Keesokan hari, aku tahu bahwa wanita itu meninggalkan kota sebelah setelah menghabiskan malam dengan Mas Derry, dia berangkat beberapa waktu yang lalu, sehingga aku memutuskan untuk menunggunya di unit miliknya.
Jangan tanya cara aku masuk ke dalam sana, aku sudah punya seseorang yang bisa melakukan apapun dalam kesenyapan.
Satu jam berlalu dan pintu apartemen terdengar dibuka. Wanita itu menyalakan lampu dan alangkah terkejutnya dia mendapatiku sudah duduk santai di sofa miliknya.
"Ya ampun, Ibu ...."
"Apa? Kenapa kamu terkejut?" tanyaku sambil tertawa sinis.
"Aku ... anu ... hanya heran saja, Ibu kok bisa masuk ke unit saya?"
"Bisa aja, tapi bukankah seharusnya saya yang balik bertanya," ujarku.
"Ma-maksud i-ibu bagaimana?" tanyanya setengah pucat dan memundurkan badannya.
"Dari mana kamu?" tanyaku sambil mendekat.
"A-aku dari rumah ibuku," jawabnya.
"Di mana rumah ibumu?"
"Di Binangun," balasnya.
"Bukankah, Ibumu sudah lama meninggal?"
Kali ini ia tak sanggup berkelit lagi. Ia terus mundur hingga kakinya tersangkut di pinggiran karpet dan tersungkur.
"Jujur saja, kau baru bertemu suamiku, kan?"
Kuhampiri dia dan kujambak rambutnya kuat, lalu menampar wajahnya berkali-kali hingga paras yang putih itu berubah menjadi kemerahan.
"Auh, ampun, Mbak," ratapnya.
Ia menjerit dan menangis sejadi-jadinya, ia kupukuli dan tak bisa melawan selain menjerit dan melolong sakit. Entah terlalu lemah atau sengaja aku tak peduli, yang pasti amarahku sudah memuncak dan kutarik rambutnya ke kanan dan kuseret dia dengan keras sehingga sesekali tubuh langsing itu menabrak perabotan.
Kubawa dia ke dapur, kuhempas tubuhnya hingga menabrak lemari lalu kunyalakan keran air, menarik selang pencuci piring yang bisa diulur kemudian menyiramkan ke wajah si pelakor.
Tentu, ia gelagapan disiram dengan cara demikian hingga semakin memekik minta dihentikan.
"A-ampun, Mbak," ratapnya.
"Dengar ya, aku memberimu kesempatan untuk bekarja di dekatku bukan agar kau semakin menggoda Mas Derry, tapi agar kau sadar dan berhenti memeras suami orang, tapi nyatanya kau memang tidak tahu diri," ujarku sambil memecahkan sebuah piring dan memungut salah satu pecahannya.
Kuarahkan kepingan beling itu ke lehernya sedang dia semakin ketakutan hingga menjinjitkan kakinya.
"Jangan sampai aku kehabisan kesabaran menghadapimu, karena kau bisa habis," desisku.
"Jangaaaan, tolong ...." Ia mengerang takut sambil menangkupkan kedua tangannya ke depan dada.
"Jangan temui suamiku lagi, jangan pernah menemui dia," ujarku sambil membenahi blazerku lalu pergi dari tempat itu.
*
Setelah wanita itu, orang berikutnya yang harus kuberi pelajaran adalah Mas Derry. Akan kutunggu ia kembali dari luar kota. Andai bisa, ingin sekali kupermalukan dia di depan semua orang agar jera dan tak mengulangi perbuatannya.
Namun, aku ragu, selain itu, sejujurnya aku masih ingin mempertahankan rumah tangga. Tapi harapanku akan tidak masuk akalnjika Mas Derry yang diberi pengertian malah tidak pernah sadar. Jika aibnya kuungkap, maka aku pun akan ikut malu karena orang yang saat ini paling dekat dengannya adalah istrinya, aku.
Pastinya, aku akan dituding tak mampu menjaga rumah tanggaku, tak mampu melayani suami hingga suami berselingkuh dan banyak tuduhan serta cibiran kejam lainnya.
* Dia kembali tepat ketika aku sedang memasak untuk hidangan sore, dia menyapaku setelah meletakkan sepatunya di rak penyimpanan dan langsung menghampiri ke dapur.
"Aku sudah menyelesaikan tugas darimu, Sayang," ujarnya dengan senyum lebar seolah tak pernah terjadi apa-apa.
"Oh, begitu? Aku senang jika kau sudah membereskannya," jawabku.
