Subscribe yuk! Biar tukang tulisnya makin semangat.
***
Hari berganti hari, dan minggu berganti minggu. Merasa tak ada perubahan dari sikap sang istri, Reino memutuskan untuk pergi ke Bogor. Pria itu mulai mengemas barang yang hendak ia bawa. Sedang sang istri, wanita itu hanya melihat tanpa ambil peduli.
"Bang! Meta tinggal sama mama saja, ya?" Wanita yang tengah duduk bersama gadis kecil itu mulai membuka kata.
"Serah!" Nada ketus keluar dari mulut Reino.
"Jangan lupa kirim uang jajan buat Chelsea!" Meta mengingatkan.
Sejenak, Reino menghentikan aktivitasnya. Wajah pria itu mulai terlihat merah. Tak lama, ia kembali melipat baju, lalu memasukkan ke dalam tas ransel. Setelah selesai, lelaki jangkung itu jalan ke arah kamar mandi, untuk membersihkan diri. Kulit Reino yang dulu putih bersih, sekarang terlihat menggelap karena terbakar matahari.
Di bawah guyuran air shower, napas pria itu mendesah kasar. Dadanya mulai terasa sesak dan tak bisa berfikir jernih. Meta--sang istri--memang terlahir dari keluarga yang cukup berada.
Mungkinkah itu yang membuat Meta sulit beradaptasi dengan kondisi yang tengah mereka alami?
***Menapaki bahtera rumah tangga, harus siap mental. Roda hidup akan terus berputar dan ekonomi keluarga pun bisa berhenti di titik terendah, tanpa permisi. Tanpa kesiapan lahir dan batin, rumah tangga akan jadi taruhannya, saat badai ekonomi tengah melanda.***
Pria jangkung itu mulai keluar dari kamar mandi, lalu jalan ke arah lemari pakaian. Mengganti pakaian yang layak untuk bersiap-siap. Jiwa pria itu mulai meragu. Keluar dari rumah, berarti harus siap dengan hidup barunya. Wajah Reino menoleh ke arah Chelsea--anak semata wayangnya. Gadis cilik itu lah yang mampu menjadi penyemangat hidupnya.
Chelsea jalan mendekati sang ayah, lalu menggelendot manja. Gadis cilik itu tak mengerti urusan orang dewasa. Yang dia tahu, keluarganya baik-baik saja. Reino mulai jongkok untuk mensejajarkan tatapan mata mereka.
"Chelsea baik-baik, ya di rumah?" Reino berucap lembut. Tangan pria itu mendarat pada pucuk kepala sang anak, lalu mengusapnya pelan.
"Papa cari duit, ya?" Suara gadis cilik itu mampu membuat hati Reino getir.
"Iya, Sayang. Chelsea mau dibelikan apa?"
"Mmm. Chelsea mau mobil-mobilan, Pa!"
"Lhah. Chelsea 'kan cewek. Masa minta mobil-mobilan?" Reino menyipitkan mata, lalu melempar senyum ramahnya.
"Pokoknya Chelsea mau mobil Tayo!" Gadis kecil itu menggerutu, lalu menyembunyikan wajahnya dalam pelukan sang ayah.
Reino mengusap rambut Chelsea dengan lembut. "Okey! Nanti papa belikan Tayo, Rogi, Gani, dan siapa tu satunya?" Reino pura-pura lupa, agar sang anak mau berinteraksi dengannya.
Chelsea menolak wajahnya, lalu menatap wajah sang ayah. "Lani, Papa!" ucapnya gemes sambil mencubit pipi sang ayah.
"Oh, iya! Lani." Reino terkekeh lalu memeluk tubuh mungil itu lagi.
