Subscribe dan ikuti akun aku, ya! Tengkiyu.
_________________________________________
Wanita yang tengah memakai lingerie tipis dengan warna merah muda itu mulai jalan perlahan menuju ranjang. Sorot matanya terus tertuju pada sosok pria muda yang yang sedari tadi sudah menunggu. Postur tubuh proporsional itu melenggak-lenggok, seakan tengah mencari perhatian.
Reino, pria yang tengah duduk di atas ranjang itu tersenyum. Matanya terlihat tajam dan terus mengarah pada sosok wanita yang tengah jalan mendekat. Pria itu mulai menggeser badan, agar Sovia mendapat tempat. Tangan kekarnya pun menepuk-nepuk ranjang, berharap sang mantan kekasih lekas mendekat.
"Sini, Sov!" pinta pria itu dengan wajah memelas. Ia terlihat begitu dahaga dan ingin segera menikmati air hidup yang bernamakan kasih sayang.
Sovia tersenyum. Ia mulai naik ke atas ranjang, lalu duduk di samping Reino. Sesaat menoleh, lalu tersenyum lagi. Dua anak manusia tanpa status yang jelas itu sama-sama saling tatap.
"Nggak sabaran banget sih! Emang mau ngapain, sih?" ucap Sovia centil, seraya bertanya.
"Pake nanya lagi!" Reino mulai melingkarkan kedua tangannya pada perut wanita itu, lalu merapatkan tubuh mereka. "Lo cantik pakai beginian!" lanjutnya memuji. Pria itu mencium tengkuk Sovia.
"Jadi, kalau pakai baju yang tadi, gue tak terlihat cantik?" Sovia pura-pura merajuk. Sepersekian detik, wanita itu mengalihkan pandangan untuk menyembunyikan senyumnya.
"Tentu saja cantik!" Reino mulai membelai rambut wanita itu dengan lembut.
Sovia yang tengah berada dalam dekapan pria itu pun tersenyum bahagia. Tangannya mulai merambat dan menyentuh lengan Reino--lelaki yang pernah menjadi pacar Sovia waktu masih SMA--lalu mengusap lembut. Ia mulai menyandarkan kepala pada dada bidang pria itu. Tak lama, wanita berkulit putih itu mendongak. Berharap sorot mata mereka saling bertemu.
"Kalau tak pake?" tanyanya genit.
"Sudah pasti tambah cantik!" Reino terkekeh.
"Gombal!" ujar Sovia sambil menggelendot manja.
"Serius!" Setelah berucap demikian, Reino mulai melancarkan aksinya. Pria itu terlihat kalap dengan hidangan yang ada di hadapannya. Ia terus menikmati sajian itu tanpa jeda.
"Jangan buat stempel merah, Rei!" Sovia menghentikan aksi pria itu dengan menolak tubuhnya.
"Ya!" Reino seakan paham dengan apa yang harus ia lakukan.
Triiing ....
Dering telepon itu mampu memecah konsentrasi. Sepasang anak manusia yang tengah dimabuk asmara itu langsung menghentikan aktivitas mereka. Dua pasang mata itu sama-sama menoleh ke arah tas yang berada di atas meja. Tak lama, sorot mata saling tatap.
"Siapa?" Reino membuka suara.
"Entah!" Sovia mengendikkan bahu.
"Abaikan aja, ya?" Pria itu tengah meminta persetujuan dari sang pasangan, yang saat itu tengah berada dalam kepungannya.
Sovia mengangguk.
Mereka kembali larut oleh bujuk rayu iblis yang telah menguasai hati. Bahkan, saat ponsel dari dalam tas kembali berdering, Sovia dan Reino, tak memedulikannya. Dua insan itu terus larut dalam rasa yang mampu membuat mereka lena.
Aktivitas tak layak pun mulai mereka pertontonkan. Hati menggelap, oleh nafsu dunia yang sudah tak beretika. Mereka memilih mereguk pahitnya racun, daripada manisnya madu kehidupan. Tak ada rasa risih, malu atau rasa bersalah. Yang ada hanya dia, dia, dan dunia mereka yang telah menghitam.