"Aku sangat lelah," ujarnya sambil membuka tutup panci dan berusaba mencicipi masakanku.
"Pergilah mandi dan kita akan makan sambil membicarakannya nanti," ujarku.
"Kamu terlihat cantik Sayang," bisiknya sambil berusaha memelukku.
"Jangan memelukku sebelum kau mandi, kau harus ingat ini masih masa pandemi," balasku sambil mendorong tubuhnya.
Aku masih benci, namun berusaha bersikap tenang, aku lelah marah dan bersikap kasar, jadi kali ini kuputuskan untuk bersikap elegan dan tetap akan memberinya pelajaran.
*
"Aku sudah menemui kepala pemasaran dan memintanya untuk meningkatkan target penjualan," ujarnya ketika kami sudah duduk berhadapan di depan meja makan.
"Selain itu, apa yang kamu lakukan?" tanyaku sambil mengaduk makanan di piring.
"Aku juga mengawasi gudang," balasnya sambil menyuapkan nasi dengan semangat ke mulutnya.
"Kamu yakin tidak melakukan hal lain?"
Ia terdiam, menatapku lalu meletakkan sendoknya di meja makan.
"Apa maksudmu?"
"Apa kau yakin tidak melakukan hal lain di luar pengetahuanku?"
"Ti-tidak, lagipula kalau aku melakukan sesuatu kau pasti akan tahu," jawabnya pelan.
"Kalo aku tahu, apa yang bisa kau katakan sebagai penjelasan?"
Kali ini ia tak mampu menjawab pertanyaanku, wajahnya memucat dan tak bisa mengucap sepatah kata pun.
"Apa yang akan kamu katakan sebagai argumen, Mas. Aku ingin marah tapi, aku akan bersikap baik dan mengajakmu bicara dari hati ke hati. Katakan sejujurnya mengapa kau masih nekat melakukan itu?"
"Apa maksudmu?"
"Kau bertemu Firda kan?"
"Ti-tidak."
"Jangan bohong!"
"Anu ... kebetulan dia di sana untuk menjenguk neneknya," jawabnya pelan.
"Kebetulan dia juga mengatakan bahwa sedang menjenguk ibunya di kota itu, mana yang benar?" cecarku.
Dia terdiam sambil terus menerus menelan ludah. Lama kami bertatapan hingga ia berani megucapkan kata maaf.
"Maafkan aku ...."
"Aku hanya ingin tahu, apa kamu ingin bercerai dariku?"
"Tidak." Ia menggeleng cepat.
"Jika begitu, kenapa kamu terus gencar berselingkuh?"
"Aku hanya ...."
"Kau tak puas denganku? Ataukah aku pernah menyakitimu?"
"Aku ... tidak sengaja," jawabnya.
"Dan kau pikir aku akan semudah itu percaya bahwa kau tidak sengaja berselingkuh? Yang benar saja, Mas? kau menghubungi Firda dan menyuruhnya datang, lalu kalian memadu asmara di hotel? Apa itu ketidaksengajaan?"
"Aku minta maaf, tapi sungguh aku masih ingin bersamamu," balasnya pelan.
"Kamu tidak berfikir ketika mengatakan kalimat itu?" tanyaku yang tak percaya dengan respon santainya, seolah-olah tidak berdosa.
"Aku malu, sungguh, tapi aku masih ingin kita tetap bersama dalam pernikahan ini," balasnya sambil menatap mataku.
Tentu, aku tertawa getir mendengar jawaban sempurnanya. Dia memang serakah, dalam artian dia ingin memilikiku sekaligus Firda.
"Kamu harus memilih, Mas. Meski aku bukan barang yang harus dipertimbangkan, namun aku juga ingin bahagia dan dibahagiakan, terutama oleh suami sendiri," jawabku.
"Maaf karena tidak menjadi sosok panutan dan menyakitkan hatimu," ujarnya sembari menundukkan kepala.
"Aku bisa memaklumi semua itu, mungkin kau menjadikanku pelampiasan atas sakit hati karena prestasi kerjamu yang tidak kunjung berkembang, kau sakit hati karena aku jarang punya waktu untukmu da lebih sibuk dengan pekerjaan, iya 'kan?"
"Bu-bukan begitu ...."
"Aku bisa menangkap bahwa kau setuju dengan argumenku," selaku.
"Aku sungguh minta maaf," ujarnya dengan wajah cemas.
"Kita bercerai saja, karena sangat sulit menyatukan ikatan setelah pengkhianatan." Aku bangkit dan beranjak meninggalkannya pergi dari meja makan.