Ayah dan anak itu saling peluk lumayan lama. Ada rasa yang mulai tak biasa, perlahan tapi pasti, rasa itu mulai membungkam mata hati Reino. Kota yang akan Reino datangi penuh dengan ranjau yang bermaterai 'pengkhianatan'. Namun, pria itu sudah memantapkan hati untuk menyambangi kota itu. Sikap masa bodoh dan penolakan dari sang istri, mampu membuat hati Reino berpaling.
Tin!
Bunyi klakson motor dari pekarangan rumah, memecah suasana tenang yang tercipta. Setelah mengusap rambut sang anak, Reino pun bangkit, lalu mengambil tas ransel yang akan ia bawa.
Meta mulai berdiri mematung dengan sorot mata tertuju pada suaminya. Dua pasang mata itu saling tatap lumayan lama. Ada ego yang tersemat dalam hati. Antara Meta dan Reino, sama-sama terhalang tembok keegoisan untuk yang lumayan tinggi. Tak seorang dari mereka yang mampu merobohkan. Setelah mencium kening Chelsea, Reino jalan menuju pekarangan.
"Bang!"
Sontak langkah kaki Reino terhenti.
"Jangan lupa kirim uang buat Chelsea!"
Mata pria itu terpejam rapat, dengan jemari yang saling mengepal kuat. Reino tak menjawab ucapan Meta. Pria itu kembali melanjutkan langkah kakinya. Ia menghampiri Dito--pemegang akun ojek online--teman mangkalnya.
Dito mengantar Reino sampai ke Kampung Rambutan. Sepanjang jalan, banyak hal yang mereka bicarakan. Reino berpesan pada sobatnya itu, agar mau menengok Chelsea kalau ada waktu senggang.
"Lo tenang aja. Entar gue akan sering-sering tengok anak lo." Dito berucap dengan yakin, sambil menepuk pundak temannya.
Reino mulai naik bis, dengan tujuan Cibinong, Bogor. Dalam kendaraan, Reino mengambil ponselnya, lalu mencari nomer telpon Sovia. Ia tengah melakukan panggilan keluar.
[Ya!] Suara dari ujung ponsel menggema di telinga Reino.
"Gue dah di jalan. Tepatnya Tol Jagorawi." Reino menjelaskan.
[Turun Cibinong, ya. Gue tunggu di sini.]
"Ya!"
Sesaat kemudian, a Reino mematikan panggilan telepon keluar dari ponselnya. Senyum pria itu mengembang. Wajahnya bagai seorang anak baru gedhe yang tengah jatuh cinta. Pria itu tak sanggup menyembunyikan senyum dari area wajahnya.
"Cibinong!" Teriakan dari kernet bis itu mampu membuat Reino tersadar.
Pria itu beranjak dari tempat duduknya lalu jalan ke arah pintu. Setelah memberikan sejumlah uang, Reino pun turun dari bisa. Pria itu mulai mengedarkan pandangannya, untuk mencari keberadaan Sovia. Reino pun mengambil ponselnya, lalu menghubungi Sovia.
[Gue dalam mobil warna merah.] Sovia memberitahu keberadaannya, tanpa mau turun dari dalam mobil.
Reino mengedarkan kembali sorot matanya, lalu melihat sebuah mobil warna merah. Mobil itu memberi kode dengan menyalakan lampu blitz-nya. Reino tersenyum, lalu mematikan ponselnya. Pria itu jalan ke arah mobil warna merah, yang terparkir di sebelah sana.
Sovia membukakan pintu, dan Reino pun masuk dalam mobil. "Capek, nggak?" tanya wanita itu ramah.
"Nggak juga." Reino mulai duduk pada jok mobil. "Jakarta-Bogor, 'kan deket!" lanjutnya berkilah. Lelaki dengan senyum yang khas itu menoleh ke arah Sovia. Pria itu masih terlihat tampan, meski kulitnya sedikit gelap.
"Mau makan?" Sovia membalas tatapan sang mantan.
"Boleh!" Reino mengangguk.
Mobil melaju ke sebuah restoran.
Lanjut, jangan?