-1-

Subscribe,yuk! Biar semangat tukang tulisnya. Makasih.

-DAMPAK REUNI-

--Datanglah ke tempat reuni bersama pasangan. Jika tidak, mending jangan.--

"Reino, ya?" Seorang wanita berambut panjang sebahu itu menepuk punggung pria yang kemungkinan ia kenal. 

Sontak pria itu balik badan. matanya menyipit dengan jari telunjuk yang mengarah pada sosok wanita yang ada di hadapannya. Sorot mata itu menerawang sesaat. Sepertinya, ia sedang mengingat-ingat dan memastikan dugaannya.

"Sovia, bukan?" tanyanya dengan nada rasa yakin. Sebuah senyuman pun mengembang dari sudut bibir pria itu. 

"Iya!" Mata wanita muda itu berbinar dan mengurai senyum yang sama. "Lo datang dengan siapa?" lanjutnya bertanya.

"Sendiri. Lo?" Pria itu balik tanya.

"Sendiri juga." Wanita itu mengangguk, lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling. 

Hening beberapa saat.

"Duduk situ, yuk!" Sovia menunjuk sebuah bangku panjang, yang tak jauh dari mereka berdiri.

Reino mengangguk, lalu mengiring Sovia jalan. Lebih tepatnya, pria itu mengekor dari arah belakang. Mereka duduk pada sebuah bangku panjang dan di depan ada kolam renang. Sikap mereka masih terlihat kaku. Sesekali sang pria melirik ke arah wanita itu. Tak berselang lama, sang wanita pun melirik ke arah pria itu. Saat sorot mata mereka bertemu, tawa pun tergelak. Rasa grogi, gugup dan canggung masih menjadi batas merah antar mereka. 

Musik dengan irama lembut selalu mengiring aktivitas malam. Semakin malam suasana semakin syahdu. Pesta reuni alumni sebuah Sekolah Menengah Umum swasta, Jakarta itu di gelar dengan suasana alam. Konsep santai dan kekeluargaan menjadi pilihan dari panitia. 

Beberapa kelompok mantan siswa SMU memilih duduk bergerombol dengan rekan sejawat mereka. Mereka saling melepas rindu dan bernostalgia dengan caranya masing-masing. Lokasi barbeque pun tak luput dari serbuan para alumni. Tak sedikit dari mereka, menikah dengan teman sekolah. Baik itu dengan adik kelas, ataupun sang kakak kelas. Ada juga kisah cinta yang kandas karena pilihan hidup. 

"Anak lo udah berapa?" Sovia memulai pembicaraan yang tadi sempat terhenti. Wanita berparas ayu itu menoleh ke arah Reino--sang mantan kekasih saat masih sekolah.

"Satu!" Reino menoleh ke arah Sovia. "Lo?" lanjutnya bertanya balik tanya.

"Gue belum punya anak." Dua pasang mata itu saling tatap.

Ada desir rasa terjalin antar dua pasang mata itu. Rasa yang ikut bernostalgia diantara mereka. Rasa yang terkubur lama, seolah bangkit lagi. Reino dan Sovia, dulu sangat populer di sekolah. Menyandang gelar pacaran, membuat keduanya terlihat serasi dan selalu bersama. 

Reino yang duduk di samping Sovia, tak sanggup mengendalikan indera penglihatannya. Pria itu sering mencuri pandang, melirik ke arah Sovia. Semakin malam, aura lembut dari paras ayu itu semakin terlihat. Saat Sovia menoleh, dengan cepat Reino pun mengalihkan pandangannya.

"Nggak usah curi-curi pandang?" Sovia berucap sambil tersenyum.

"Lo makin cantik, Sov!" Reino memuji wanita yang duduk di sampingnya itu.

Sontak Sovia mendekatkan wajahnya, lalu berucap, "Masa' sih?"

Reino tergagap saat jarak antara mereka tinggal satu jengkal. Jakun pria itu naik turun saat menelan air liur. "Se--serius!" ucapnya terbata-bata. 