Hidup selalu memberikan pilihan. Berserah untuk mencari solusi, atau lari untuk mencari pembenaran diri. Manusia hanya bisa memilih satu dari dua pilihan, yang ditawarkan oleh takdir. Namun, dua anak manusia itu memilih lari dari teka-teki hidup, yang tak bisa mereka pecahkan.
Bukankah masalah itu harus dihadapi dan diselesaikan?
Embusan napas dua insan itu saling memburu. Mereka tengah berlomba untuk memperlihatkan keganasannya. Hangat, tapi sanggup membakar hati. Erangan dan lenguhan pun mulai tak terkontrol. Peluh yang menetes bak percikan tinta merah yang terburai di atas kain suci pernikahan. Keagungan cinta terkoyak oleh keegoisan nafsu sesaat. Mereka terkulai, saat hasrat telah tersalurkan.
Reino merebah di sisi kiri wanitanya. Sepasang pendosa itu tidur dengan posisi badan saling berhadapan. Sesaat kemudian, Reino mengambil tisu. Lalu mengusap peluh yang membanjiri wajah Sovia.
Wanita muda itu tersenyum, saat mendapat perlakuan lebih dari sang mantan kekasih.
"Napa senyum?" Pria itu mempertanyakan aksi Sovia.
Sovia menggeleng, lalu menyembunyikan wajahnya dalam pelukan Reino.
Triiing ....
Lagi-lagi, ponsel yang berada dalam tas Sovia, kembali berdering. Reino menoleh ke arah meja. Lalu menggapai tas yang berada di atas papan kayu samping tempat tidur. Ia memberikan tas dengan warna merah tua itu pada Sovia--wanita yang kini berbaring di sampingnya.
"Terima aja. Kali penting!" Reino berucap, saat si pemilik mata indah dengan iris hitam lentik itu menatapnya.
"Beneran, nggak pa-pa?" Sovia mencoba memastikan ulang perkataan Reino. Wanita itu mulai bangkit, lalu duduk di samping lelaki itu. Ia merapikan selimut untuk menutupi tubuh polosnya.
"Iya. Angkat aja!" Pria itu menjawab dengan yakin, sembari melempar senyumannya.
Sovia mulai mengambil ponsel dari dalam tas. Manik coklat tua itu melihat ke arah layar kaca lima inci. Farhan. Si pemilik mata indah itu membulatkan matanya. Sesaat menoleh ke arah Reino, lalu kembali melihat ke arah layar ponsel.
"Siapa?" Reino mulai mengajukan pertanyaan.
"Mas Farhan. Suami gue!" ucap Sovia pelan dengan sorot mata bingung. Sesekali wanita itu menggigit punggung tangan dengan mimik wajah, panik.
"Angkat aja." Reino meyakinkan dengan menyentuh punggung Sovia. "dan jangan panik," lanjutnya memberikan instruksi.
Sovia mengangguk. Wanita itu mulai menghirup dan mengembuskan napasnya dengan pelan. Ia ingin menghalau rasa gugup yang tiba-tiba menyergap. Tak lama, ia pun mulai mengusap simbol telepon yang berwarna hijau, untuk menerima panggilan masuk.
"Ya, Mas!" ucap Sovia sesaat setelah menempelkan ponsel pada salah satu telinganya.
[Lagi di mana?] Suara menggema di sisi telinga Sovia.
"Lagi survey lokasi, Mas! Ada yang bisa Sovi bantu?" Wanita itu bertanya dengan nada ringan.
[Dari tadi mas telepon kok nggak diangkat?]
"Iya, maaf, Mas! Tadi HP ada di dalam tas. HP-nya Sovi silent, karena tadi sedang jumpa klien!" Sovia menjawab pertanyaan suaminya dengan satu kebohongan.
[Job apaan?]
"Nyiapin menu spesial untuk makan malam aja sih, Mas! Oh, ya, Mas! Betewe ... ada apa nih, tumben telepon?"
[Sore nanti mas mau ke Singapura, kamu mau ikut, tak?] Ucapan Farhan mampu membuat Sovia terkejut.
"Wah!" Sovia menoleh ke arah Reino. "Keknya tak bisa lah, Mas! Soal kerjaan Sovi belum kelar nih!" Wanita itu memejamkan mata, sembari menggigit bibir untuk menghalau rasa panik.
