PART 6

Katakan pada Qabil!

"Tuhan tidak akan pernah salah 

Menyandingkan dua anak Adam Alaihis Salam

Bukan karena kasta, melainkan karena ketulusan hati dan cinta."


***

Akhir-akhir ini kesibukan ku mulai meningkat. Draft skripsi yang belum jelas, tanggung jawab mengajar di masjid Ar-Rahman, kesibukan ku diperpustakaan dan jadwal dua mata kuliah semester pendek yang masih harus ku ampu.

Sepertinya aku butuh cuti sebentar dari perpustakaan. Membagi waktu antara kuliah, mengajar dan bekerja diperpustakaan itu benar-benar melelahkan. Apalagi sekarang Dita jarang masuk, jadi, semua pekerjaan dia diperpustakaan aku yang menghandlenya. Dita sering sekali sakit, mungkin dia kelelahan karena banyak pikiran perihal perjodohannya dengan Ihsan, anak sahabat ayahnya itu.

"Yasmin, kok masih disini? Ayo cepetan masuk. Ustadz Yusuf, dosen baru filsafat umum penggantinya pak Agus udah dikelas kata anak-anak. Awas loh kamu di black list di hari pertama nanti," Shireen berteriak dari kejauhan sambil melambaikan tangan kearahku.

"Kami duluan ya, Yasmin. Takut dapat C lagi seperti semester kemarin," Syifa menyusul Shireen dari belakang. Mereka berlarian keluar dari perpustakaan dan menuju kelas.

Anak semester akhir harusnya fokus pada pembuatan skripsi, tapi kami masih harus memperbaiki nilai kami yang terlanjur jelek. Sementara pihak kampus seolah angkat tangan dan tidak memberikan kebijakan kepada kami sebagai mahasiswa, korban dari dosen yang nakal. Dengan terpaksa kami masih harus mengampu kembali dua mata kuliah, filsafat umum dan filsafat dakwah supaya bisa ikut sidang skripsi.

Usai membereskan buku-buku, aku segera berlari menuju kelas. Pintu kelas sudah tertutup rapat. Ustadz Yusuf, salah satu dosen muda yang digadang-gadang akan menggantikan pak Agus di mata kuliah filsafat umum itu pasti sudah memulai pelajaran.

Aku berusaha menenangkan diri dan mengetuk pintu pelan-pelan.

"Assalamualaikum, Afwan, ustadz, saya terlambat!" kataku dalam posisi menunduk.

"Jam berapa ini?" aku melihat ustadz Yusuf memutar lengan dan melihat jam dipergelangan tangannya.

"Jam tujuh tiga puluh Ustadz," aku melirik jam yang bertengger di perlgelangan tangan kiriku.

"Assalamualaikum, maaf Ustadz kami terlambat!" terdengar suara lelaki dibelakangku mengetuk pintu.

"Kalian berdua ini dari mana?" Ustadz Yusuf menatapku sejenak, lalu melihat kearah suara dibelakangku.

"Kami tadi janjian membereskan buku dulu diperpustakaan ustadz, maklum buku diperpustakaan banyak," pemuda dibelakangku menjawab pertanyaan ustadz Yusuf dengan santai.

"Kami? Janjian?" sontak aku menoleh kebelakang. Rupanya si Jamal, Teman sekelasku yang pernah menyatakan perasaannya tempo lalu itu mulai berulah lagi.

"Huuuuu ternyata janjian?? Cuiit cuiiiit..!!" suasana kelas menjadi riuh dengan suara ledekan.

"Eh, ternyata gosip antara Jamal dan Yasmin itu ternyata beneran? Mereka ini pacaran? Pantesan ya selalu janjian," Anto, sahabat Jamal mulai melempar ledekan kearah kami, dia seperti memprovokasi teman-teman untuk terus menjodoh-jodohkan aku dengan Jamal.

"Astaghfirullah, itu tidak benar! Demi Allah, saya tidak pernah pacaran. Saya tadi memang dari perpustakaan. Tapi saya tidak janjian sama Jamal, ada Shireen dan Syifa kok ustadz diperpus. Silahkan tanyakan ke mereka berdua!" aku melihat Shireen dan Syifa yang kompak mengiyakan pernyataanku.