Sovia senyum simpul. Wanita muda itu mulai menyandarkan badannya pada sandaran kursi. Sorot mata bening dengan iris hitam lentik itu mulai menatap ke arah langit. Kerlap-kerlip bintang yang menghias angkasa, mampu menambah suasana malam semakin indah. 

 "Apa lo bahagia, Sov?" Reino bertanya sambil menoleh ke arah Sovia yang masih menikmati indahnya bintang. 

"Secara lahir, iya!" jawab wanita itu tanpa mengubah pandangannya. 

"Berarti tidak secara batin. Benar, 'kan?" Reino ingin memastikan dugaannya.

Sovia tak mau menjawab pertanyaan sang mantan. Wanita itu menoleh ke arah Reino, lalu tersenyum. 

"Sekarang, lo kerja di mana?" Wanita berkulit putih itu lebih memilih mengalihkan topik pembicaraan.

"Gue ikut ojek online!" Reino menghela napas panjang, lalu menatap genangan air dengan sorot mata menerawang. "Untung lo nggak nikah sama gue. Jika sama gue, nasib lo nggak akan sebahagia sekarang," lanjutnya sambil menundukkan wajahnya.

"Mau kerja di cafe gue, nggak?" Sovia menoleh ke arah sang mantan.

"Serius?" Reino menggenggam tangan Sovia. "Eh, maaf!"

"It's OK!" Sovia meremas tangannya sendiri, sesaat setelah Reino melepasnya. "Lo mau 'kan kerja ama gue?" lanjutnya meminta penuh harap.

"Laki lo entar ...." Ucapan Reino tercekat.

"Laki gue ...." Sovia menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskan. "Dia tak akan marah. Bahkan kalau kita ...." Si pemilik rambut panjang sebahu itu mulai mendaratkan tangannya pada dada Reino. Memegang kancing baju pria itu, lalu memainkannya. Mata Sovia menatap genit ke arah sang mantan.

Reino memejamkan mata, mencoba mengatur desir-desir halus itu mulai menguasai raganya. Sesaat kemudian Reino membuka mata, lalu menatap sang mantan. Pria itu seakan tahu kode alam yang Sovia inginkan. 

"Nanti pulang gue antar pulang, ya?"

"Gue pakai mobil, Rei!"

Raut wajah kecewa, terlihat jelas dari wajah pria itu. Dugaannya ternyata salah. "Oh, begitu!" ucapnya lirih sambil menundukkan wajah. Pria itu seakan mulai sadar diri akan status sosial antar mereka. 

"Kalau maksa, gue nggak bisa nolak!" Sovia melanjutkan ucapannya dengan nada santai. 

"Serius?" Reino menyambar ucapan Sovia dengan mata berbinar.

"Gue nginep di hotel Exa." Sovia memberitahu tempat ia berteduh malam ini.

"Bagus lah!"

"Apanya yang bagus?" Sovia menyipitkan mata, curiga.

"Nggak kenapa-kenapa!" Reino gugup. Pria itu menggaruk kepala untuk mengalihkan rasa gugupnya.

Detik-detik waktu berlalu kian cepat. Pukul sebelas malam, Sovia dan Reino memutuskan untuk pulang. Sovia meninggalkan mobilnya di tempat acara, lalu membonceng motor Reino.

"Pegang yang kuat!" Reino berbicara sambil menutup sebagian mulut agar Sovia bisa mendengar.

Wanita berkulit putih itu mulai melingkarkan kedua tangannya dan mengikat kuat perut sang mantan. Reino memberanikan diri untuk menyentuh tangan Sovia. Sepanjang jalan, sepasang mantan kekasih itu tak banyak bicara.

Sekitar setengah jam, motor Reino memasuki lahan parkir hotel Exa. Setelah memarkir, mereka jalan ke arah kamar yang Sovia sewa untuk sementara. 

"Kamar yang mewah!" Sorot mata Reino menyisir tiap sisi ruang kamar hotel.

"Gue kangen sama lo, Rei!"

