Dua hari yang lalu..
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 02:30, pria berjas hitam itu terus saja mengemudikan mobilnya dengan kencang. Dia tidak memperdulikan klakson mobil-mobil lain yang sedari tadi memberi peringatan supaya tidak ngebut dijalanan. Pria itu tidak menggubris, matanya menatap tajam ke ujung jalan. Ia barus saja sedang berada dalam masalah. Seseorang yang selama ini teramat dia benci tiba-tiba hadir kembali kedalam hidupnya.
"Setelah puluhan tahun meninggalkanku dan umi dia kembali? Apa dia berpikir semudah itu bisa kembali? Lihat saja, aku akan membuat dia sama menderitanya seperti penderitaan umi dulu."
Pria itu menggenggam erat setir mobil, ingatannya kembali menyeruak perihal ibunya yang sakit parah, meninggal tanpa seorang ayah. Sosok ayah yang diharapkan bisa melihat penampilan pertamanya menjadi qari' di acara perpisahan TK. Sosok ayah yang di tunggu pulang siang dan malam tapi tidak kunjung datang. Harapannya pupus, ayahnya hilang tanpa kabar, tenggelam tanpa bekas bagai ditelan bumi.
Beeeep.... Beeeep....
Salah satu kendaraan berwarna coklat tua itu kembali memberi klakson. Pria itu tetap saja tidak menggubris. Ia tetap saja menyetir seperti orang yang kehilangan arah. Nafasnya berderu kencang, tangannya terkepal kuat. Ia ingat masa-masa kelam saat-saat ia harus berjuang hidup tanpa seorang ayah. Setelah melihat ibunya meninggal didalam pelukannya sendiri, pria itu memang memutuskan untuk mengutuk ayahnya yang sudah mencampakkan ia dan ibunya.
"Abi lagi kerja, sayang. Alfin sabar yaa! Nanti abi pasti pulang bawa mainan lampu ajaib kesukaan Alfin."
"Alfin gak mau mainan mi, Alfin maunya Abi jagain umi disini. Umi kan lagi sakit. Abi jahat udah ninggalin umi gini."
"Ssst pangeran umi tidak boleh bicara begitu, kalau Alfin sayang Umi, Alfin juga harus sayang abi!"
"Tapi mi....."
"Oh iya, besok kan Alfin tampil di sekolah. Latihan gih sama Ziyad. Biar besok tampilnya bagus. Oke..!"
"Alfin gak mau, buat apa Alfin tampil kalau abi nggak bisa lihat penampilan Alfin, emang pekerjaan abi lebih penting dari semua ini ya, mi? Abi jahat mi sama kita."
"Alfin sayang, gak boleh gitu. Alfin kan mau jadi hafidz Qur'an, masa pangeran calon hafidz Quran durhaka sama abinya. Inget tidak, ada kisah indah diantara seorang ayah dan anak laki-lakinya yang sampai-sampai diabadikan dalam Al-quran, surat apa coba?"
"Surat Luqman mi."
"Nah itu tau.. memangnya Alfin nggak mau seperti anak Luqman yang patuh pada orang tuanya. Sampai kisahnya abadi didalam Al-Qur'an."
"Mau mi.. Tapikan........................!!"
Criiiiit.........
Bruuuuk......
Pria itu hampir saja menabrak dua anak laki-laki kembar yang sedang berlari-larian kecil menuju sebuah masjid. Beruntung anak-anak itu langsung mengencangkan lariannya menuju halaman masjid.
Mobil berhenti seketika tepat di trotoar depan masjid, Pria itu shock berat. Dadanya tidak hanya sesak namun kini berdetak kencang tak karuan.
Samar-samar dari kejauhan, Seorang gadis anggun berkaca mata dengan Al-Quran dalam dekapan dan tas ransel di punggungnya mengalihkan pandangannya. Dia menyambut kedua anak kembar tadi dengan ramah. Ada perasaan tenang saat pria itu menatap gadis itu. senyumannya yang menenangkan seolah menghapus semua kegelisahan di hatinya.
Kedua anak kembar itu memeluk gadis itu sambil menunjuk-nunjuk kearah mobil pria itu. Namun gadis itu tidak menghiraukan. Dia hanya tersenyum menenangkan, lantas pergi sambil memandu sikembar masuk menuju masjid. Pria itu bernafas lega karena gadis itu tidak menghiraukan rengekan si kembar untuk melabrak dirinya.
"Astaghfirullah, hampir saja aku membunuh dua orang sekaligus. Terimakasih telah menyelamatkan aku dan mereka, ya Allah," puji pria itu dalam hati.
Pria itu memutar lengannya. Jam sudah berada diangka 02:45. Ia baru sadar bahwa dirinya belum sholat dzuhur.
"Parkirnya didalem saja mas!" Sapa salah seorang satpam.
"Oh,, iya pak, terimakasih," pria itu akhirnya memutuskan untuk sholat dzuhur dimasjid itu.
Selepas sholat dzuhur, pria itu berdzikir sejenak sambil menunggu waktu asyar. Sebuah suara mengusik kekhusuannya.
