"Ada apa memanggilku?" tanya pria yang sudah membersamai diri ini selama tiga tahun. ia kupanggil untuk membereskan apa yang terjadi di antara kami.
"Aku ingin bicara serius denganmu, Mas Derry."
"Apa yang kau inginkan?"
"Aku ingin memberitahu bahwa kamu tidak akan lagi menjadi manajer perencanaan," jawabku.
"Lantas, aku disuruh jadi apa?"
"Kepala office boy."
"Apa?"
Mendengar itu dia terbelalak, mungkin terkejut bukan main, mungkin juga tak percaya atau tak menyangka.
"Yang bener aja, kamu tahu aku adalah manajer perencanaan yang diandalkan sekarang, kau ingin menjadikan aku berada di posisi rendah, menunggui dapur dan memastikan kebersihan kantor ini? hanya itu?"
"Ya".
Ia tentu tak terima, menatapku dengan seksama untuk memastikan bahwa aku tak sedang bercanda, lantas ia mendengkus sambil mengacak rambutnya frustasi.
"Kenapa kamu memperlakukanku seperti ini?'
"Bukankah orang yang bersalah harus dihukum?"
"Apa hubungannya? Apa relevansinya hubungan pribadi kita dengan profesionalitas sebagai pekerja? apa bisa dicampur adukkan?" protesnya.
"Yang menjadi atasan di sini adalah aku."
"Kamu belum menjadi bos besar, kamu hanya direktur cabang." ia melengos sambil membuang muka, "kamu tidak boleh sombong, Wanda,"sambungnya.
"Sebenarnya kita berdua adalah staf yang sama-sama berjuang demi karir namun keberuntungan dan prestasi lebih berpihak kepadaku, karena itu aku menjadi direktur sedangkan kamu di posisi manajer, tapi aku tetap mencitaimu dan menghargaimu sebagai suami. Meski aku tahu tidak boleh mencampuradukkan urusan pekerjaan dan pribadi tapi aku tidak punya cara lain untuk untuk bisa membalas dendam kepadamu."
"Apa, kamu berniat mempermalukanku?"
"Iya."
"Kamu tidak takut aku marah, lalu meninggalkanmu?"
"Tidak, buat apa? toh, semuanya tak lagi sama."
Iya makin frustasi dan menggerutu kesal mendengar jawabanku.
"Ini salah, aku bisa mengadukan sikap sewenang-wenangmu pada atasan, aku tak terima begini," sungutnya.
"Silakan, kalo mau malu sendiri," balasku santai.