Dibela Suami

Kami menuruni panggung dengan sikap mesra, menghampiri rekan-rekan bisnis suamiku. 

"Ternyata Bu Nara ini toh yang berhasil mencuri hati Pak Ray. Jauh lebih cantik dari yang kami lihat di video."

"Iya, aslinya lebih cantik. Semoga akhlaknya juga secantik orangnya, gak seperti yang satu lagi," timpal yang lain. 

"Pak Rayhan bernyali besar juga mengatakan ini di depan umum. Bapak gak lupa kan kalau acara ini tayang di youtube. Bisa-bisa ucapan Bapak tadi masuk TV maupun media online," ujar seorang lelaki yang lebih tua dari suamiku. 

"Saya sudah pikirkan semua konsekuensinya, Pak." Suamiku membalas sambil tersenyum. 

"Jempol buat Pak Rayhan. Dari cara kalian saling memandang, kami tahu kalau kalian saling cinta. Serasi sekali," puji yang lain membuat hatiku bermekaran. Semoga saja ucapan mereka tulus dari hati, bukan sekadar menyenangkan hati.

Mas Rayhan membiarkanku bergabung dengan para istri pengusaha yang sebagian pernah kulihat wajahnya di televisi saat makan di warung. Hanya saat punya rezeki berlebih buat makan di warung lah aku bisa sekalian menonton, itu pun tergantung selera yang punya televisi. Sedangkan di kost tidak ada fasilitas seperti itu.

"Apa pun yang terjadi di belakang layar, aku tidak tahu yang sebenarnya. Namun saya suka jika jeng Nara yang terus mendampingi Pak Rayhan. Kita bisa jadi teman, kan?" ujar seseorang wanita  memakai dress merah. Ia mengulurkan tangan dan langsung kusambut. 

"Melia," ujarnya memperkenalkan diri. 

"Nara," balasku, lantas menyalami yang lain. Ada satu wanita memakai dress hitam memandangku seperti dengan tatapan benci. 

"Sesuai dengan warna bajuku ini, aku berduka melihat sikap orang miskin yang murahan sepertimu. Pelakor," bisiknya, menekankan kata terakhir. 

Aku sedikit terkejut. 

"Jangan pernah menyebutku seperti itu lagi, Mbak, kalau tidak ingin menyesal seperti Sarah," balasku, masih berbisik. 

Matanya membola memandangku. Mungkin wanita ini adalah teman karib istri pertama suamiku. 

"Duh, kalian langsung akrab, ya. Pakai bisik-bisik segala. Gitu dong, Jeng Nur, jangan pilih-pilih teman. Biasanya kamu nempel terus sama Jeng Sarah. Karena dia lagi di luar kota, Jeng baru mau gabung sama kita," kekeh yang lain. 

Oh, rupanya nama dia Nur. Tapi kepribadiannya seperti tidak bercahaya seperti namanya. Wajahnya bengis menatapku, lantas menjauh sambil memainkan ponsel. 

Perasaanku jadi tak enak. Bagaimana kalau dia mau menghubungi Sarah agar pulang dari lusr kota? Pasti akan terjadi kegaduhan dan keluarga kami bisa malu, khususnya diriku yang dianggap sebagai pelakor. 

"Jeng Nara ini cantiknya natural atau oplas, Jeng?" celetuk seseorang. 

Oplas? Maksudnya apa, ya? Aku tidak tahu banyak kosa kata yang dipakai para wanita sosialita seperti mereka. Daripada salah jawab, lebih baik kutanyakan kembali. 

"Hmm, oplas itu apa, ya, Mbak?" tanyaku, tersenyum malu. 

"Oalah, polos banget, Jeng. Ternyata begini selera Pak Ray. Maksudnya operasi plastik, Jeng. Oh iya, jangan panggil mbak, kayak ketuaan gitu. Jeng saja," balasnya. 

Aku mengangguk paham. Ternyata kalau istri orang kaya itu lebih senang dipanggil jeng daripada mbak. Padahal, menurutku panggilan mbak itu kesannya bukan tua, melainkan sopan. Tapi terserah lah, aku mengikuti alurnya saja. Namanya juga masih baru di dunia seperti ini. 