"Aduh, kaset murottalnya rusak, bang." kata salah seorang marbot masjid muda pada seseorang disebelahnya.
"Yah, abang juga bilang apa, Nif, ganti yang baru kek dari kemarin-kemarin! Kalo gini gimana? Udah mau Asyar tapi gak ada murottalnya."
"Ya, maap bang. Hanif kira kan masih bisa dibenerin gitu bang." jawab pemuda yang bernama Hanif itu sambil memutar-mutar kaset murottal.
Karena penasaran pria itu mendekat dan mencoba mencairkan suasana, "Ada apa ya mas?" kedua pria yang sedang berdebat berhenti seketika dan menatap pria itu.
"A .. Anu, ini mas.. Kasetnya rusak. Bentar lagi asyar jadi gak bisa nyalain murottal mas."
"Yaa gara-gara anak ini mas, yang gayanya mau jadi mubalek padahal jadi marbot masjid aja gak becus dia, hahaha."
"Yeee, hubungane nopo bang, sama cita-cita saya?" Hanif melotot kearah lelaki yang dipanggilnya abang itu.
"Ya sudah mas, kan masih bisa diganti murottal asli dari suara orang mas," pria itu memberi ide.
"Ennah, idenya bagus banget mas. Tapi, siapa yang mau baca ya mas?" sontak keduanya melihat kearah pria itu sambil tersenyum sumringah seolah memberinya kode bahwa si prialah yang cocok membacakannya.
"Sa-saya?!" ucap pria itu setengah kaget, sambil menunjuk wajahnya sendiri.
"Cuma surah Al-Fajr kok mas, gampang kan? Ayolah mas bantu saya mas. Nanti yang punya masjid marah ama saya mas," rayu Hanif pada pria itu.
Akhirnya, pria itu menuju tempat imam dan membaca murottal surah Al-fajr sekaligus menyenandungkan adzan Asyar. Suaranya menggema dilangit-langit masjid, memecah hiruk pikuk perkotaan, mengajak para pekerja di setiap kantor dekat masjid beranjak meninggalkan pekerjaannya untuk melaksanakan sholat Asyar.
Sholat asyar telah usai, pria itu bergegas untuk segera pulang. Hanif telah menunggunya dipintu depan masjid.
"Aduuh, makasih banyak yo mas sudah dibantu tadi."
"Sama-sama mas."
"Btw kapan-kapan saya diajari yo mas, suara sampean merdu banget hehe."
"InsyaAllah, semoga bisa jumpa lagi disini mas," pria itu menjabat tangan Hanif.
"Oh iya, dengan mas siapa nggeh?"
"Alfin, Alfin Maulidani Alaydrus."
"Wuih, keturunan ba'lawi ya mas?"
"Hanya nama kok mas," jawab pria itu sambil tersenyum.
"Cuma keluarga ba'lawi yang punya nama belakang seperti itu, mas. Lagipula dari roman-roman gantengnya gak bisa di bohongin, hehehe," pria itu hanya membalas celotehan Hanif dengan senyuman.
"Kalo boleh saya minta nomor telepon-nya jenengan mas, biar bisa koling-koling gitu mas, hehe," pria itu memberikan kartu namanya pada Hanif.
"Saya missedcall nggeh mas, itu nomor saya belakanngnya 796. Kalo mas butuh apa-apa hubungi saya, mas. Kali aja saya bisa bantu," pria itu segera menyimpan nomor Hanif dan berpamitan.
Saat sedang berjalan menuju tempat parkir untuk mengambil mobilnya. Tanpa sengaja dia merasakan sesuatu yang mengganjal di kakinya, sepertinya dia sedang menginjak sesuatu. Sebuah buku diary dan buku dongeng seribu satu malam menghentikan langkahnya. Dia memutuskan untuk memungut dua buku itu. Pria itu melihat ke sekeliling masjid, barangkali ada seseorang yang mencarinya, namun tidak ada siapapun disana. Dia memutuskan untuk kembali ke masjid untuk menitipkan buku itu.
Tiba-tiba suara merdu Atef Musthofa menghentikan langkah kakinya. Ponselnya berbunyi, dia memutuskan menggeser tombol panel hijau dilayar ponselnya.
"Halo... halo Alfin, ente dimane? Cepet ke kantor, ente mau proyek besar kita gagal hanya gara-gara direkturnya gak jadi dateng!?"
"Iya sebentar, sepuluh menit lagi!" Pria itu mematikan ponsel dan melanjutkan langkahnya kearah masjid.
Ponselnya kembali berdering, sahabat pria itu kembali menelpon.
"Fin, ane tinggal ya! Ane capek nunggu ente nih dari tadi. Malu fin ane kalau ente gak dateng-dateng."
Pria itu akhirnya mengurungkan niatnya untuk kembali kemasjid. Tanpa berpikir panjang dia membawa kedua buku berwarna kuning dan pink itu kedalam mobil lalu melaju kencang menembus hari yang mulai menanjak senja.
BERSAMBUNG