"Allah menciptakan manusia
Dengan jumlah yang tak terbilang angka.
Dan kamu,
Akan menjadi satu diantara dua hamba
Yang akan melahirkan angka-angka tak terhingga
Melalui kekuatan cinta."
***
Ahad pagi, hari yang ditunggu-tunggu bayak orang. Hari untuk melepas penat, setelah sepekan menghadapi banyak beban berat. Tapi, berbeda denganku. Meski hari libur, aku masih saja harus pergi ke perpustakaan kampus untuk membereskan, menata dan mengentri buku-buku. Besok, bangunan berlantai tiga ini akan penuh dengan desak-desakan mahasiswa yang antri untuk meminjam buku.
Aku adalah salah satu mahasiswa beruntung yang mendapatkan beasiswa prakerin diperpustakaan. Sebuah beasiswa yang diberikan kepada para mahasiswa yang rajin datang keperpustakaan, dengan syarat, aku harus membantu para pegawai dan karyawan perpustakaan mengelola dan menjaga perpustakaan sebaik mungkin.
Aku menggunakan beasiswa ini untuk meringankan beban umi supaya tidak terlalu banyak tanggungan. Wajarlah, aku lahir yatim tanpa sosok ayah. Selain itu, aku juga tipikal anak yang mandiri. Aku sama sekali tidak ingin menyusahkan umi. Meski kehidupan sehari-hari kami dibantu oleh paman Idris, satu-satunya adik laki-laki abi yang memiliki sebuah pesantren besar di Madura, tapi aku tidak mau terus-terusan ketergantungan pada beliau. Aku harus belajar mendapatkan uang sediri demi umi.
Pintu perpustakaan sudah terbuka. Rupanya pak Syamsyul, pemegang kunci perpustakaan sudah datang. Aku masuk menyusuri ruangan menuju tempat loker. Samar-samar, aku mendengar sebuah isak tagis perempuan dari ruangan sebelah. Suaranya terdengar tidak asing. Ku percepat langkahku dan segera bergegas menuju ruangan itu. Ternyata Dita, sahabatku. Dia menelungkupkan wajahnya keatas meja, jilbabnya terlihat basah karena air matanya tumpah. Segera ku hampiri dia dan duduk disampingnya.
"Innalillah, Dita? Kamu kenapa, Dit?!" Tanyaku heran sambil mengusap-usap pundaknya. Dita tetap tidak menjawab pertanyaanku, dia justru semakin keras menangis.
"Kamu sendirian disini, Dit? Hanya dengan pak Syamsyul? Kamu di apain sama pak Syamsyul, Dit?"
"Jangan sembarangan Yasmin, Bukan itu!" Dita semakin mengencangkan tangisannnya.
"Ups, maaf , Dit. Aku kira kamu diapain sama pak Syamsyul. Terus, kamu kenapa? Ada apa?"
"Aku mau dijodohin sama anaknya temen ayah, Yasmin."
"MasyaAllah.. Terus? Kamu terima, Dit?"
"Ya nggak lah, Yasmin. Rudi mau aku kemanain coba? Aku cinta mati sama dia," Dita masih menelungkupkan wajahnya. Dia tidak mau membuka wajahnya untuk sekedar melihatku.
"Dit, dengerin! Jodoh itu nggak ada yang tau, Dit. Coba saja dulu kamu bicarakan sama bundamu, mungkin nanti akan ketemu jalan terbaiknya!"
"Tapi aku nggak mau dijodohin, Yasmin. Sekarang ini udah bukan jamannya Siti Nurbaya yang harus dipaksa-paksa nikah sama Datuk Maringgi. Aku gak mau pokoknya!" Dita membuka wajahnya dan menatap kesal kearahku, terlihat jelas raut wajahnya memerah. Ia terlihat benar-benar marah dengan keputusan orang tuanya yang ingin menjodohkan dia dengan anak sahabatnya itu.
"Dita, ssht, kita kan belum tau calon kamu itu seperti apa, Dit. Belum tentu juga kan dia itu lebih buruk dari Rudi. Lagi pula menurutku perjodohan itu bagus kok," aku memegang bahu dita erat-erat, dia semakin menangis sejadi-jadinya.
"Pokoknya aku gak mau dijodohin. Orang yang nyari jodoh lewat perjodohan itu hanya mereka yang gak percaya sama diri mereka sendiri, Yasmin. Mereka itu takut anaknya gak laku-laku dan gak dapet jodoh, makanya mereka maksain anaknya dijodohkan. Coba kamu bayangin kalau ternyata calon ku itu seperti Datuk Maringgi, udah kurus, item, jelek, tua, punya istri banyak, jahat lagi, gimana coba? Aku gak mau, Yasmin, please help me!" wajah dita memelas seketika, dia memohon-mohon agar aku membantunya.
"Okay, kamu tenangkan diri dulu sekarang! Tarik nafas dalam-dalam, keluarkan, Baca istighfar!" Dita mengikuti saranku untuk tenang. Aku menatap Dita dalam-dalam. Dia seperti mendapatkan aura positif dari istighfar yang dia baca.
"Dita, aku tanya sama kamu, Rudi udah ngelamar kamu belum?"
