapi aku tidak tahu mobil yang mana yang mereka maksud.
Aku mengurungkan niatku untuk mencari mobil itu, anak-anak yang lain telah menunggku didalam. Setelah menenangkan keduanya, aku mengajak mereka masuk karena pelajaran akan segera dimulai.
Ini sisi lain dari Masjid Ar-Rahman. Selain sebagai tempat ibadah, masjid ini juga menampung beberapa anak yatim yang diambil dari beberapa panti sekitar untuk belajar. Dan aku, adalah salah satu tenaga pendidik ditempat ini. Kegiatan ini sudah kugeluti sejak setahun silam. Ketika si pemilik masjid memberiku tawaran mengajar. Rupanya pemilik masjid telah lama melihat aktivitasku didalam masjid. Mereka melihatku dari kamera CCTV yang mereka pasang dimasjid. Mereka memang sedang mencari tenaga pendidk yang istiqamah masuk masjid, dan aku, menjadi salah satu dari lima remaja masjid yang terpilih sebagai pendidik.
Uniknya, lembaga pendidkan ini tidak hanya menampung anak-anak yatim lokal saja, tapi mereka juga termasuk anak-anak yatim internasional.
Sayyid Bahar dan Syarifah Jannah adalah pemilik masjid ini. Mereka merupakan relawan sekaligus dokter yang pernah mengabdi di palestina, Iraq dan daerah timur tengah lainnya. Beliau tak jarang membawa anak-anak yatim yang kelaparan dan kehilangan orang tua mereka dimedan perang ke Indonesia.
Sebagian dari mereka telah paham bahasa Indonesia. Bahkan untuk orang yang tidak mengetahuinya akan menganggap bahwa mereka adalah anak-anak pribumi karena kefasihan mereka berbahasa Indonesia. Namun, mata coklat, hidung mancung dan kulit putih mereka yang tidak bisa membohongi warga sekitar, bahwa mereka bukanlah anak-anak pribumi. Sebagian juga masih menggunakan bahasa Arab dan bahasa Inggis. Tak heran jika tenaga pendidik di tempat ini harus menguasai dua bahasa tersebut.
"Ayo.. Butet, kira-kira apa cita-cita butet dimasa depan?" aku mulai melempar pertanyaan pada Butet yang sedari tadi matanya tak berhenti mengatup dan terbuka karena terserang kantuk.
"Alamaak, Butet tak tau lah kak, apa cita-cita Butet. Kalo dulu Butet ingin sekali jadi tukang masak," jawab anak itu polos diikuti suara riuh anak-anak lain karena merasa lucu dengan tingkah pola dan bahasa khas Medannya.
"Bagus, Butet ingin jadi koki adek-adek, alasannya apa coba?"
"Emm ... biar Butet bisa makan gratis tiap hari kak, hehe."
Seisi kelas tertawa riuh mendengar jawaban Butet yang memang terkenal hobi makan dan bertubuh bongsor itu.
"Kalau Rani, ingin jadi apa?"
"Rani mau jadi ustadzah aja kak."
"Bagus, apa alasan Rani ingin menjadi ustadzah?"
"Biar bisa terkenal dan masuk TV kak, kan sekarang lagi banyak tuh ustadz sama ustadzah yang ngehits."
Huuuuuuu
Kelas kembali riuh menyoraki Rani yang berkacak pinggang ala selebitis.
"Rani sayang, cita-cita menjadi ustadzah itu bukan untuk ajang terkenal. Tapi karena kita ingin meninggikan dan menyebarkan agama Allah. Apalagi kita nih sebagai perempuan yang akan menjadi seorang ibu nantinya. Al-ummu Al-madrosatul Ula. Di dalam agama Islam, seorang ibu itu dikenal sebagai sekolah pertama untuk anak-anaknya. Makanya perempuan itu wajib pintar dan berakhlak karena nantinya kita akan menjadi ustadzah untuk anak-anak kita. Jadi mulai sekarang, Rani harus meluruskan niat ya, luruskan niat menjadi ustadzah karena Allah bukan karena popularitas! Paham adik-adik?"
"Fahaaaam," mereka semua mengangguk angguk tanda memahami penjalasanku.
"Next Fadli, What is your ambition, sayang?"
"I wanna be an architecture, kak. Fadli pengen banget ngebangun Baghdad jadi Negara 1001 malam lagi, biar semua orang bisa tau keindahan Negara Fadli."