"Kok dibolak balik sih, Yasmin? Kita kan memang janjian dan berangkat bareng. Buktinya kita masuknya barengan," dengan tanpa rasa bersalah Jamal beralibi lagi. Dia seperti menggunakan kesempatan ini untuk menjebakku.

"Ya jelaslah, Shireen dan Syifa kan sahabatnya Yasmin. Mereka pasti belain Yasmin," Ajeng teman Jamal menambah kisruh suasana.

Ponsel Ustadz Yusuf berbunyi. Dia mengangkat sejenak. Lalu segera menutupnya.

"Yasmin, kamu Duduk! Dan kamu?" ustadz Yusuf menatap tajam kearah Jamal. Sambil lalu mengarahkan telunjuknya tepat di wajah pemuda liar itu.

"Silahkan tinggalkan kelas sekarang juga, dan tunggu detensi dari saya besok!"

Semuanya diam. Suasana menjadi berbalik. Setiap mata menyorot Jamal.

"Al-fitnatu asyaddu minal Qatl. Fitnah itu lebih kejam dari pada pembunuhan. Saya dapat telepon dari pak Bashir, dia meminta maaf karena membiarkan Yasmin datang terlambat. Tapi dia tidak menyebut nama kamu. Kamu membohongi saya ya?"

Jamal terdiam. Dia seperti kehilangan taringnya.

Aku tahu ustadz Yusuf berbohong. Yang menelpon tadi itu pasti bukan pak Bashir, karena sejak pagi tadi pak Bashir belum datang. Dia sedang di Surabaya. Jadi, tidak mungkin dia tau bahwa aku ada di perpustakaan.

Jamal tetunduk malu, dia keluar dengan tatapan kesal padaku. Entah apa yang ada dibenak pria itu. Dia seperti tidak pernah lelah mengejarku yang sudah jelas-jelas tidak bisa membalas cintanya.

Aku sangat berterimakasih karena ustadz Yusuf mau menyelamatkan aku dari fitnah itu. Selama ini Jamal selalu saja mencari-cari cara agar aku terkesan menerima cintanya. Dia kerap membuat rumor tidak benar antara aku dan dia. ada beberapa teman yang bahkan termakan oleh fitnah lelaki busuk itu. Tapi hari ini, aku sedikit lega, ustadz Yusuf telah membantuku menghapuskan rumor itu.

Karena ingin membalas budi, sepulang kuliah aku mengejar ustadz Yusuf yang sudah bersiap-siap untuk pulang. Aku ingin berterimakasih padanya sekaligus ingin meminta penjelasan mengapa dia mau membantuku. Seolah-olah dia benar-benar tau problemaku.

"Ustadz, saya mau berterimakasih. Karena tadi, ustadz Yusuf sudah membantu saya dikelas."

"Ya, sama-sama," ustadz Yusuf tersenyum kaku.

"Lalu, apa boleh saya bertanya?"

"Boleh, ada apa?"

"Saya tau bahwa tadi ustadz Yusuf sudah berbo......."

"Kamu Yasmin, kan? Salah satu pengajar di Masjid Ar-Rahman, milik Sayyid Bahar dan Syarifah Jannah?" ustadz yusuf memotong pembicaraanku.

"Saya sudah mendengar banyak hal tentang kamu dari mereka berdua. Kebetulan mereka berdua adalah teman baik ayah saya. Makanya saya tidak percaya sedikitpun pada anak laki-laki tengil itu. Sudah, abaikan saja. Anggap orang-orang seperti itu tidak pernah ada. Kalau ada apa-apa lagi, kamu bisa bilang kesaya, supaya dia tidak berulah lagi," ustadz Yusuf membuat hatiku tenang. Aku merasa dilindungi ketika dia berkata seperti itu.

"Baik ustadz!" jawabku pelan.

"Ya sudah saya pulang dulu, kamu hati-hati! Karena lelaki tengil seperti dia tidak akan puas hanya dengan satu atau dua aksi. Assalamu 'alaikum," ustadz Yusuf berlalu.

"Waalaikum salam," aku masih tertegun melihat ustadz Yusuf dari belakang. Jawabannya belum membuat aku kehilangan rasa penasaranku. Dia bisa begitu yakin bahwa aku adalah Yasmin yang dia maksud, padahal di kampus ini ada beberapa orang yang bernama Yasmin. Bagiamana mungkin dia bisa begitu yakin bahwa aku adalah Yasmin yang dia maksud?