"Belum, katanya dia masih belum siap dan mapan. Dia bilang masih mau nyelesain S2 dulu, terus masih mau mapan dulu, setelah itu baru dia mau nikahin aku katanya."
"MasyaAllah, sebentar lagi kita lulus kuliah dan kita pasti akan berpisah loh, Dit. Rudi pasti akan pulang ke Mataram, dan kamu?"
"Terus aku harus gimana, Yasmin?"
"Minta kepastian sama dia, kalau dia tidak mau menghalalkan lebih baik tinggalkan! Jangan terlalu buang-buang waktu untuk orang yang tidak jelas, Dita!"
"Tapi aku udah kadung cinta sama dia,Yasmin. Kamu gak tau sih gimana rasanya," Dita tertunduk lesu.
"Witing tresno jalaran suko kulino, adakala cinta itu bisa tercipta karena kebiasaan bersama, Dit. Kamu bisa mencintai suami kamu nantinya, meski sekarang kamu masih belum bisa mencintai dia. Orang tua kita tidak mungkin mau menjerumuskan anaknya sendiri kedalam jurang. Mereka pasti sudah memikirkan hal ini ribuan kali. Kapan lagi sih, Dit, kita mau berbakti sama orang tua?"
"Tapi Rudi gimana, Yasmin? Aku tau Rudi sayang banget sama aku. Aku juga sayang banget sama dia. Bertahun-tahun kita bersama. Masa ia harus berakhir begini?"
"Rudi baru datang kedalam hidupmu dua tahun yang lalu, Dita. Sementara orang tuamu udah datang sejak dua puluh tahun yang lalu. Kasih sayang orang tua kita tidak bisa ditukar dengan kasih sayang seseorang yang baru saja hadir kedalam hidup kita. Dit."
"Jadi, kamu dukung ayah sama bundaku, Yasmin?"
"Gak gitu Dita. Aku Cuma mau kamu bisa befikir lebih dewasa. Coba kamu bicara dari hati-ke hati dulu sama orang tua kamu. Kalau kamu gak suka berikan alasannya. Kalau Rudi adalah sosok yang memang layak untuk diperjuangkan, kamu perjuangkan dia! Yakinkan ayah sama bundamu bahwa dia yang terbaik! Tapi, kalau Rudi bukan sosok yang pantas untuk diperjuangkan, tidak ada salahnya kamu terima lamaran orang itu. Istikharah dulu, Dit, Allah maha tahu atas segala sesuatu yang tidak kita tahu!"
"Begitu ya, Yasmin?" Dita menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk pelan, seolah-olah sudah memahami maksud pembicaraanku.
"Makasih ya, Yasmin. Kamu emang temenku yang paaaling baik. Gak heran kamu dapat predikat the queen of destiny, hehe," Dita tersenyum padaku sambil menghamburkan pelukan, erat sekali.
"Karena orang yang kita cintai belum tentu jodoh kita, tapi jodoh kita adalah orang yang wajib kita cintai, Dita." kami tersenyum bersama-sama sambil menghamburkan pelukan.
"Waduh?!! mbak Dita kenapa toh mbak, kok nangis? Apa yang bisa bapak bantu mbak?" Pak Syamsyul terlihat heran melihat mata Dita yang sembab.
"Yee telat udah kali pak, gak usah dibantu, wes dibanting aja ya, haha," Dita teertawa terbahak-bahak sambil menarik tanganku.
"Elloh? ini ngapain, kok masih disini? Buku masih banyak yang harus dientri diatas. Cepetan keatas sana!" Pak Bashir, direktur perpustakaan yang terkenal killer dan cerewet itu berdiri di depan pintu sambil menggertak kami.
"Siap pak bos, gak usah disuruh kami juga udah mau berangkat bos!" Dita mengangkat tangan kearah pelipisnya sebagai tanda penghormatan pada pak Bashir.
"Tapiii, gimana mau berangkat kalau pintunya ditutup, Boss?" Dita meledek pak Bashir karena bobot tubuhnya yang besar itu menghalangi pintu.
"Ditaaa kamu ini ya, gak sembuh-sembuh nakalnya!!" pak Bashir melotot sambil melemparkan gulungan surat kabar kearah Dita.
"Lagian saya gak bisa ngebedain pak, mana gentong mana perut, hahaha," Dita tertawa sambil berlari keatas tangga.
"Coba kamu contoh ini si Yasmin, sudah rajin sopan lagi. Selamat bekerja ya, Yasmin!" pak Bashir tersenyum padaku sambil mengipas-ngipaskan koran kewajahnya. Aku hanya membalasnya dengan anggukan dan segera berlari mengikuti jejak Dita kearah tangga.
Sepertinya hari ini akan menjadi hari Ahad yang melelahkan, karena tumpukan buku-buku sudah siap merontokkan otot-otot tangan dan lengan. Tapi tak mengapa, aku menyukai buku dan semu hal yang berhubungan dengan perpustakaan. Selain hujan dan langit, buku juga merupakan salah satu benda yang memiliki tempat istimewa dihatiku. Jadi, seberat apapun pekerjaan yang berhubungan dengan buku aku akan tetap menyukainya.