"Aku gak pernah operasi plastik, Jeng. Plastik itu mana bisa bikin kita cantik," balasku. Aku pernah dengar istilah ini, tapi gak tahu prosedurnya. Mungkin plastik putih yang masih baru ditempelkan ke wajah. Entahlah. Nanti aku cari di google saja. 

Mereka tertawa. "Jeng Nara bisa saja bercandanya."

Aku nyengir. Ternyata mereka mengira aku bercanda. Tidak ada yang mengejekku sama sekali, kecuali Nur yang memandang dengan sinis. Beruntungnya diriku berada di lingkungan orang-orang kaya yang berhati baik. Tidak seperti orang-orang di dekatku dulu. Mereka tidak lah kaya, hanya sedikit lebih beruntung dariku, tapi sikap mereka selalu merendahkanku karena memiliki nasib yang paling mengenaskan. 

Kami menikmati berbagai makanan mewah yang disajikan. Demi kenyaman, aku mengambil makanan yang kukenal dan tahu pasti rasanya. Jangan sampai aku mengambil makanan yang terlihat menarik di hati cacing-cacing perut, eh gak sesuai dengan lidahku. Selain sayang kalau terbuang, aku bisa malu.

Mereka terus mengajakku mengobrol, tapi mataku berulang kali mencuri pandang ke arah suamiku. Dia terlihat enjoy dan sering menyunggingkan senyuman. Terlihat semakin tampan. 

"Kamu gak suka minuman ini, Jeng?" tanya salah satu temanku yang berkumpul dalam satu meja. Ia mendekatkan gelasnya ke arahku yang langsung membuat perut ini mual. Sepertinya minuman beralkohol. 

"Maaf, aku tidak suka minuman seperti itu," balasku dengan sopan 

"Halah, [email protected] orang miss quen. Sebelumnya gak punya uang beli minuman kayak gini, kan? Coba saja, kamu pasti ketagihan," cibir Nur, menatapku tajam. 

Aku tersenyum tipis, lantas mengalihkan pandangan ke arah lain. Aku memang tak nyaman semeja dengan wanita ini, tapi aku harus tenang agar dia tidak senang. Merasa bisa mengintimidasiku. Aku tidak akan terprovokasi dengan ucapannya. Alkohol bisa menghilangkan kesadaran dan bisa saja nanti aku tak mampu mengendalikan diri. 

"Ayo cepat rasakan," tegas Nur, mencekal tanganku dan mendekatkan gelas ke mulutku. 

"Lepaskan istriku!"

Hening.

"Sejak tadi saya perhatikan kalau kamu terus memandang tak. Suka pada Nara. Jangan membuat kegaduhan dengan mencekoki istriku dengan minuman keras," tegas Mas Rayhan yang ternyata sudah berdiri di belakangku. 

Aku menghela napas lega, berdiri di saat tangan kekarnya menuntunku. Suamiku membela istrinya yang kampungan ini. Di saat yang sama, Nur terlihat pucat. 

"Kita pulang saja," lanjutnya, menggenggam tanganku. 

"Pak Ray, acara kita belum selesai. Tolong maafkan perbuatan calon istri saya," mohon seorang lelaki yang usianya kuperkirakan sudah di atas 50 tahun. Calon istri katanya? Astaga. 

"Saya bisa saja mau di sini, Pak. Tapi, tolong ajari pacar Pak Sugiman itu untuk bertata krama dengan baik," tegas suamiku. 

Aku terpesona. Sungguh, aku tidak akan bisa mengendalikan hati untuk tidak mencintai suamiku ini. Aku telah jatuh hati padanya. Sungguh. 


Ciee, Nara jatuh cinta nih ye. πŸ€­πŸ˜†πŸ˜†πŸ˜†πŸ˜†


Tinggalkan jejak biar semangat nulisnya ya mana teman🀩😍


Komentar

Login untuk melihat komentar!