Reino membulatkan mata, saat sepasang tangan itu memeluk erat tubuhnya. Pria itu tak kuasa menolak, saat Sovia membimbingnya jalan ke arah ranjang. Mata sang mantan yang terlihat sayu dan penuh harap, mampu membuat iman pria itu melemah. Sepasang mata itu saling tatap lumayan lama. Mereka tengah menyatukan rasa rindu yang hampir sepuluh tahun terakhir, tertimbun. 

"Bini dan anak gue, pasti sedang nungguin gue, Sov!" Sesaat kemudian, akal sehat pria itu, kembali.

"Apa lo bahagia?" Tangan wanita muda itu mulai merambat dan mengusap dada bidang yang ada di depannya. Sovia terlihat tengah menggoda dan mematik hasrat Reino. 

"Tidak! Sebelum kita jumpa lagi!" Lagi-lagi Reino tak kuasa mengatur perasaannya. Wajah istri dan sang anak, seketika menguap entah ke mana. 

"Jadi, apa sekarang lo bahagia?" Sovia memainkan kancing baju Reino. Sorot mata indah itu tertuju pada satu titik, yang berada tepat di depan mata. Titik yang acap kali basah, saat si pemilik raga mengulumnya.

"Apa perlu gue jawab?" Reino balik tanya dengan sorot mata yang terus tertuju pada iris hitam lentik yang bergerak naik turun. Sesekali sorot mata emang itu pun beralih pada bibir tipis dengan warna merah plum, yang terlihat sedikit menggoda.

"Gue punya suami kaya, tapi laki gue ...." Ucapan Sovia tercekat. Wanita muda itu mulai menundukkan wajah.

Suasana hening dalam beberapa saat.

"Laki lo kenapa?" Reino memburu kalimat yang tak terselesaikan. 

"Dia ...." Sovia mulai menyatukan sorot mata mereka. "mandul!" ucapnya lirih. Tangan wanita muda itu mulai lengser dari dada Reino. Sovia mulai duduk di bibir ranjang dengan raut wajah, sendu. 

"Lo nggak bohong, 'kan, Sov?" Reino jalan mendekati sang mantan pacar, lalu duduk di sampingnya.

Sontak Sovia menoleh ke arah pria itu. "Gue masih Sovia yang dulu. Apa gue terlihat seperti seorang pembohong?" Sepasang mata bening itu itu tiba-tiba memerah dan berembun.

"Bu--kan gitu! Gue--!"

Sovia menghentikan ucapan Reino dengan sebuah pelukan. "Gue udah berkali-kali ikut program bayi tabung, dengan memakai******pria lain ... tapi semuanya gagal, Rei!" Bulir-bulir bening itu pun jatuh dari tiap sudut mata.

"Apa yang bisa gue bantu?" Reino berucap dengan nada datar. Tangan pria itu mulai berani mengusap rambut Sovia dengan lembut.

Tak lama, Sovia menolak tubuhnya lalu menyatukan sorot mata mereka. "Emang lo mau ... bantu gue?" tanya balik dengan jemari yang mengusap air matanya. 

"Mau lewat transfer, atau cara tunai?" Reino berucap yakin.

"Dengan lo ...." Sovia mulai mengalihkan sorot matanya. "gue mau lewat cara tunai." lanjutnya dengan rona wajah yang mulai memerah.

"Sekarang?"

Sovia kembali menyatukan sorot mata mereka. "Apa lo keberatan?" tanyanya balik.

"Nggak! Sama sekali nggak keberatan karena gue juga mau." Reino mulai mengalihkan pandangannya. "Kita tak lagi sendiri lagi, Sov! Di belakang kita ... ada sosok lain yang membayangi." Helaan napas mengiring kata-kata terakhir yang Reino ucap.

"Suami gue sudah pasti setuju!" Sovia meyakinkan.

"Istri gue ... entah!" Lagi-lagi Reino mengembuskan napas secara kasar. "Dia tipe wanita yang nggak pedulian ama perasaan gue. Tiap hari, hanya bisa ngomel kalau uang yang gue dapet dikit." Sorot mata pria itu kembali mengarah pada Sovia. "Sejak gue di PHK dari perusahaan, wanita itu mulai tak punya rasa hormat!" Reino mulai merebahkan badannya di atas ranjang dengan telapak tangan sebagai tumpuan.