"Fadli pengen ngebangun kerajaan Aladin, putri Yasmin, sama kerajannya Sultan Harun Ar-rashid katanya kak, biar Abu Nawas bisa hidup lagi," Fadlan menimpali.
"Hahaaahha.." Semua tertawa mendengar calotehan Fadli.
"Wah, bagus.. Kak Yasmin juga punya cita-cita yang sama seperti milik Fadli. Kaka ingin membangun negara seribu satu malam. Nanti, kita bangun sama-sama ya negeri itu. Disana kita bangun bersama kerajaan para anak yatim dan para penghafal Al-Quran. Kerajaannya gak kalah besar dari kerajaannya Sultan Harun Arrasyid loh," Aku melirik Fadli, yang terkekeh sendirian.
"Semua setuju?"
"Setuju!!!" anak-anak mengacungkan tangan mereka sebagai tanda setuju.
"Okay, sekarang giliran Fadlan, mau jadi apa kalau sudah besar nanti?"
"I want to be a traveler, kak,"
"Wow.. It's really amazing. Fadlan suka jala-jalan?" Tanya ku heran.
"Bukan itu kak," Fadli membantu menjawab.
"Terus kenapa kok mau jadi treveler kalau bukan karena suka jalan-jalan?"
"Fadlan wants to spread out peace and salam everywhere. I will say over the world that Islam is not a terrorist religion. Biar, orang-orang pada tau, kalau islam itu agama yang indah. Juga, biar gak ada yang nembakin keluarga sama tetangga Fadlan lagi kak. Fadlan masih inget waktu para tentara ngebunuh baba pake senapan. Karena kejadian itu Fadlan jadi kehilangan baba untuk selamanya. Now I really miss baba, kak Yasmin," aku melihat Fadhlan mulai berkaca-kaca. Kudekati anak itu lalu kupeluk dia erat-erat. Fadli ikut memeluk saudara kembarnya yang mulai terisak-isak. Suasana kelas hening, semua siswa diam, satu-dua diantara mereka ikut memeluk Fadlan dan Fadli.
Fadlan dan Fadli adalah dua dari anak-anak dari negeri seribu satu malam, Baghdad. Mereka berhasil lari ke Indonesia bersama ibunya. Atas bantuan Sayyid Bahar dan Syarifah Jannah mereka bisa sampai dengan selamat ketanah Air. Mereka sudah tinggal kurang lebih selama tiga tahun di Indonesia.
"Kak, apa baba bisa hidup lagi? Kalau ia, boleh gak Fadlan ketemu semenit aja. Fadlan kangen," Fadlan menatap wajahku sungguh-sungguh.
Aku geming tanpa kata. Dadakku bergemuruh, tanganku gemetar. Ingatanku juga ikut menyeruak pada sosok abiku. Apa yang sedang menjadi harapan Fadlan juga menjadi harapanku saat ini.
Aku juga rindu abi, benar-benar rindu. Andai saja Allah memberiku kesempatan, aku ingin meminta sedetik saja melihat wajah asli abi. Tersebab, sejak aku lahir, Allah tidak pernah memberiku kesempatan untuk melihat wajahnya.
Tak terasa bulir bening jatuh dikedua sudut kelopak mataku. Gumpalan awan yang berdesak-desakan sedari tadi, kini mulai menjatuhkan bulir-bulir hujan. Semakin deras dan tumpah.
Tiba-tiba sebuah suara merdu merasuk ditelingaku.
Wal fajr, wa la yalin asyr..............
Sebuah lantunan surah Al-fajr memecahkan keheningan. Suara pembacanya yang merdu serta makna yang terkandung di dalam surah Al-fajr membuat hatiku yang sesak menjadi tenang tanpa beban. Karena merasa sangat tenang ketika mendengar lantunan itu, aku memutuskan untuk merekamnya dari kejauhan. Suara itu seperti sebuah magnet yang membuat ku terenyuh didalamnya. Bahkan semua beban hari ini seolah lepas dari benakku. Anak-anakpun ikut tenang mereka seolah menemukan pelipur lara dari keterisakan hati mereka.
Sungguh sebuah keelokan suara yang belum pernah ku dengar sebelumnya. Entah siapa dia disana yang sedang membacanya?
BERSAMBUNG