[Bisa pulang bentar?]
"Bisa, Mas! Bisa!" Sovia menyambar pertanyaan Farhan--suaminya.
[Ok! See you!]
Telepon diputus dari seberang sana. Seketika Sovia menoleh ke arah Reino. Wanita itu terlihat cemas, kalau-kalau sang suami sampai tahu apalagi curiga.
"Ada apa?" Reino mengucap tanya.
"Mas Farhan minta gue pulang. Se-ka-rang!" ucap Sovia penuh dengan penekanan.
"Ya, sudah!" Reino menimpali.
"Gitu doang?" Sovia mengerutkan alis matanya.
"Trus?" Reino pun terlihat bingung.
"Marah kek, apa, kek!" Wanita itu sedikit menggerutu.
Reino meraih tubuh Sovia, lalu memeluknya erat. "Gue ama lo, ada dia, Sov!" ucapnya sambil mencium kening wanita itu.
"Lo nggak cemburu?" Sovia menolak tubuhnya dari pelukan Reino.
"Gue?" Reino menyatukan sorot mata mereka. "Kita saling membutuhkan, Sov. Cemburu? Sudah pasti gue cemburu. Tapi gue, tak bisa se-egois itu. Kecuali, lo mau jadi bini gue!" lanjutnya menegaskan.
"Bahasan ini terlalu berat!" Sovia mulai beranjak dari ranjang. Sepertinya, Sovia tengah menghindar.
"Mau ke mana?" Sorot mata Reino terus mengekor pergerakan Sovia.
"Gue mau mandi dulu! Cos ... laki dah nungguin di rumah!" Wanita itu berlalu menuju kamar mandi.
Reino tersenyum, lalu merebahkan tubuhnya. Dua manik coklat tua itu menatap langit-langit kamar. Pikirannya berkelana jauh, menapaki ruang kosong yang kini mulai berpenghuni. Meski, ruangan itu penuh dengan noda hitam.
Selang beberapa menit, Sovia keluar dari kamar mandi. Pakaian yang ia kenakan sudah begitu rapi. Sebuah handuk putih, masih melilit rambutnya. Tangannya mulai menarik handuk, lalu mengusap-usap rambutnya yang masih lembab.
"Mau gue bantu?" Reino menawarkan bantuannya.
"Emang lo bisa?" Sovia balik tanya.
Pria yang hanya memakai sehelai kain di area sensitifnya itu mulai jalan mendekati Sovia. Ia membimbing wanita itu agar duduk pada kursi yang ada di depan meja rias. Lalu menggapai sisir yang ada di atas meja.
Sovia tersenyum, saat melihat Reino yang tengah merapikan rambutnya. Tindakan pria yang berdiri di belakangnya itu tak pernah berubah. Reino selalu berlaku lembut, manis dan sabar.
"Tunggu gue ya, Rei!" ucap Sovia pelan.
"Maksud lo!" Reino menghentikan aksinya. Pria itu menyipitkan mata, bingung.
"Gue ingin menua bersama lo!" Sovia menyentuh tangan Reino.
"Ada laki lo. Dan ada bini gue!" Suara pria itu terdengar melemah.
Sovia memaksakan diri untuk tersenyum. Tak lama ia berdiri, lalu menggapai tasnya. Setelah balik badan, wanita itu melihat ke arah Reino, sebelum akhirnya melangkahkan kakinya.
Sontak Reino memegang pergelangan tangan Sovia. "Ya! Gue akan tunggu lo!"
Sontak Sovia balik badan. Wanita itu menyatukan sorot mata mereka. Dalam hitungan detik, ia memeluk lelaki yang ada di hadapannya. Tak lama ia tolak, lalu menyatukan indera pengecap mereka dengan liat.
"Gue pulang dulu!" ucap Sovia saat pertautan itu lepas. Kedua tangannya menyentuh dan mengusap pipi Reino dengan lembut.
Pria itu mengangguk. Lalu mengecup bibir Sovia, sebelum wanita itu pergi meninggalkan kamar hotel.
Bersambung ....