"Berapa pun maharnya gue sanggup!"

Sontak Reino bangkit lagi, lalu menggenggam tangan Sovia. "Tanpa dibayar pun gue mau, Sov!" Sorot mata mereka saling tatap.

"Bukan buat lo, tapi buat bini lo." Sovia menegaskan ucapannya.

Reino mulai mendaratkan tangannya pada pipi Sovia. Wanita muda itu memejamkan mata sesaat, lalu membukanya lagi. Moments yang hilang sepuluh tahun yang lalu, kini ia rasa lagi. Tangan lentik itu mulai menyentuh punggung tangan Reino yang berada di pipinya.

"Gue--!" Ucapan Reino tercekat karena Sovia tiba-tiba beralih posisi dab duduk di atas pangkuannya.

"Tak harus sekarang. Gue akan tunggu kabar baiknya." Sovia memasukkan sesuatu dalam saku jaket pria itu. Tentu saja tanpa sepengetahuan Reino.

"Ya!" Reino mengangguk. Lagi-lagi sorot mata pria itu tertuju pada belahan daging tak bertulang yang ada di hadapannya.

"Besok pagi ... gue akan kembali ke Bogor, karena--!" Ucapan Sovia terputus karena Reino melancarkan aksinya.

Reino membungkam mulut Sovia dengan bibirnya. Pria itu melahap dengan rakus, karena hasratnya sering tertolak. Raga itu bergerak dengan lincah dan beringas. Reino tak bisa berpikir jernih. Nafsu liarnya membumbung tinggi dan tak bisa ia kendalikan. 

Tak ubahnya dengan Reino, Sovia pun membalas perlakuan sang mantan kekasih dengan hasrat yang sama. Rayuan dari para iblis mampu menghilangkan rasa malu diantara mereka. Mereka saling membantu, saling memberi, dan saling memuaskan.

"Sov! Gue kangen banget sama lo!" Pria itu berucap dengan deru napas yang tersendat.

Sorot mata mereka mengisyaratkan rasa yang sama. Mereka sama-sama tak menemukan rasa pada pasangan halalnya. Serpihan-serpihan cinta yang telah terberai, mereka kumpulkan, lalu merangkainya kembali. Tak sempurna memang. Namun, rasa itu mampu membangkitkan semangat juang yang mulai lesu.

"Gue juga!" Sovia membalas pernyataan Reino. 

Sepasang mantan kekasih itu kalah. Mereka lebih memilih untuk mengikuti arahan para iblis. Bergumul, tanpa bisa berpikir jernih. Mengatasnamakan rindu dan mengkambinghitamkan cinta. Menyatu oleh nikmat sesaat, yang mampu mematikan keimanan. Deru napas dan suara-suara sumbang, mengiring aksi yang tak layak. Etika hidup ter-campakkan, sucinya cinta terkoyak begitu saja. Pujian, sentuhan dan senyum bahagia itu, bagai sebuah tarian di atas luka pasangan.

Mereka terkulai, saat rasa terpuaskan.

Sekitar dua jam kemudian, Reino bangun, lalu mengenakan kembali pakaiannya. Pria itu sebenarnya enggan pergi dari tempat itu. Sejak punya anak, nafkah batinnya tak pernah terpuaskan. Namun, malam itu Reino menggenggam kenikmatan yang pernah hilang. 

"Gue pulang dulu, ya, Sov!" ucap pria itu sambil mengusap pucuk kepala Sovia, lalu******pelan bibir sang mantan kekasih. "Sorry, gue ketagihan!" lanjutnya sambil mengusap bibir Sovia yang masih basah. 

Dua pasang mata itu saling tatap, lalu sama-sama melempar sebuah senyuman. Sesaat kemudian, wanita yang masih melingkar dalam selimut mulai mendorong dada Reino, sembari berucap manja. "Sono ...!" 

Lagi-lagi Reino tersenyum, lalu mencium kening Sovia.

Bersambung .... 



Komentar

Login untuk melihat komentar!